A. HAK DAN KONSTITUSIONAL
1. Hak
Hak adalah segala sesuatu yang
pantas dan mutlak untuk didapatkan oleh individu sebagai anggota warga negara
sejak masih berada dalam kandungan . Hak pada umumnya didapat dengan cara
diperjuangkan melalui pertanggungjawaban atas kewajiban .
Contoh Hak Warga Negara Indonesia ;
a. Setiap warga negara berhak
mendapatkan perlindungan hukum.
b. Setiap warga negara berhak
atas pekerjaan dan penghidupan yang layak.
c. Setiap warga negara memiliki
kedudukan yang sama di mata hukum dan di dalam pemerintahan.
d. Setiap warga negara bebas
untuk memilih, memeluk dan menjalankan agama dan kepercayaan masing-masing yang
dipercayai.
e. Setiap warga negara berhak
memperoleh pendidikan dan pengajaran.
f. Setiap
warga negara berhak mempertahankan wilayah negara kesatuan Indonesia atau NKRI
dari serangan musuh.
g. Setiap warga negara memiliki
hak sama dalam kemerdekaan berserikat, berkumpul mengeluarkan pendapat secara
lisan dan tulisan sesuai undang-undang yang berlaku.
2. konstitusional
Konstitusi pada umumnya bersifat kodifikasi yaitu sebuah
dokumen yang berisikan aturan-aturan untuk menjalankan suatu organisasi
pemerintahan negara, namun dalam pengertian ini, konstitusi harus diartikan
dalam artian tidak semuanya berupa dokumen tertulis (formal). Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia telah tercatat
beberapa upaya perumusan konstitusi: (1) Pembentukan Undang-Undang Dasar pada
tanggal 18 Agustus1945, (2)Penggantian Undang-Undang Dasar, pada tanggal 27
Desember 1949 menjadi Konstitusi RIS (Republik Indonesia Serikat) dan tanggal
17 Agustus 1950 menjadi Undang-Undang.
Dasar Sementara 1950 pengganti Konstitusi RIS, (3) Kembali pada
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sesuai dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, dan
(4) Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam
kurun waktu tahun 1999-2002. Dengan perubahan terakhir, konstitusi kita telah
menjadi lebih sempurna dibandingkan dengan naskah awal pada tanggal 18 Agustus
tahun 1945. Persoalannya adalah bagaimana kita bisa mengaktualisasi yang telah
dicapai dan tidak menggunakan kelemahan yang ada untuk menghancurkan cita-cita
mendirikan negara bangsa ini. hak-hak
konstitusional warga negara akan dibahas lebih dalam dan dijabarkan lebih
lanjut. Dengan menggunakan naskah siding BPUPKI, naskah Undang-Undang Dasar
Negara RI Tahun 1945 dan naskah amandemen ke-1 sampai ke-4, keseluruhannya akan
dikaitkan dengan citacita kemerdekaan negara bangsa Indonesia.
Hak konstitusional adalah norma-norma
yang termuat dalam konstitusi, tidak hanya yang mengatur organisasi kewenangan
lembaga, dan hubungannya satu dengan yang lain, yang melahirkan kewenangan atau
constitutional authorities, tetapi juga mengatur hubungan Negara dengan
warganegara dalam konteks kewenangan. Negara tersebut berhadapan dengan hak-hak konstitusional
rakyat. Dalam hubungan dengan kekuasaan Negara, hak-hak warganegara diatur dalam konstitusi sebagai
perlindungan dari perbuatan yang kemungkinan dilakukan penyelenggara Negara.
namun menurut para ahli ilmu hukum maupun ilmu politik konstitusi harus
diterjemahkan termasuk kesepakatan politik, negara, kekuasaan, pengambilan
keputusan, kebijakan dan distibusi maupun alokasi, Konstitusi bagi organisasi
pemerintahan negara yang dimaksud terdapat beragam bentuk dan kompleksitas
strukturnya, terdapat konstitusi politik atau hukum akan tetapi mengandung pula
arti konstitusi ekonomi. Pasal 25A UUD 1945 amandemen I-IV menegaskan bahwa:
”Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri
nusantara dengan wilayah dan batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan
undang-undang. Ciri Nusantara disini menggambarkan adanya rangkaian pulau-pulau
dan wilayah perairan dan laut diantara pulau-pulau itu, termasuk segala isi
yang terkandung didalam air, daratan, udara yang ada diatasnya. Keseluruhan
mekansisme hubungan antara mahkluk ciptaan Tuhan dalam ruang kehidupan Negara
Kesatuan Republik Indonesia itulah yang disebut sebagai ekosistem yang kita
warisi dari generasi ke generasi.
Berdasarkan rumusan Pasal 33 ayat (4)
terdapat dua konsep terkait dengan ide ekosistem yaitu bahwa perekonomian
nasional yang berdasar pada demokrasi ekonomi haruslah mengandung maksud: (1)
berkelanjutan, (2) berwawasan lingkungan. Dengan demikian keseluruhan ekosistem
seperti yang dimaksud dalam Pasal 33 ayat (3) sebagaimana ditafsirkan secara
ekstensif dan kreatif oleh pelbagai undang-undang di bidang lingkungan hidup
haruslah dikelola untuk kepentingan pembangunan berdasarkan prinsip-prinsip
berkelanjutan (suistainable) dan berwawasan lingkungan (pro-environment)
sebagaimana ditentukan oleh Pasal 33 ayat (4) UUD 1945. Oleh karena itu cukup
alasan jika menyebut bahwa UUD 1945 setelah Amandemen I-IV ini sudah bernuansa
hijau atau pro lingkungan (green constitution). (H. Jawade Hafidz, Agustus 2011)
Pengertian
konstitusi menurut para ahli
1.
K. C. Wheare, konstitusi adalah keseluruhan
sistem ketatanegaraaan suatu negara yang berupa kumpulan peraturan yang
membentuk mengatur /memerintah dalam pemerintahan suatu negara.
2.
Herman heller, konstitusi mempunyai arti
luas daripada UUD. Konstitusi tidak hanya bersifat yuridis tetapi juga
sosiologis dan politis.
3.
Lasalle, konstitusi adalah hubungan antara
kekuasaaan yang terdapat di dalam masyarakat seperti golongan yang mempunyai
kedudukan nyata di dalam masyarakat misalnya kepala negara angkatan perang,
partai politik, dsb.
4.
L.J Van Apeldoorn, konstitusi memuat baik
peraturan tertulis maupun peraturan tak tertulis.
5.
Koernimanto Soetopawiro, istilah konstitusi
berasal dari bahasa latin cisme yang berarti bersama dengan dan statute
yang berarti membuat sesuatu agar berdiri. Jadi konstitusi berarti menetapkan
secara bersama.
6.
Carl schmitt membagi konstitusi dalam 4
pengertian yaitu:
·
Konstitusi dalam arti absolut mempunyai 4
sub pengertian yaitu;
1. Konstitusi
sebagai kesatuan organisasi yang mencakup hukum dan semua organisasi yang ada
di dalam negara.
2. Konstitusi
sebagai bentuk negara.
3. Konstitusi
sebagai faktor integrasi.
4. Konstitusi
sebagai sistem tertutup dari norma hukum yang tertinggi di dalam negara .
·
Konstitusi dalam arti relatif dibagi menjadi
2 pengertian yaitu konstitusi sebagai tuntutan dari golongan borjuis agar
haknya dapat dijamin oleh penguasa dan konstitusi sebagai sebuah konstitusi
dalam arti formil (konstitusi dapat berupa tertulis) dan konstitusi dalam arti
materiil (konstitusi yang dilihat dari segi isinya).
·
konstitusi dalam arti positif adalah sebagai
sebuah keputusan politik yang tertinggi sehingga mampu mengubah tatanan
kehidupan kenegaraan.
·
konstitusi dalam arti ideal yaitu konstitusi
yang memuat adanya jaminan atas hak asasi serta perlindungannya.
·
Tujuan konstitusi yaitu:
1. Membatasi
kekuasaan penguasa agar tidak bertindak sewenang – wenang maksudnya tanpa
membatasi kekuasaan penguasa, konstitusi tidak akan berjalan dengan baik dan
bisa saja kekuasaan penguasa akan merajalela Dan bisa merugikan rakyat banyak.
2. Melindungi
HAM maksudnya setiap penguasa berhak menghormati HAM orang lain dan hak
memperoleh perlindungan hukum dalam hal melaksanakan haknya.
3. Pedoman
penyelenggaraan negara maksudnya tanpa adanya pedoman konstitusi negara kita
tidak akan berdiri dengan kokoh.
·
Nilai konstitusi yaitu:
1. Nilai
normatif adalah suatu konstitusi yang resmi diterima oleh suatu bangsa dan bagi
mereka konstitusi itu tidak hanya berlaku dalam arti hukum (legal), tetapi juga
nyata berlaku dalam masyarakat dalam arti berlaku efektif dan dilaksanakan
secara murni dan konsekuen.
2. Nilai
nominal adalah suatu konstitusi yang menurut hukum berlaku, tetapi tidak
sempurna. Ketidaksempurnaan itu disebabkan pasal – pasal tertentu tidak berlaku
/ tidsak seluruh pasal – pasal yang terdapat dalam UUD itu berlaku bagi seluruh
wilayah negara.
3. Nilai
semantik adalah suatu konstitusi yang berlaku hanya untuk kepentingan penguasa
saja. Dalam memobilisasi kekuasaan, penguasa menggunakan konstitusi sebagai
alat untuk melaksanakan kekuasaan politik.
·
Macam – macam konstitusi
1.
Menurut CF. Strong konstitusi terdiri dari:
·
Konstitusi tertulis (documentary
constitution / written constitution) adalah aturan – aturan pokok
dasar negara , bangunan negara dan tata negara, demikian juga aturan dasar
lainnya yang mengatur perikehidupan suatu bangsa di dalam persekutuan hukum
negara.
·
Konstitusi tidak tertulis / konvensi (non-documentary
constitution) adalah berupa kebiasaan ketatanegaraan yang sering timbul.
· Adapun
syarat – syarat konvensi adalah:
1.
Diakui dan dipergunakan berulang – ulang
dalam praktik penyelenggaraan negara.
2.
Tidak bertentangan dengan UUD 1945.
3.
Memperhatikan pelaksanaan UUD 1945.
Secara teoritis
konstitusi dibedakan menjadi:
·
Konstitusi politik adalah berisi tentang
norma- norma dalam penyelenggaraan negara, hubungan rakyat dengan pemerintah,
hubungan antar lembaga negara.
·
Konstitusi sosial adalah konstitusi yang
mengandung cita – cita sosial bangsa, rumusan filosofis negara, sistem sosial,
sistem ekonomi, dan sistem politik yang ingin dikembangkan bangsa itu.
Berdasarkan
sifat dari konstitusi yaitu:
1.
Fleksibel / luwes apabila konstitusi /
undang undang dasar memungkinkan untuk berubah sesuai dengan perkembangan.
2.
Rigid / kaku apabila konstitusi / undang
undang dasar jika sulit untuk diubah.
Unsur/substansi
sebuah konstitusi yaitu
Menurut Sri Sumantri
konstitusi berisi 3 hal pokok yaitu
·
Jaminan terhadap Ham dan warga negara.
·
Susunan ketatanegaraan yang bersifat
fundamental.
·
Pembagian dan pembatasan tugas
ketatanegaraan.
Menurut
Miriam Budiarjo, konstitusi memuat tentang
·
Organisasi negara.
·
HAM.
·
Prosedur penyelesaian masalah pelanggaran
hukum.
·
Cara perubahan konstitusi.
Menurut
Koerniatmanto Soetopawiro, konstitusi berisi tentang
·
Pernyataan konstitusi.ideologis.
·
Pembagian kekuasaan negara.
·
Jaminan HAM (Hak Asasi Manusia).
·
Perubahan konstitusi.
·
Larangan perubahan
·
Parameter terbentuknya pasal-pasal UU yaitu:
- Agar suatu bentuk pemerintahan dapat dijalankan secara demokrasi dengan memperhatikan kepentingan rakyat.
- Melindungi asas demokrasi.
- Menciptakan kedaulatan tertinggi yang berada ditangan rakyat.
- Untuk melaksanakan dasar negara.
- Menentukan suatu hukum yang bersifat adil.
·
Kedudukan konstitusi/UUD yaitu:
- Dengan adanya UUD baik penguasa dapat mengetahui aturan / ketentuan pokok mendasar mengenai ketatanegaraan.
- Sebagai hukum dasar.
- Sebagai hukum yang tertinggi.
·
Perubahan konstitusi/UUD yaitu:
Secara revolusi, pemerintahan baru terbentuk sebagai hasil revolusi
ini yang kadang – kadang membuat sesuatu UUD yang kemudian mendapat persetujuan
rakyat. Secara evolusi, UUD/konstitusi berubah secara berangsur – angsur yang
dapat menimbulkan suatu UUD, secara otomatis UUD yang sama tidak berlaku lagi.
·
Keterkaitan antara dasar negara dengan konstitusi
yaitu:
Keterkaitan antara dasar negara dengan konstitusi nampak pada
gagasan dasar, cita – cita dan tujuan negara yang tertuang dalam pembukaan UUD
suatu negara. Dasar negara sebagai pedoaman penyelenggaraan negara secara
tertulis termuat dalam konstitusi suatu negara.
·
Keterkaitan konstitusi dengan UUD yaitu:
Konstitusi adalah hukum dasar tertulis dan tidak tertulis sedangkan
UUD adalah hukum dasar tertulis. UUD memiliki sifat mengikat oleh karenanya
makin elastik sifatnya aturan itui makin baik, konstitusi menyangkut cara suatu
pemerintahan diselenggarakan.
Perlindungan dan pemenuhan hak
konstitusional warga Negara harus dilakukan sesuai dengan kondisi
warga negara yang beragam.Realitas masyarakat Indonesia menunjukkan adanya
perbedaan kemampuan untuk mengakses perlindungan dan pemenuhan hak yang diberikan oleh negara.
Perbedaan kemampuan tersebut bukan atas kehendak sendiri kelompok
tertentu, tetapi karena struktur sosial yang berkembang cenderung
meminggirkannya. Perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional yang
dilakukan tanpa memperhatikan adanya perbedaan tersebut, dengan
sendirinya akan mempertahankan bahkan memperjauh perbedaan tersebut. (Dedi Sumanto, Desember 2013)
B. HAK KONSTITUSI WARGA NEGARA INDONESIA
Warga
negara diartikan sebagai seseorang yang bertempat tinggal disuatu tempat yang menjadi
bagian dari suatu penduduk berdasarkan kedudukannya sebagai seseorang yang
berada pada wilayah atau tempat itu sendiri yang menjadi bagian dari unsur
negara.
Dimana unsur negara tersebut harus meliputi
beberapa faktor, bila terpenuhi suatu faktor-faktor tersebut barulah suatu
tempat atau wilayah itu bisa dikatakan sebagai suatu negara.
Faktor tersebut
diantaranya adanya wilayah, adanya warga negara, adanya seorang pemimpin yang
memimpin dalam pelaksanaan penyelenggara dan manajemen suatu negara, dan
tentunya negara tersebut harus mendapat pengakuan dari negara yang lain.
Dalam UUD 1945 BAB
X tentang Warga Negara pasal 26 ayat 1 yang berbunyi “yang menjadi warga
negara ialah orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai
warga negara”. Dan pasal 26 ayat 2 “Penduduk adalah warga negara
Indonesia atau orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia”.
Pasal 27 UUD
1945 yang sekarang terdiri dan 3 ayat menyatakantentang persamaan di muka hukum
(equality befor the law) danpemerintahan, hak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan dan
kewajiban dalam upaya pembelaan negara. Pasal 28mengisyaratkan adanya kebebasan
rakyat Indonesia untuk mendirikanpartai polotik dan perserikatan baik yang
bersifat sosial politik maupunmurni kemasyarakatan (sosial). (Basuki,
Desember 2013)
Membahas singkat
tentang hak sebagai warga negara Indonesia yang baik, tentunya menjadi setiap
orang atau warga negara wajib memiliki hak-hak penuh dan mutlak sebagai warga
negara yang diakui sebagai penduduk berdasarkan unsur negara tersebut diatas.
Setiap warga negara
memiliki hak dan kewajiban yang sama tanpa terkecuali. Persamaan tersebut harus
dijunjung penuh guna menghindari adanya kecemburuan sosial yang terjadi di
masyarakat dan mempunyai dampak yang negatif yang akan muncul dikemudian hari.
Hak setiap warga
negara adalah hak mutlak yang dilakukan oleh seorang warga negara yang baik
yang bisa memajukan suatu negara dengan hal-hal positif.
Perempuan juga memiliki
hak untuk tidak diperlakukan secara diskriminatif karena statusnya sebagai
perempuan ataupun dasar pembedaan lainnya. Konstitusi Indonesia, Pasal 27 dan
28 I ayat (2) memuat dan menegaskan prinsip bebas dari diskriminasi. Prinsip
Non Diskriminasi , bersama dengan kesetaraan di depan hukum dan perlindungan
yang sama tanpa adanya diskriminasi merupakan prinsip dasar dan umum sehubungan
dengan perlindungan hak asasi manusia.
Perlindungan dan pemenuhan
hak konstitusional warga negara harus dilakukan sesuai dengan kondisi warga
negara yang beragam. Realitas masyarakat Indonesia menunjukkan adanya perbedaan
kemampuan untuk mengakses perlindungan dan pemenuhan hak yang diberikan oleh negara.
Perbedaan kemampuan tersebut bukan atas kehendak. (Erlina, November 2012)
Adapun hak-hak sebagai warga negara
diantaranya:
a. Hak
mendapat perlindungan
Hak ini adalah hak
yang paling mutlak, dimana setiap warga negara wajib mendapat perlindungan
apapun dalam bentuk apapun dari pemerintah agar seseorang tersebut merasa
nyaman, aman bertempat tinggal dan menjadi suatu warga negara yang berada pada
suatu wilayah atau negara yang dilindungi oleh hukum dan pemerintah.
Tidak mengenal
status atau kedudukan sesorang tersebut untuk mendapat perlindungan dari
pemerintah, yang pasti setiap warga negara harus dan wajib hukumnya berada pada
lindungan pemerintah dalam bentuk apapun perlindungan itu.
b. Hak
mendapat pekerjaan dan penghidupan yang layak
Hak ini yang
semakin lama semakin jauh dan semakin pula dilupakan oleh pemerintah, padahal
terdapat dalam UUD 1945 BAB X Tentang Warga Negara pasal 27 ayat 2 “Tiap-tiap
warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan”.
c. Hak
ikut serta dalam upaya pembelaan negara
Setiap warga negara berhak ikut serta dan
berperan aktif dalam upaya membela negaranya, bahkan kata perang sekalipun
wajib hukumnya bahwa setiap warga negara harus ikut berperan aktif disana guna
mencapai suatu kekuatan negara yang kuat dan kokoh bahkan tidak kehilangan jati
diri bangsa dan harga diri negara.
Pasal 27 ayat 3 Bab X UUD 1945 “Setiap
warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam pembelaan negara”.
d.
Hak beragama, memilih pendidikan dan kewarganegaraan
Sudah jelas tercantum pada bab XA tentang
Hak Asasi Manusia pasal 28E ayat 1 “Setiap orang bebas memeluk agama dan
beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran,
memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal diwilayah negara dan meninggalkannya
serta berhak kembali”.
Dan masih banyak hak-hak yang lainnya
seperti hak menyalurkan pendapat, hak berserikat dan berkumpul, hak untuk
berkomunikasi dan memperoleh informasi, hak hidup sejahtera dsb.
Hal ini tentunya menjadi tanggung jawab
diri sendiri dan pemerintah khususnya dalam upaya membangun suatu negara yang
baik, memajukan suatu negara tanpa adanya pihak eksternal yang ikut campur
dalam penyelenggaraan negara, supaya bisa menjadikan negara yang kokoh, bersatu
dan bisa mengamalkan pancasila dengan baik dan benar juga bisa senantiasa
mengingat kembali UUD 1945. (Wiratraman1, Januari 2005)
C. HILANGNYA HAK KONSTITUSIONAL
Pengalaman berbagai konflik agrarian seringkali berakhir dengan
berbagai kisah terabaikannya hak-hak warga Negara. Konflik agrarian yang terus
terjadi diberbagai tempat mengakibatkan posisi kaum tani Indonesia makin
terjepit. Dari tahun ketahun, ketimpangan struktur agraria akibat monopoli atas
sumber-sumber agraria menyebabkan kemerosotan dan keterbelakangan kehidupan
kaum tani di semua aspek, mulai sosial ekonomi, politik maupun budaya.
Kaum tani di Moro-moro, Register 45, Sungai Buaya, Kabupaten Mesuji,
Provinsi Lampung adalah salah satu bagian kaum tani yang merasakan beratnya
menghadapi tekanan negara dan berbagai perilaku diskriminasi lainnya. Selama 14
tahun terakhir (sejak 1997) mereka diabaikan hak-hak politik dan ekosob-nya
sebagai warga negara akibat konflik agraria yang menyelimutinya. Tinggal
di kawasan hutan Register 45 menyebabkan predikat “masyarakat illegal” harus
mereka terima. Konsekuensi hak-hak konstitusional mereka sebagai warga negara
secara sengaja dihilangkan. Tidak memiliki KTP, dokumen kependudukan,
kehilangan hak-hak politik, akses pendidikan dan kesehatan dasar yang memadai
seperti layaknya warga negara lainnya, adalah konsekuensi yang harus dihadapi
ketika pilihan untuk berdiam dikawasan registrasi dilakoni.
Aroma konstitusi yang
didalamnya terdapat berbagai pasal yang melindungi hak-hak asasi warga negara
tidak pernah sampai apalagi dirasakan oleh 3359 jiwa (hasil SP 2010) kaum tani
di Moro-moro, Register 45 Sungai Buaya. Kebalikannya, tindakan-tindakan “anti
konstitusi” justru menjadi hal yang biasa diterima. Berbagai pakar hukum telah
menyatakan bahwa salah satu elemen dasar dari negara hukum adalah perlindungan
terhadap hak-hak dasar/hak asasi manusia.Dalam konstitusi kita hak-hak asasi
manusia juga telah diadopsi menjadi hak-hak konstitusional sesungguhnya
tidaklah jauh berbeda dengan bicara hak asasi manusia. Meluasnya jaminan
hak-hak asasi manusia melalui pasal-pasal di dalam UUD 1945 tentunya merupakan
sebuah kemajuan dalam membangun fondasi hukum bernegara.
Konstitusi kita secara tegas menyatakan bahwa Indonesia adalah
negara hukum yang salah satu elemen dasarnya adalah pemenuhan akan hak-hak
dasar manusia/hak-hak asasi manusia. UU No. 39 Tahun 1999 HAM tidak dapat
dihilangkan atau dinyatakan tidak berlaku oleh negara. Hak untuk memiliki
selanjutnya juga diatur dalam Pasal 43 ayat 1 UU HAM yang mengatakan “setiap
warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan
persamaan hak melalui pemungutan suara yang berlangsung, umum, bebas, rahasia,
jujur dan adil, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. UU No.
10 tahun 2008 tentang Pemilu juga menyatakan bahwa negara yang sudah berusia 17
tahun atau sudah/pernah kawin punya hak memilih. Pasal-pasal ini sepengetahuan
penulis belum mengalami perubahan. (Muktiono, Mei 2012)
Kehilangan
Hak
Kasus hilangnya hak politik warga negara dalam berbagai proses
Pemilu yang ada di Indonesia sejak tahun 2006 (pilkada, pilgub, pileg dan
pilpres) seperti yang dialami oleh masyarakat moro-moro tentunya mencederai
rasa keadilan, kepastian hukum, serta prinsip-prinsip negara hukum seperti yang
tertulis dalam konstitusi kita. Ironinya hal ini bukan hanya sekali terjadi,
tapi berkali-kali masyarakat Moro-moro kehilangan haknya sebagai warga negara.
Pemerintah dan KPU tentunya bukan tidak mengetahui persoalan ini karena kasus
penghilangan hak politik ribuan warga negara seperti yang dialami masyarakat
telah terjadi berulang kali.
Saling lempar tanggungjawab antar Pemkab dan KPU terjadi sejak tahun
2006. Sejak tahun 2006 KPU selalu beralasan mereka hanya menerima daftar
pemilih dari Pemkab setempat, syarat untuk dapat memilih adalah terdaftar dalam
data kependudukan. Sementara Pemkab beralasan meski mengakui warga moro-moro
sebagai warga negara, tapi mereka belum diakui sebagai warga kabupaten Mesuji
karena bertempat tinggal di wilayah hutan yang dilarang. Jika terus begitu maka
hal ini tidak akan pernah memberikan kepastian hukum terhadap bisa atau
tidaknya warga Moro-moro menggunakan hak konstitusionalnya. Sampai dengan hari
ini KPU dan Pemkab sendiri tidak pernah berani mengumumkan secara terbuka
pelarangan/penghilangan hak konstitusional warga Moro-moro dan dasar hukum apa
yang digunakan untuk melegalisasi sikap tersebut.
Berbagai inisiatif warga untuk mendaftarkan diri sebagai pemilih
tidak pernah mendapatkan kepastian hukum. Hal ini berbeda dengan kelaziman yang
berlaku diberbagai tempat dalam soal pendataan pemilih di Indonesia. Padahal
mereka pemerintah dan KPU pasti mengetahui bahwa hak politik adalah salah satu
hak yang diakui dan dilindungi oleh Konvensi Internasional Hak-hak Sipil dan
Politik yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia lewat UU No. 12 tahun
2005. Dengan demikian sejatinya hak asasi manusia termasuk didalamnya adalah
hak politik sejatinya ada karena semata-mata diberikan oleh Negara, karena
sifatnya terletak (entitlement) bukan hanya semata-mata berdasarkan pemberian
hukum positif (given). Tindakan penghilangan hak politik warga negara dengan
alasan karena bertempat tinggal di wilayah hutan ini mengesankan tindakan
diskriminatif jika terlalu dini untuk mengkategorikannya sebagai tindakan anti
konstitusi.
Pemerintah boleh saja berpandangan bahwa keberadaan orang-orang
diberbagai register melanggar undang-undang, tapi apakah karena “dianggap”
melanggar hukum hak-haknya sebagai warga negara harus dihilangkan ? Sebagai
analogi seseorang yang secara jelas dinyatakan bersalah dan mendapatkan putusan
pengadilan pun tetap bisa menggunakan hak politiknya. Lewat analogi ini
terlihat bahwa di satu sisi pemerintah tetap berusaha melindungi dan memberikan
hak politik warga negara yang berstatus terpidana tapi disisi lain
menghilangkan hak politik warga Negara yang “baru dianggap” melanggar
undang-undang.
Disinilah yang dimaksud dengan tindakan diskriminatif terjadi.
Analogi lainnya adalah pemerintah menjamin hak politik para buruh migrant yang
kita yang berada diluar wilayah Indonesia, tapi menghilangkan hak politik warga
negara yang berada didalam wilayah NKRI. Negara melalui penyelenggaraan pemilu
sejatinya harus mampu menjamin terpenuhinya hak memilih warga karena meminjam
pendapat MK-hak untuk memilih (the right to vote) adalah hak asasi manusia yang
tidak boleh dikurangi karena soal-soal teknis administrasi. Dalam kasus
Moro-moro ada cara pandang yang salah, dimana selain perilaku diskriminatif,
sikap “mencurigai” usaha-usaha-usaha warga negara untuk memperjuangkan hak
politiknya sebagai warga negara.
Prinsip
Negara Hukum
Dalam kasus Moro-moro negara seakan-akan tidak lagi mampu melindungi
hak warga negara, pemerintah dan KPU justru terkesan ragu-ragu kalau tidak bisa
dibilang takut untuk menegakkan konstitusi. Pertanyaan akademisnya kemudian
adalah apakah konstitusi kita sudah berubah ? Apakah Kebijakan Pemkab dan
Peraturan KPU bisa mengalahkan amanat konstitusi ? Apakah perlakuan pemerintah
dan KPU terhadap warga moro-moro bisa dikategorikan sebagai tindakan
inskontitusional ? UUD 1945 secara tegas melarang berbagai tindakan
diskriminasi sebagaimana tercermin pada Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 ayat (1),
Pasal 28 I ayat (2).
Berbagai peraturan dibawahnya seperti Pasal 1 ayat (3) UU No. 39
Tahun 1999 tentang HAM juga tidak membenarkan diskriminasi berdasarkan
perbedaan agama, suku, ras, etnik, kelompok golongan status sosial, status
ekonomi, jenis kelamin, bahwa keyakinan politik. Pasal 27 ayat (1) UUD Negara
Republik Indonesia tahun 1945 menegaskan bahwa segala warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya. Pasal
28 D ayat (1) UUD 1945 menegaskan, bahwasannya setiap orang berhak atas
pangakuan jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan
yang sama di hadapan hukum.
Ditegaskan pula dalam pasal 28 I ayat (2) yang menyatakan
bahwasannya setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat
diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap
perlakuan yang bersifat diskriminatif.
Jika melihat Pasal 28 I ayat (4) UUD 1945 jelas menunjukkan
tanggungjawab negara dalam penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM
Sedangkan Pasal 28 I ayat (5) menegaskan penegakkan dan perlindungan hak asasi
manusia (HAM) yang sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka
pelaksanaan HAM dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan
perundang-undangan. Dalam prakteknya mungkin ada benarnya pendapat Prof. Jimly
Asshidiqie yang mengatakan bahwa dalam praktiknya penegakkan HAM sangat
dipengaruhi oleh corak praktek politik yang berlaku pada suatu negara. Begitu
pula sebaliknya, jika politiknya otoritarian, maka alih-alih mengenai HAM, yang
justru biasanya terjadi adalah merebaknya praktik kejahatan HAM. Namun, dalam
keadaan demokratis pun, jika para penegak hukum tidak memiliki kemauan kuat
untuk menerapkan law enforcement dan justice enforcement,
kejahatan HAM dapat saja tetap terjadi.
Kami ingin menguntit
pernyataan Gus Dur bahwa ideologi yang luhur dan mulia, ternyata tidak
diwujudkan dalam perilaku pemerintahan yang sesuai dengan tujuan dan semangat
UUD, yaitu berlangsungnya pemerintahan yang memiliki kewenangan terbatas dalam
mengatur kehidupan masyarakat. Negara lain tampak sebagai kekuasaan pihak yang
memerintahkan, bukannya sebagai pelaksana sistem pemerintahan yang bercirikan
kedaulatan hukum. Perjuangan orang Moro-moro untuk mendapatkan hak
politiknya sesungguhnya dapat merupakan perjuangan menegakkan konstitusi.
Perjuangan menegakkan amanat “segala warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Juga perjuangan menegakkan Pasal
5 ayat (1) UU HAM mengatakan : “Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi
yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama
sesuai dengan martabat kemanusiaannya di depan hukum”. Memang belum tentu juga
dengan mengikuti Pemilu akan dapat mengubah nasib orang Moro-moro menjadi lebih
baik, tapi juga tidak bijak juga menghilangkan mimpi mereka untuk melihat masa
depan yang lebih baik. Dalam situasi demikian, nilai-nilai konstitusional perlu
terus menerus didorong untuk secara berani dan tegas menjamin serta melindungi
hak-hak konstitusional warga negaranya. Akhirnya Thomas Jefferson pernah berkata
“if we cannot secure all our rights, let us secure what we can”.
D. CARA MENDAPATKAN HAK KONSTITUSI
Konstitusi Indonesia memuat dan
menegaskan prinsip bebas dari diskriminasi. Prinsip non diskriminasi, bersama
dengan kesetaraan di depan hukum dan perlindungan hukum yang sama tanpa adanya
diskriminasi, merupakan prinsip dasar dan umum sehubungan dengan perlindungan
hak asasi manusia. Prinsip non diskriminasi secara tegas disebutkan dalam Pasal
27, Pasal 28H(2) dan 28I(2) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945. Dalam
instrumen HAM internasional negara berkewajiban untuk menghormati dan menjamin
hak asasi bagi semua orang yang berada diwilayahnya dan menjadi subyek
yurisdiksinya tanpa pembedaan atas dasar apa pun, seperti ras, warna kulit,
jenis kelamin, bahasa,agama, pendapat politik atau lainnya, asal usul sosial
atau kebangsaan, kepemilikan, status kelahiran atau status lainnya
Di saat yang sama, konstitusi Indonesia
juga menjamin hak atas kemudahandan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan
dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan (Pasal 28H
(2)Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945). Kemudahan dan perlakuan khusus
ini adalah bagian dari langkah korektif dan bersifat sementara, yaitu hingga
persamaandan keadilan tercapai. Salah satu bentuknya adalah penetapanquota.Pembedaan
yang dilakukan sebagai bagian dari langkah korektif ini tidak termasuk
diskriminasi, karena ditujukan untuk mempercepat pencapaian persamaan yang
substantif.
Mekanisme penegakan hak asasi manusia
di Indonesia secara detil menyangkut beberapa institusi yaitu Mahkaham
Konstitusi, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Perlindungan Anak
Indonesia, Komisi Nasional Perempuan dan Komisi Ombudsman Nasional.
A. Mahkamah Konstitusi
Perkembangan pengaturan hak asasi manusia di Indonesia telah dipengaruhi
oleh perubahan politik setelah kejatuhan
Presiden Soeharto tahun 1998. Sidang Istimewa DPR bulan November 1998,
misalnya, menghasilkan Ketetapan No. XII/MPR/1998 t Tentang Hak Asasi Manusia dan disusul
dengan penerbitan Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Ketentuan lebih ekstensif tentang hak asasi manusia dicantumkan pula dalam Perubahan
Ketiga Undang-undang Dasar 1945 (tahun 2000), meskipun terdapat kemiripan
rumusan antara hasil amandemen konstitusi dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 dan Ketetapan No. XVII/MPR/1998.Menurut Pasal 28I ayat (4) Undang-Undang
Dasar 1945, negara berkewajiban untuk melindungi, memajukan, menegakkan dan
memenuhi hak asasi manusia.(rumusan yang dalam instrumen interasional
dirumuskan sebagai kewajiban to protect,to promote, to implement or enforce
and to fulfill human rights). Bagaimana hak asasi manusia ditegakkan di
hadapan ancaman-ancaman kekuasaan yang tak perlu dan berlebihan, apa lagi yang
bersalah-guna (corrupt)? Dalam kaitan ini penting pula untukmemeriksa
mekanisme penyampaian keluhan public (public complaints procedure)
B.Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia
Lembaga nasional hak asasi manusia merupakan sebuah badan yang menangani
persoalan-persoalan hak asasi manusia, terutama dalam kerangka memajukan dan
melindungi hak asasi manusia. Secara internasional institusi ini dimaksudkan sebagai
rekan kerja Komisi HAM PBB di tingkat nasional. Maka, sebagaimana Komisi
HAM PBB – lembaga nasional hak asasi manusia merupakan salah satu
mekanisme pemajuan/perlindungan hak asasi manusia. Di Indonesia, lembaga
nasional tersebut adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM),
yang pada awal berdirinya dibentuk berdasarkan Keppres No. 50 tahun 1993
dan dalamperkembangannya diperkuat
dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.Keberadaan
lembaga ini secara internasional dipandu oleh Prinsip-prinsip Paris 1991,
mengenai Status dan Fungsi Institusi Nasional untuk Melindungi dan Memajukan
Hak Asasi Manusia. Di dalamnya mencakup jurisdiksi lembaga, kemandirian
danpluralitas yang harus tercermin dalam komposisi maupun cara beroperasinya.
C.Komisi Perlindungan
Anak Indonesia (KPAI)
Komisi Perlindungan Anak Indonesia
(KPAI) adalah lembaga independen yang
dibentuk berdasarkan Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam rangka meningkatkan
efektifitas penyelenggaraan perlindungan anak. Komisi Perlindungan Anak
Indonesia (yang selanjutnya akan disebut dengan (KPAI) dibentuk untuk merespon
berbagai laporan tentang adanya kekerasan, penelantaran dan belum terpenuhinya
hak-hak dasar anak di Indonesia. Keputusan politik untuk membentuk KPAI juga
tidak dapat dilepaskan dari dorongan dunia internasional. Komunistas
internasional menyampikan keprihatinan mendalam atas kondisi anak di Indonesia.
Banyaknya kasus pekerja anak, anak dalam area konflik,pelibatan anak dalam
konflik senjata (childs soldier) seperti yang terjadi di Aceh, tingginya
angka putus sekolah, busung lapar, perkawinan di bawah umur, trafficking,dan
lain sebagainya telah memantik perhatian komunitas internasional untuk menekan
pemerintah Indonesia agar membuat lembaga khusus yang bertugas memantau kondisi
perlindungan anak di Indonesia.Tekanan internasional ini didasari oleh kondisi
bahwa Konvensi tentang Hak Anak (Convention on the Righs of Child) adalah
salah satu instrumen hak asasi manusia internasional yang paling cepat dan
paling banyak diratifikasi oleh berbagai negara di dunia. Dalam waktu yang
sangat dingkat Konvensi tentang Hak Anak diratifikasi olehmseluruh negara
anggota PBB, kecuali Amerika Serikat dan Somalia. Oleh karenanya,banyak
kalangan yang mengatakan bahwa Konvensi tentang Hak Anak bersifat universal,
hampir menyamai universalitas Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM).
D. Komisi Ombudsman Nasional (KON)
terbentuknya Komisi Ombudsman Nasional tidak didasari secara khusus oleh
semangat untuk melindungi, menegakkan dan memenuhi hak-hak asasi warga negara
Indonesia. Kemunculan Komisi Ombudsman Nasional lebih didasari oleh semangat
reformasi yang bertujuan menata kembali perikehidupan berbangsa dan bernegara
serta dalam rangka melakukan reformasi birokrasi yang telah mandeg selama
puluhan tahun.
Semangat untuk melakukan reformasi
birokrasi inilah yang sangat terasa dan pada saat dimunculkannya Komisi
Ombudsman Nasional sedang menjadi pembicaraan meluas di kalangan masyrakat.
Walaupun tidak serta merta tujuan perlindungan hak asasi manusia tidak ada,
namun secara formal dibentuknya Komisi Ombudsman Nasional lebih dikarenakan
tuntutan reformasi birokrasi.
sumber bacaan.
Basuki, U. (Desember 2013).
Globalisasi, Konstitusi dan Hak Asasi Manusia:. SUPREMASI HUKUM , Vol.
2, No. 2, 1-25.
Dedi
Sumanto, A. L. (Desember 2013). PERSPEKTIF KONSTITUSI TENTANG PEMBERDAYAAN. Jurnal
Al-Ulum , Hal 395-414.
Erlina.
(November 2012). IMPLEMENTASI HAK KONSTITUSIONAL PEREMPUAN DALAM PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA. Jurnal Konstitusi , Vol. I, No.
1,1-15.
H. Jawade
Hafidz, S. M. (Agustus 2011). EKOLOGI KONSTITUSIONAL (GREEN CONSTUTIONAL). Jurnal
Hukum , Vol XXVI, 533- 549.
Muktiono.
(Mei 2012). Mengkaji politik hukum kebebasan beragama dan berkeyakinan di
Indonesia. Jurnal Dinamika Hukum , Hal 395-414.
Wiratraman1,
R. H. (Januari 2005). KONSTITUSIONALISME & HAK-HAK ASASI MANUSIA. Jurnal
Ilmu Hukum YURIDIKA , Vol. 20, No. I, 1- 17.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar