KONSEP DASAR DAN HAKIKAT FILSAFAT
A. Pengertian Filsafat
Pengertian filsafat dapat ditinjau dari dua segi, yakni secara etimologi
dan terminologi. Secara etimologi, filsafat berarti cinta kebijaksanaan dalam
arti yang sedalam-dalamnya. Dan secara terminologi, filsafat adalah ilmu
pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu yang ada secara mendalam sampai
pada hakikatnya dengan menggunakan akal dan pikiran. Menurut Plato, Filsafat adalah ilmu
pengetahuan yang berusaha meraih kebenaran yang asli dan murni. Selain
itu, ia juga mengatakan bahwa filsafat adalah penyelidikan tentang sebab
sebab dan asas-asas yang paling akhir dari segala sesuatu yang
ada. Menurut Aristoteles, Filsafat
adalah ilmu pengetahuan yang senantiasa berupaya mencari prinsip-prinsip
dan penyebab-penyebab dari realitas yang ada. Ia pun mengatakan
bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berupaya mempelajari “peri
ada selaku peri ada” (being as being) atau “peri ada
sebagaimana adanya” (being as such). Filsafat bukan mempersoalkan
fenomena atau gejala-gejala atau peristiwa-peristiwa, akan tetapi yang dicari
adalah hakikat dari suatu gejala atau fenomena atau peristiwa. Jadi filsafat
membahas lapisan yang terakhir dari segala sesuatu atau membahas
masalah-masalah yang paling dasar.
Filsafat
bertujuan untuk mencari hakikat dari sesuatu gejala atau fenonema secara
mendalam. Ilmu pengetahuan empiris hanya membicarakan gejala atau fenomena
saja. Maka dalam filsafat harus refleksi, radikal, dan integral. Filsafat
bertugas sebagai pengantar, pengiring, dan sekaligus sebagai hati nurani dari
segenap kegiatan ilmiah. Dengan berfilsafat sekaligus untuk mengajukan
pertanyaan-pertanyaan tentang hakikat dari sesuatu. Dengan filsafat seorang
tidak akan menganggap sesuatu masalah sebagai hal yang sepele namun akan
mempertanyakan mengenai isi kebenaran sesuatu perbuatan tertentu dan pada
akhirnya akan menemukan kebenaran.
Filsafat
menjangkau semua persoalan dalam daya kemampuan pikiran manusia. Filsafat
mencoba mengerti, menganalisa, menilai dan menyimpulkan semua
persoalan-persoalan secara mendalam. Meskipun kesimpulan-kesimpulan filsafat
bersifat hakiki dan mendalam, namun masih relative dan subjektif. Dengan
demikian dapat dikatan bahwa, kebenaran filsafat adalah kebenaran relatif, yang
berarti kebenaran itu sendiri selalu mengalami perkembangan sesuai dengan
perubahan zaman dan peradaban manusia.
B. Tujuan Dan Ciri-Ciri Pikiran Kefilsafatan
a. Tujuan
Filsafat bertujuan untuk mencari
hakikat dari sesuatu gejala atau fenomena secara mendalam ilmu pengetahuan
empiris hanya membicarakan gejala-gejala atau fenomena saja. Jadi dalam
filsafat harus refleksi, radikal, dan integral. Refleksi berarti manusia menangkap
objeknya secara intensional dan sebagai hasil dari proses tersebut adalah
keseluruhan nilai dan makna yang diungkapkan dari objek-objek yang dihadapinya.
Radikal berasal dari kata “radix” berarti akar, jadi filsafat berarti mencari
pengetahuan sedalam-dalamnya atau sampai keakar-akarnya. Filsafat ingin
menembus hingga inti masalah dengan mencari manakah faktor-faktor yang
fundamental yang memebentuk adanya sesuatu. Namun hal ini dibatasi oleh sejauh
kemampuan manusia dapat menemukannya, sebab filsafat tidak akan membicarakan
yang jelas berada di luar jangkauan akal budi yang sehat. Sedangkan filsafat
itu integral berarti mempunyai kecenderungan untuk memperolaeh pengetahuan yang
utuh sebagai suatu keseluruhan. Jadi filsafat ingin memandang objeknya secara
keseluruhan.
b. Ciri-ciri Pikiran Kefilsafatan
Ciri-ciri kefilsafatan, yaitu
filsafat merupakan pemikiran tentang hal-hal serta proses-proses dalam hubungan
yang umum. Diantara proses-proses yang dibicarakan ialah pemikiran itu sendiri,
diantara hal-hal yang dipikirkan adalah sipemikir itu sendiri. Dengan filsafat
seseorang tidak akan menganggap sesuatu masalah yang dimanapun sebagai hal yang
sepele, tidak akan mudah dipengaruhi oleh sesuatu suasana yang kebetulan
terdapat pada suatu waktu tertentu, menjadi bersikap bebas, dapat mengatasi
sesuatu prasangka tertentu, menjadi bersikap jujur, akan mempertanyakan
mengenai isi kebenaran sesuatu perbuatan tertentu dan pada akhirnya menemukan
kebenaran.
C. Alasan Berfilsafat Dan Peranannya
1. Alasan Berfilsafat
Manusia
sebagai makhluk berfikir selalu berusaha untuk mengetahui segala sesuatu tidak
mau menerima begitu saja apa adanya sesuatu itu. Selalu ingin tahu apa yang ada
yang dilihat dan diamati. Berfilsafat didorong untuk mengetahui apa yang telah
diketahui dan apa yang belum diketahui. Berfilsafat berarti berendah hati bahwa
tidak semuanya akan pernah diketahui dalam kesemestaan yang seakan tidak
terbatas ini. Berfilsafat berarti mengoreksi diri, semacam keberanian untuk
berterus terang, seberapa jauh sebenarnya kebenaran yang dicari telah
dijangkau. Segala sesuatu yang dilihatnya, dialaminya, dan segala yang terjadi
di lingkungan selalu dipertanyakan dan dianalisi atau dikaji. Kekaguman atau
keheranan, keraguan atau kesangsian, dan kesadaran akan keterbatasan merupakan
faktor yang mendorong manusia untuk berfilsafat yaitu mempertanyakan,
memikirkan, dan menyelidiki segala sesuatu.
a.
Keheranan
Berfikir
filsafat timbul karena adanya sesuatu hal yang dipikirkan atau dipertanyakan
terhadap sesuatu hal atau objek, bahkan bisa saja karena adanya keheran
terhadap objek di sekeliling kita. Dari hal-hal tersebut maka seseorang akan
mencari jawaban dari pertanyaan atau rasa keheran secara mendalam sampai hal
tersebut terjawab sesuai dengan kepuasan yang diinginkan, didalam menjawab
pertanyaan tersebut dibutuhkan suatu pola berpikir agar pertanyaan
tersebut terjawab dan hasil jawaban itu dapat dipertanggungjawabkan, seperti
halnya di atas pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak akan terjawab jikalau tidak
ada pemikiran/berpikir serta pengetahuan yang ilmiah dalam menjawab sehingga
dibutuhkan suatu ilmu dalam menjawab sehingga dapat dikatakan bahwasannya
produk dari pemikiran filsafat adalah ilmu serta ilmu tersebut akan muncul
cabang-cabang ilmu yang lain yang mebidangi dari setiap permasalahan yang
dikaji. Seperti banyak filsuf berpendapat bahwa awal mulanya filsafat adalah
timbulnya rasa heran atau kagum pada manusia. Misalnya Plato (filsuf Yunani,
guru dari Aristoteles ) menyatakan bahwa : Mata kita memberi pengamatan bintang-bintang,
matahari, dan langit. Pengamatan ini memberi dorongan kepada kita untuk
meyelidiki. Dan dari penyelidikan ini berasal filsafat.
b.
Kesangsian
Berbeda
dengan Plato; Agustinus dan Rene Descartes beranggapan lain. Menurut mereka,
berfilsafat itu bukan dimulai dari kekaguman atau keheranan, tetapi sumber
utama mereka berfilsafat dimulai dari keraguan atau kesangsian. Ketika manusia
heran, ia akan ragu-ragu dan mulai berpikir apakah ia sedang tidak ditipu oleh
panca inderanya yang sedang keheranan? Apakah yang kita lihat itu benar
sebagaimana adanya? Kesangsian dan meragukan ini mendorong manusia untuk
berpikir lebih mendalam, menyeluruh dan kritis untuk memperoleh kepastian dan
kebenaran yang hakiki. Berpikir secara mendalam, menyeluruh dan kritis seperti
ini disebut dengan berfilsafat.
Sebuah
karya Descartes yang bersifat otobiografis dan merupakan sebuah karya filsafat
yang klasik, berkenaan dengan analisis atas jiwa rasional manusia. Dalam buku
itu ia menggambarkan awal usaha filosofisnya untuk meragukan semua hal secara
sistematis. Pertama-tama Descartes berasumsi bahwa segala-galanya bisa
diragukan, termasuk kesan-kesan indrawi yang sangat jelas dan terpilah-pilah,
serta sifat dasar dunia fisik sudah dianggap jelas dan pasti. Misalnya, ia
membayangkan kesan-kesan tersebut hanyalah ilusi belaka, bahwa ia tadi bermimpi
tentang kesan-kesan tersebut dan bukan sungguh-sungguh mengalaminya. Namun,
setelah terus menerus ragu akhirnya ia sampai pada suatu ide yang tampak sangat
pasti, yang tidak dapat diragukan. Dengan demikian secara paradoksal tindakan
meragukan sesuatu justru memberikan bukti adanya kepastian yang diinginkan oleh
Descartes. Ia dapat meragukan segenap kenyataan indrawinya bahkan keberadaan
tubuh dan dunia fisiknya, tetapi ia tidak dapat meragukan kenyataan subjektif
dari jiwanya sendiri.
Descartes
mengatakan bahwa jiwa tidak pernah tampak secara langsung dalam kesadaran kita,
seperti halnya pengalaman indrawi. Descartes yakin bahwa jiwa itu ada, ia tidak
pernah mengalami totalitasnya sama sekali. Akan tetapi keyakinan ini
mendorongnya untuk menyelidiki ide-ide lain yang meskipun nyata, tetapi tidak
dapat dihadirkan hanya oleh satu pengalaman indrawi semata-mata. Ide-ide
tersebut diantaranya adalah kesempurnaan, kesatuan, ketidak-berhinggaan, dan
aksioma-aksioma geometris yang terdapat di dalam jiwa. Descartes berkesimpulan
bahwa ide-ide seperti itu tidak bergantung dari pengalaman indrawi yang
spesifik tetapi dapat disentuh dan ditimbulkan oleh pengalaman pastilah
diperoleh dari hakikat jiwa yang berfikir. Maka ia menamakan mereka ide-ide
bawaan (innate ideas) dari jiwa. Keyakinan Descartes akan ide-ide bawaan
merupakan tongkat dimulainya pemikiran filsafatnya.
c.
Kesadaran akan keterbatasan
Bagi
manusia, berfilsafat dapat juga bermula dari adanya suatu kesadaran akan
keterbatasan pada dirinya. Menurut Husserl kesadaran tidak lain adalah
intensional mengarah pada sesuatu yang disadari yang disebut sebagai aktivitas intensional atau noetimatic,
sedangkan aktivitas menyadari sesuatu disebut sebagai aktivitas noetic. Oleh
sebab itu pengertian kesadaran oleh Husserl selalu dihubungkan dengan kutub
objektifnya, yakni objek yang disadari. Kesadaran merupakan adanya suatu
pemikiran perubahan tentang sesuatu. Dalam keterbatasan, sangatlah berguna
mengejar peradaban atau kebudayaan karena kebahagiaan-kebahagiaan kita
tergantung pada apa yang ada di dalam pikiran kita.
Apabila
seseorang sadar bahwa ia sangat terbatas dan terikat terutama pada saat
mengalami penderitaan atau kegagalan, maka dengan adanya kesadaran akan
keterbatasannya itu manusia berfilsafat. Ia akan memikirkan bahwa diluar
manusia yang terbatas, pastilah ada sesuatu yang tidak terbatas yang dijadikan
bahan kemajuan untuk menemukan kebenaran yang hakiki. Manusia menyadari bahwa
segala sesuatu yang terjadi dan yang ada pasti ada penyebabnya, dan dengan
demikian mulailah ia berfikir abstrak, dan akhirnya akan menemukan bahwa ada
penyebab yang tidak disebabkan apa-apa. Itulah yang disebut dengan Causa Prima,
Pencipta yang menjadikan segala sesuatu dari yang tidak ada menjadi ada.
2. Peranan Filsafat
Filsafat
memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Whitehead, salah
seorang pemikir terbesar dan disegani pada zaman modern menggambarkan peranan
filsafat yang pertama sebagai pengetahuan dan tinjauan ke masa depan. Beliau
berkata ketika peradaban manusia mencapai puncak, ketiadaan filsafat hidup yang
harmonis yang melanda seluruh komunitas memunculkan dekadensi dan kebosanan.
Baginya karakter sebuah peradaban memang sangat dipengaruhi oleh pandangan
umumnya tentang kehidupan dan realitas. Peranan filsafat yang kedua sebagai
pemberi penilaian imparsial dari seluruh sisi dan pengetahuan yang diberikan
tentang bukti dan apakah yang harus dicari dan diharapkan dari sebuah bukti.
Hal ini akan menjadi pengecek penting
atas bias emosional dan konklusi yang gegabah dan terutama dibutuhkan
dan seringkali tidak dimiliki dalam berbagai kontroversi politik. Filsafat
menciptakan ideal pemikiran yang baik dan melatih seseorang untuk menghilangkan
kebingungan.
Rapar
dalam Surajoyo mengatakan bahwa Filsafat telah memerankan tiga peran utama
dalam sejarah pemikiran manusia. Ketiga peran tersebut adalah sebagai berikut:
a.
Pendobrak
Berabad-abad
lamanya intelektual manusia terkurung dalam tradisi dan kebiasaan. Manusia
terlena dalam alam mistik yang penuh dengan hal-hal yang serba rahasia yang
terungkap melalui mitos dan mite. Pikiran manusia terbuai dengan hanya menerima
begitu saja segala penuturan dongeng dan takhayul tanpa mempersoalkan lebih
lanjut. Pada umumnya orang beranggapan bahwa segala dogeng dan takhayul
merupakan bagian yang hakiki dari warisan tradisi nenek moyang, sedangkan
tradisi itu diterima benar dan tidak dapat diganggu gugat, maka dogeng dan
takhayul itu pasti benar dan tidak boleh diganggu gugat. Orang Yunani yang
dikatakan memiliki rasionalitas yang luar biasa, pernah percaya kepada dongeng
dan takhayul. Keadaan ini berlangsung cukup lama. Kehadiran filsafat telah
mendobrak pintu dan tembok tradisi yang begitu sacral dan selama itu tidak
boleh tidak diterima. Pendobrakan itu membutuhkan waktu yang cukup lama atau
panjang namun telah membuahkan hasil yang mencengangkan, yakni terjadi
perubahan dalam pandangan dan sikap manusia tentang sesuatu.
b.
Pembebas
Kehadiran
filsafat bukan hanya sebagai pendobrak pintu palang yang mempertahankan tradisi
dan kebiasaan yang penuh dengan berbagai mitos dan mite itu, melainkan juga
merenggut manusia keluar dari dalam kurungan tersebut. Filsafat membebaskan
manusia dari belenggu cara berfikir yang mistik dan mite dan dari ketidaktahuan
dan kebodohannya. Filsafat telah, sedang, dan akan terus berupaya membebaskan
manusia dari kekurangan dan kemiskinan pengetahuan yang menyebabkan manusia
menjadi picik dan dangkal. Filsafat membebaskan manusia dari cara berfikir yang
tidak teratur dan tidak jernih, cara berfikir tidak kritis yang membuat manusia
mudah menerima berbagai kebenaran semu yang menyesatkan. Jelasnya dapat
dikatakan bahwa, filsafat membebaskan manusia dari segala jenis penjara yang
hendak mempersempit ruang gerak akan budi manusia.
c.
Pembimbing
Filsafat
berperan sebagai pembimbing terhadap keluarnya manusia dari kungkungan yang
membelenggu manusia yang hendak mempersempit ruang gerak akal budinya. Filsafat
membimbing manusia dari cara berfikir yang:
ü Mistik
dan mite dengan membimbing manusia untuk berfikir secara rasional
ü Picik
dan dangkal dengan membimbing manusia untuk berfikir secara luas dan mendalam
yakni berfikir secara universal sambil berupaya mencapai ‘radix’ dan menemukan
esensi suatu permasalahan.
ü Tidak
teratur dan tidak jernih dengan membimbing manusia untuk berfikir secara
sistematis dan logis
ü Utuh
dan begitu pragmentaris dengan membimbing manusia untuk berfikir secara
integral dan koheren.
Franz
Magnis Suseno (1991) menyebutkan ada empat peranan filafat, yaitu sebagai
berikut:
·
Bangsa Indonesia berada di tengah –
tengah dinamika proses modernisasi yang meliputi banyak bidang dan sebagian
dapat dikemudikan melalui kebijakan pembangunan. Menghadapi tantangan
modernisasi dengan perubahan pandangan hidup, nilai dan norma itu filsafat
membantu mengambil sikap sekaligus terbuka dan kritis.
·
Filsafat merupakan sarana yang baik
untuk menggali kembali kekayaan kebudayaan, tradisi, dan filsafat Indonesia
serta untuk mengaktualisasikannya. Filsafatlah yang paling sanggup untuk
mendekati warisan rohani tidak hanya secara verbalistik, melainkan secara
evaluatif, kritis, dan reflektif sehingga kekayaan rohani bangsa dapat menjadi
modal dalam pembentukan terus – menerus identitas modern Indonesia.
·
Sebagai kritik ideologi, filsafat
membangun kesanggupan untuk mendeteksi dan membuka kedok ideologis pelbagi
bentuk ketidakadilan sosial dan pelanggaran terhadap martabat dan hak asasi manusia
yang masih terjadi.
·
Filsafat merupakan dasar paling luas
untuk berpartisipasi secara kritis dalam kehidupan intelektual bangsa pada
umumnya dan dalam kehidupan intelektual di universitas dan lingkungan akademis
khususnya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dengan berdasarkan seluruh
penjelasan yang telah penulis jabarkan diaras maka penulis membuat kesimpulan
dari seluruh pembahasan yakni:
1.
filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki
segala sesuatu yang ada secara mendalam sampai pada hakikatnya dengan
menggunakan akal dan pikiran.
2.
Filsafat bertujuan untuk mencari hakikat
dari sesuatu gejala atau fenomena secara mendalam ilmu pengetahuan empiris
hanya membicarakan gejala-gejala atau fenomena saja. Jadi dalam filsafat harus
refleksi, radikal, dan integral. Ciri-ciri kefilsafatan, yaitu filsafat
merupakan pemikiran tentang hal-hal serta proses-proses dalam hubungan yang
umum.
3.
Manusia sebagai makhluk berfikir selalu
berusaha untuk mengetahui segala sesuatu tidak mau menerima begitu saja apa
adanya sesuatu itu. Filsafat memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan
manusia.
B. Saran
Dengan berdasarkan
seluruh uraian yang telah penulis jelaskan maka penulis menyarankan agar
kiranya para pembaca dan juga keseluruhannya mau memulai untuk berpikir
berfilsafat dalam menyelesaikan masalah yang kita hadapi agar kelak kedepannya
kita dapat menemukan solusi terbaiknya.
DAFTAR PUSTAKA
Ewing,
2003, Persoalan-Persoalan Mendasar Filsafat, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Edward,
Yusnadi, MS, 2015, Filsafat Pendidikan, Medan: Unimed Press
Zainal, Abidin, 2003, Filsafat
Manusia: Memahami Manusia Melalui Filsafat, Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar