Senin, 20 November 2017

Pendidikan Karakter Bagi Generasi Muda



BAB I

PENDAHULUAN


Wajah Indonesia masa depan dapat tergambar dari potret para generasi muda masa kini. Mental, karakter, eksistensi, kemampuan, dan peran pemuda sangat menentukan arah masa depan bangsa. Eksistensi Indonesia di masa lalu sangatlah ditentukan oleh kepiawaian dan kekuatan para pemuda dalam menopang beban bangsa ini. Sungguh sebuah posisi strategis bagi para pemuda dalam arus sejarah bangsa. Oleh karena itu masa depan bangsa Indonesia adalah karakteristik pemuda yang ada saat ini. Merekalah nahkoda yang aka membawa perahu besar yaitu Negara Indonesia untuk mengarungi lautan, membawa perahu tersebut selamat dalam pelayaran atau mungkin sebaliknya, membuat perahu itu tenggelam karena menabrak “karang” globalisasi.
Ditengah- tengah modernisasi banyak kaum Generasi Muda yang semakin tidak memiliki karakter, hal ini disebabkan karena semakin minimnya sekolah-sekolah yang meberikan pendidikan moralitas maupun karakter kepada anak didik sehingga lahirlah para Generasi Muda tanpa karakter. Melihat hal yang demikian maka saat ini setiap sekolah memilikimisi menghasilkan anak bangsa yang berkarakter. Tolok ukur keberhasilan suatu negara atau bangsa adalah keberhasilan generasi muda dimasa yang akan datang, karena mempertahankan keberhasilan biasanya lebih sulit dari pada merebut keberhasilan itu sendiri.
Generasi muda merupakan penerus tongkat estafet kepemimpinan, perjuangan untuk tetap berdiri kokoh, seiring dengan tugas tersebut, kompetisi diberbagai bidang juga semakin tinggi yang disebabkan oleh derasnya arus perputaran modal jasa keseluruh pelosok dunia yang mempengaruhi integritas nasional, kesemuanya hanya mungkin dijalani dengan kualitas kompetensi yang berdaya saing tinggi. Globalisasi merupakan konsep yang banyak digunakan untuk merespon kondisi dunia yang tanpa batas atau sekat. Salah satu realitas yang harus selalu dikritisi untuk menyikapi globalisasi adalah bahwa globalisasi dengan modernisasi ternyata telah menggerus bahkan telah mematikan nilai-nilai kearifan lokal suatu daerah. Dalam rangka membangun pendidikan karakter bangsa melalui budaya kerarifan lokal perlu dilakukan pengkajian, dan pengembangan karakter dengan fokus menanamkan pada pilar nilai-nilai luhur universal.
Sejak tahun 1990-an, terminologi pendidikan karakter mulai ramai di bicarakan. Thomas Lickona dianggap sebagai pengusungnya melalui karyanya yang sangat memukau “The Return of Character Education”. Beliau menyatakan bahwa pendidikan karakter adalah sebuah keharusan. Pendidikan karakter adalah sebuah upaya untuk membimbing perilaku manusia menuju standar-standar baku. Fokus pendidikan karakter adalah pada tujuan-tujuan etika, tetapi prakteknya meliputi penguatan kecakapan-kecakapan yang penting yang mencakup perkembangan sosial siswa.
Pada hakikatnya, pembangunan dan pembaharuan memerlukan penerapan ilmu dan teknologi semakin tinggi, sehingga diperlukan tenaga-tenaga terampil,  berkualitas tinggi, dan memiliki karakter yang baik, di samping kesiapan mental spiritual dan kondisi fisik yang telah mapan.
Dengan demikian maka sangat jelas, bahwa generasi muda harus sungguh-sungguh mempersiapkan diri. Sekolah-sekolah, akademi, dan Perguruan tinggi sebagai lembaga pendidikan formal, di samping pendidikan informal tempat menempa diri bagi generasi muda. Dengan begitu, generasi muda diharapkan dalam turut aktif mengisi kemerdekaan dan sebagai pelaku pembangunan bangsa, dapat tampil dengan kesiapan yang mantap. Dapat bertindak dan berpikir rasional, demokratis dan pragmatis. Selalu bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, cinta bangsa, cinta tanaha air serta cinta kesatuan dan persatuan dalam kebersamaan menyongsong hari esok yang lebih cerah.



BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Pendidikan Karakter Bagi Generasi Muda

            Sebenarnya pendidikan karakter ini sudah ada sejak lama bangsa Indonesia ini berdiri, para pendiri negara Indonesia ini menuangkannya ke dalam Pembukaan UUD 1954 alenia ke 2 dengan pernyataan yang tegas, ”mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Para pendiri negara menyadari bahwa hanya dengan menjadi bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmurlah bangsa Indonesia menjadi bermartabat dan dihormati bangsa-bangsa lain. Sejak awal Indonesia merdeka , pendidikan karakter itu sendiri telah digagas para pemikir pendiri bangsa Indonesia, terutama oleh persiden pertama kita Ir. Soekarno, melalui gagasannya tentang pembentukan karakter bangsa (Nation and Character Building ), tentang Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, serta relevansi, tantangan dan perkembangan bagi pendidikan karakter di Indonesia. (Afandi, 2011, hal. 2)
Pendidikan adalah usaha yang sadar dan sistematis dipakai dalam hal mengembangkan potensi peserta didik. Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak atau dapat juga dikatakan karakter adalah sifat pribadi yang relatif stabil pada diri individu yang menjadi landasan bagi penampilan perilaku dalam standar nilai dan norma yang tinggi. (Prayitno, 2010, hal. 38)
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai: the deliberate use of all dimensions of school life
to foster optimal character development. (Budiwibowo, 2013, hal. 4).
Durkheim juga mengemukakan bahwa tiap-tiap guru harus mampu mengembangkan cita-cita moral yang ada di balik sistem aturan yang telah dikembangkan dan memberi peluang kepada generasi mendatang untuk memnuhi tuntutan-tuntutan validitas yang baru, dalam artian mempunyai otonomi yang lebih individual sifatnya. Idealis semacam ini harus direkonstruksikan oleh generasi baru dengan memperluas masingmasing konsep moral sampai didapat generalisasinya. (Haricahyono, 1995, hal. 203)
Pendidikan Moral adalah satu kegiatan membantu anak untuk menuju ke arah yang sesuai dengan kesiapan mereka, dan tidak sekedar memaksakan pola-pola eksternal terhadapnya. Perana guru adalah memperkenalkan anak dengan masalah-masalah konflik moral yang realistik.
Konsepsi moralitas terdiri atas kepatuhan pada hukum moral, konformitas aturan sosial, otonomi rasional dalam hubungan antar pribadi dan otonomi eksistensial dalam pilihan seseorang.
Pendidikan moral atau nilai dapat disampaikan dengan metode langsung atau tak langsung. Metode langsung mulai dengan penentuan perilaku yang dinilai baik, sebagai upaya indoktrinasi berbagai ajaran. Caranya dengan memusatkan perhatian secara langsung pada ajaran tersebut, lewat mendiskusikan, menilustrasikan, menghafalkan, dan mengucapkannya.metode tak langsung tidak dimulai dengan menentukan perilaku yang baik dapat dipraktikkan. Keseluruhan pengalaman di sekolah dimanfaatkan untuk mengembangkan perilaku baik.
Indoktrinasi menghasilkan dua kemungkinan. Pertama, nilai-nilai yang diindoktrinasikan diserap, bahkan dihafal diluar kepala, tetapi tidak terinternalisasi apalagi teramalkan. Kedua,  nilai-nilai tersebut diterapkan dalam kehidupan, tetapi berkat pengawasan pihak penguasa, bahkan bukan atas kesadaran diri. Supaya pendidikan moral/nilai tidak bersifat indoktrinatif, subjek didik perlu didorong untuk dapat menemukan alasan-alasan yang mendasari keputusan moral. Tujuannya untuk mengembangkan kemampuan mengontrol tindakan.
Masalah yang dihadapi oleh lembaga pendidikan adalah banyaknya norma yang muncul dalam masyarakat sehingga sangat sulit untuk menentukan norma apa yang akan diacu. Pendidikan moral/nilai hendaknya difokuskan pada kaitan antara pemikiran moral dan tindakan bermoral. Namun, perlu diingat bahwa tindakan moral selaras dengan pemikiran moral hanya mungkin lewat pencerdasan emosional dan spiritual serta pembiasaan. Pendidikan moral hendaknya menumbuhkan kemandirian. (Zuchdi, 2008, hal. 3-5)                 
Pendidikan karakter bertujuan menciptakan seseorang/mahasiswa agar memiliki kerendahan hati, memiliki keberanian (courage) dalam arti mereka benar-benar punya keberanian menegakkan sesuatu yang dianggap benar dan bertanggung jawab, serta tidak memiliki keraguan. Bukankah kegagalan yang kita dengar selama ini tentang sikap dan perilaku para koruptor telah melukai suatu martabat dan kepribadian seseorang, disamping itu pendidikan karakter ini bisa memiliki integritas (kejujuran/ketulusan/keutuhan), memberikan pelayanan bersifat tulus tanpa pamrih dan tidak korup, memiliki rasa haru atau belas kasihan (compassion), memiliki rasa perikemanusian, mudah berempati dengan yang dialami oleh orang lain seperti susah, sedih, tidak gampang membuat orang lain tersinggung, marah tetapi memiliki semangat kerja yang tinggi dalam upaya meningkatkan kekuatan yang ada dalam diri setiap mahasiswa/seseorang.
Beberapa ciri orang yang memiliki karakter menurut Kirschenbaum (1995) antara lain:
·           hormat, tanggung jawab, peduli, disiplin, loyal, berani, dan toleran. Seseorang yang berkarakter mulia memiliki pengetahuan tentang potensi dirinya, yang ditandai dengan nilai-nilai seperti percaya diri,
·           rasional, logis, kritis, analitis, kreatif dan inovatif, mandiri, hidup sehat, bertanggung jawab, sabar, berhati-hati, rela berkorban, pemberani, dapat dipercaya, jujur, menepati janji, adil, rendah hati, ramah, cinta keindahan (estetis), sportif, dan tabah. Individu juga memiliki kesadaran untuk berbuat yang terbaik atau unggul, dan bertindak sesuai potensi dan kesadarannya. Individu yang berkarakter baik atau unggul adalah seseorang yang berusaha melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan YME, dirinya, sesama, lingkungan, bangsa dan negara serta dunia internasional pada umumnya dengan mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya dan disertai dengan kesadaran, emosi dan motivasinya (perasaannya).
David Elkind dan Sweet (2004) menyatakan bahwa pendidikan karakter merupakan upaya-upaya untuk membantu peserta didik memahami, peduli, dan berperilaku sesuai nilai-nilai etika yang berlaku. Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya.
Menurut Ramli (2001), pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Adapun kriterianya adalah nilai-nilai sosial tertentu yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya.
 Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pedidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda.
Dengan demikian, sangat wajar apabila dikatakan bahwa persoalan karakter merupakan hal yang amat sulit bila haltersebut tidak dipahami dalam kehidupan kita dimanapun kita berada. Kenyataan tentang sulitnyapersoalan sikap dan tingkah laku inilah yang kemudian menempatkan pentingnya pendidikan karakter. (Tanis, 2013, hal. 4)        

B. Implementasi Pendidikan Karakter Bagi Generasi Muda

Nilai-nilai karakter-cerdas diperlukan dalam wilayah pribadi sampai wilayah kehidupan berbangsa. Melihat terjadinya dekadensi moral pada generasi muda saat ini adalah merupakan cerminan moral dari para generasi tuanya atau teladannya, tentu di samping dari efek globalisasi yang tidak bisa dipungkiri. Sebab berdasar teori sosiologi, setiap generasi muda akan meniru (bercermin) dari apa yang dilakukan oleh generasi tuanya. Manakala moral generasi tuanya rusak, maka rusak pula moral generasi mudanya seperti yang terjadi sekarang ini. Maka dari itu sebelum menyalahkan para generasi muda, menurut hemat penulis lebih bijak bila para generasi tua pun mau instropeksi diri.
Di dalam era globalisasi salah satu masalah yang menonjol ialah kedudukan Negara-bangsa (nation-state). Huntington 5 sudah mengkhawatirkan terjadinya erosi dari peranan nation-state di dalam era globalisasi. Menurut Huntington bangsa dan Negara berbeda secara mendasar. Bangsa merupakan suatu masyarakat  etnis dan budaya. Inilah yang merupakan sumber jati diri dari bangsa itu. Negara merupakan suatu lembaga politik. Dan inilah yang merupakan sumber kekuasaan. Di dalam era globalisasi, sumber kekuasaan tentunya bukan lagi mutlak dari Negara.
Oleh sebab peranan Negara semakain berkurang maka suatu Negara akan mengalami kesulitan di dalam legitimasinya. Bangsa di dalam era globalisasi relative akan lebih mempan dari tabrakan. Bukankah suatu masyarakat etnis dengan budayanya merupakan suatu benteng yang kuat karena merupakan sumber dari jati diri kelompok masyarakat. Di dalam era globalisasi yang akan survive di dalam terapan gelombang perubahan ialah kelompok yang mempunyai jati diri. Tidak mengherankan apabila Huntington dalam The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order memprediksikan hapusnya Negara-negara dan lahirnya kelompok-kelompok budaya yang besar. (Huda, 2012, hal. 3)
Muatan nilai-nilai karakter yang terdapat dalam pembelajaran pada saat melakukan kegiatan pembelajaran meliputi; nilai Disiplin (discipline), Rasa hormat dan perhatian (respect), Tekun (diligence), Tanggung jawab (responsibility), Dapat dipercaya (trustworthiness), Berani (courage), Ketulusan (honesty), Inegritas (integrity), Peduli (caring), Jujur (fairness), Kewarganegaraan (citizenship), Ketelitian (carefulness). (Zulnuraini, 2012, hal. 1)
Mahasiswa pada saat ini merupakan harapan bagi masyarakat karena dapat melakukan perubahan di masyarakat (Agent of change). Sebagai salah satu potensi, mahasiswa juga bagian dari kaum muda dalam tatanan masyarakat yang mau tidak mau pasti terlibat langsung dalam tiap fenomena sosial, harus mampu mengimplementasikan kemampuan keilmuannya dalam akselerasi perubahan dunia ke arah berkeadaban. karena mahasiswa adalah figur yang penting dalam melakukan pembangunan bangsa kearah yang lebih maju serta menjadi alat perubahan dan kontrol terhadap suatu kebijakan yang terjadi dalam pemerintahan. Mahasiswa sebagai peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan satuan pendidikan tertentu. Oleh karena mahasiswa merupakan subyek didik di pendidikan tinggi, maka dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional tersebut diperlukan pembimbingan kemahasiswaan yaitu pembimbingan seluruh kegiatan mahasiswa sebagai peserta didik selama dalam proses pendidikan.
Mahasiswa merupakan aset bangsa, sebagai intelektual muda calon pemimpin masa depan. Berdasarkan cita-cita dan semangat Sumpah Pemuda 1928 yang mengutip arah kebijakan GBHN 1999, yaitu mengembangkan iklim yang kondusif bagi generasi muda dalam mengaktualisasikan segenap potensi, bakat dan karakter dengan memberikan kesempataan dan kebebasan mengorganisasikan dirinya secara bebas dan merdeka, bertakwa, beraklak mulia, patriotis, demokratis, mandiri, dan tanggap terhadap aspirasi rakyat.Pemerintah pun mengakui bahwa mahasiswa yang ada di Indonesia ini merupakan calon pemimpin bangsa dimasa depan dan dapat dijadikan partner untuk bersama-sama membantu pemerintah membangun negara.
Karena pemerintah merasa para mahasiswa tersebut adalah sosok yang cakap dengan pendidikan tinggi serta pola pikir yang memadai, sehingga dapat diajak turut serta dalam usaha-usaha memajukan kehidupan masyarakat menjadi lebih baik dariyang ada pada saat ini. Tentunya disesuaikan dengan bidang ilmu yang mahasiswa dapat di masa perkuliahan. Mahasiswa yang dianggap sebagi calon pemimpin masa depan bangsa, dengan mengikuti organisasi-organisasi yang ada dalam lingkungan Fakultas maupun Universitas. Dari mengikuti kegiatan organisasi maka akan diperoleh banyak pengalaman. Pengalaman-pengalaman itulah kemudian yang akan membentuk karakter mahasiswa lebih terarah.
 Sesuai dengan surat keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 091/0/2004 pasal 8 ayat 1, yang berbunyi : Pendidikan Karakter Terhadap Pembentukan Perilaku Mahasiswa untuk melaksanakan pendidikan karakter, peningkatan kepemimpinan, penalaran, minat bakat dan kesejahteraan mahasiswa dibentuklah organisasi kemahasiswaan. Pada kenyataanya tidak semua mahasiswa berkeinginan dan mempunyai semangat untuk terlibat secara langsung dalam berbagai kegiatan dalam lembaga kemahasiswaan khususnya Himpunan Mahasiswa Jurusan Sosiologi (HMJ). Ada Mahasiswa yang bersifat apatis terhadap pergerakan-pergerakan yang dilakukan baik itu berupa diskusi, dialog, seminar dan berbagai kegiatan yang secara langsung maupun tidak akan membetuk karakter mahasiswa itu sendiri. (Manalu1, 2014, hal. 2-3)
Karakter dibentuk melalui pengembangan unsur-unsur harkat dan martabat manusia (HMM) yang secara keseluruhan bersesuaian dengan nilai-nilai luhur pancasila. Lebih rinci harkat dan martabat manusia meliputi tiga komponen yakni:
·           Hakikat Manusia, meliputi lima unsur, yaitu bahwa manusia diciptakan sebagai makhluk yang beriman dan bertaqwa, paling sempurna, paling tinggi derajatnya, khalifah di muka bumi, dan penyandang Ham (hak asasi manusia). Pembentukan karakter sepenuhnya mengacu kepada kelima unsur hakikat manusia.
·           Imensi Kemanusiaan, meliputi lima dimensi, yaitu dimensi kefitraan (dengan kata kunci kebenaran dan keluhuran), dimensi keindividualan (dengan kata kunci potensi dan perbedaan), dimensi kesosialan (dengan kata kunci perbedaan), dimensi kesusilaan (dengan kata kunci nilai dan norma), dan dimensi keragaman (dengan kata kunci iman dan taqwa). Penampilan kelima unsur dimensi kemanusiaan dalam kehidupan sehari-hari akan mencerminkan karakter individu yang bersangkutan.
·           Pancadaya Kemanusiaan, meliputi lima potensi dasra, yaitu daya taqwa, daya cipta, daya rasa, daya karsa dan daya karya melalui pengembangan seluruh unsur pancadaya inilah pribadi berkarakter dibangun.
Zaman pasca revolusi menumbuhkan beberapa sifat kelemahan dalam mentalitas para generasi muda di Indonesia yang akan menjauhkan diri dari jiwa pembangunan, kehidupan tanpa pedoman dan tanpa orientasi yang tegas itu adalah: sifat mentalitas meremehkan mutu, mentalitas suka menerabas, sifat tidak percaya pada diri sendiri, sifat tidak berdisiplin murni, dan sifat mentalitas yang suka mengabaikan tanggung jawab yang kokoh. (Haricahyono, 1995, hal. 5-6)
Berkembangnya perilaku baru yang sebelum era global tidak banyak muncul, kini cenderung meluas, yakni:
1.        meningkatnya kekerasan di kalangan masyarakat;
2.        penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk, cenderung tidak menggunakan kata baku;
3.        pengaruh peer-group (geng) yang kuat dalam tindak kekerasan;
4.        meningkatnya perilaku merusak diri, seperti penggunaan narkoba, alkohol;
5.        semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk;
6.        menurunnya etos kerja;
7.        semakin rendahnya rasa hormat kepada orangtua dan guru;
8.        rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara;
9.        membudayanya ketidakjujuran; dan
10.    adanya rasa saling curiga dan kebencian di antara sesama.
Disisi lain adanya masyarakat kita yang sangat sibuk mencari kehidupan duniawi, mengejar harta dan tahta, hingga tega menyerahkan pendidikan dan pengasuhan balita kepada pembantu yang notabene kurang memiliki cukup kemampuan sebagai pendidik. Ketika masa remaja tidak  terperhatikan, bahkan pembinaan remaja di luar sekolah maupun di rumah diserahkan kepada masyarakat, yang ternyata kondisinya tidak kondusif bagi pengembangan karakter. Bahkan sampai masa dewasa, integrasi masyarakat tidak menentu, saling tidak mempercayai (trust), kehidupan semu, tidak tulus, Asal Bapak Senang, budaya munafik. Jadi ada sesuatu yang hilang (nothing to loose) yaitu karakter dan kearifan lokal.
Akibat dari perkembangan teknologi komunikasi juga muncul kelompok masyarakat yang merasa mandiri, kemudian muncul egoisme, asal saya selamat, yang lain masa bodoh. Bila kita sampai pada pemikiran seperti itu akan sampai pada satu bahaya besar, karena akan terjadi disintegrasi yang tidak tampak. Disintegrasi seperti itu baru akan terlihat bila kita telah mengalami suatu musibah besar seperti perpecahan politik atau serangan dari luar. Jika ini terjadi, negara hanyalah tinggal sebagai kerangka tetapi isinya keropos. (Noor, 2006, hal. 251)
Perlu diketahui bahwa berbagai permasalahan generasi muda yang muncul pada saat ini antara lain:
1.        dirasa menurunnya jiwa idealisme, patriotisme dan nasionalisme di kalangan masyarakat termasuk generasi muda.
2.        Kekurang pastian yang dialami oleh generasi muda terhadap masa depannya.
3.        Belum seimbang antara jumlah generasi muda denga fasilitas pendidikan yang tersedia, baik yang formal maupun non-formal.
Pada masa sekarang ini, mayoritas penduduk dunia terdiri dari generasi muda. Di lima benua dalam lingkup Planet Bumi hanya sebagian kecil saja wilayah muka bumi yang berpenduduk usia lanjut, yaitu di daerah eropa, khususnya di Eropa Barat. Generasi muda zaman ini menempati posisi yang strategis dan khas, karena merekalah yang paling terkena oleh perkembangan zaman, dan pastilah mereka akan terlibat dalam arus zaman tersebut.
Suatu studi PBB menyatakan, kini terdapat suatu perasaan yang semakin tumbuh mengenai kesatuan di antara generasi muda, suatu perasaan solidaritas dunia dan suatu persaan tanggung jawab bersama untuk mencapai perdamaian. Generasi muda dunia, kini tengah mencari suatu identitas yang bersifat universal. Mereka merupakan suatu bentuk penduduk baru, yang sekaligus lebih gigih dan lebih mampu untuk menyesuaikan diri dibandingkan dengan orang tua mereka. Mereka pun siap untuk menerima perubahan dan terbuka terhadap ide baru. Generasi muda dunia segera menguasai masalah-masalah dunia.
Suatu masalah sentral dalam hubungan kebudayaan dan pembangunan masa mendatang, adalah sangat dibutuhkan suatu niat baik dari generasi tua untuk memberi kesempatan kepada genrasi muda untuk memainkan peranan dalam pembentukan dan pengisian dunia baru. Dengan demikian generasi tua harus mendorong generasi muda untuk lebih banyak membangun jaringan-jaringan komunikasi secara rasional, regional maupun internasional.
Generasi tua janganlah menyimpan saran saja, ide atau pemecahan masalah yang ditimba dari pengetahuan serta pengalaman yang mendalam, yang berkaitan dengan karya-karya besar mereka pada zamannya. Generasi tua memiliki kewajiban untuk memberikan motivasi serta mendoorng generasi muda untuk tampilmberpartisipasi aktif, ikut memikul tanggung jawab dalam pembangunan.
Dalam pendidikan, membangun karakter bangsa mencakup upaya untuk mencapai suatu proses internalisasi pengetahuan yang kemudian dapat berlanjut sampai dengan terjadinya suatu perubahan. Disini diperlukan adanya perubahan dari segenap komponen bangsa ini untuk sanggup melakukan pergantian atau perubahan setelah menjalani setiap proses pembelajaran.
Dalam dunia pendidikan, keberhasilan pendidikan bukan diukur dari tercapainya target akademis siswa, tetapi lebih kepada proses pembelajaran sehingga dapat memberikan perubahan sikap dan perilaku kepada siswa. Masih banyak guru-guru yang menyatakan bahwa keberhasilan pendidikan hanya diukur dari tercapainya target akademis siswa, karena sebagian mereka mengajar dengan orientasi bahwa siswa harus mendapatkan nilai yang bagus sehingga dapat dianggap siswa atau guru itu telah berhasil melaksanakan pendidikan.
Jika tidak ada pembelajaran dalam pendidikan, maka hasilnya akan seperti sebelumnya, dalam arti kata tidak ada perubahan. Kita menginginkan adanya proses pembelajaran yang dapat memberikan perubahan atau dampak positif pada perilaku dan sikap pelajar kita sehingga mereka tidak hanya menguasai ilmu pengetahuan secara akademik tetapi mereka dapat membentuk karakter yang kuat bagi dirinya.
Dalam menghadapi arus globalisasi yang semakin pesat, karakter bangsa yang kuat sangat diperlukan, maka dituntut peran penting dari generasi muda, khususnya perannya sebagai character enabler, character builders dan character engineer. Tiga peran itu adalah :
Ø  Sebagai Pembangun kembali karakter bangsa (Character builder).
Di tengah-tengah derasnya arus globalisasi, peran ini tentunya sangat berat, namun esensinya adalah adanya kemauan keras dan komitmen dari generasi muda untuk menjunjung nilai-nilai moral untuk menginternalisasikannya pada aktifitas sehari-hari.
Ø  Sebagai Pemberdaya karakter (Character enabler)
Peran ini juga tidak kalah beratnya, selain kemauan kuat dan kesadaran kolektif dengan kohesivitas tinggi, masih dibutuhkan adanya kekuatan untuk terlibat dalam masyarakat maupun di tempat asing.
Ø  Sebagai perekayasa karakter (Character engineer)
Peran ini menuntut generasi muda untuk terus melakukan pembelajaran, adanya modifikasi dan rekayasa yang tepat disesuaikan dengan perkembangan jaman. Peran generasi muda dalam hal ini sangat diharapkan oleh bangsa, karena ditangan merekalah proses pembelajaran adaptif dapat berlangsung dalam kondisi yang paling produktif.
Menghadapi globalisasi, karakter generasi muda harus lebih meningkatkan pembangunan budi pekerti dan sikap menghormati dan harus mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Menteri Pendidikan Nasional, Mohammad Nuh menegaskan,  bahwa “tidak ada yang menolak tentang pentingnya karakter, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana menyusun dan menyistemasikan, sehingga anak-anak dapat lebih berkarakter dan lebih berbudaya”.
Meskipun begitu generasi muda nantinya masih memerlukan dukungan dari pemerintah maupun komponen bangsa lainnya, namun esensi utamanya tetap pada peran generasi muda. Hal tersebut selain karena generasi muda masih berada dalam puncak produktifitasnya, juga karena generasi muda adalah komponen bangsa yang paling strategis posisinya dalam memainkan proses transformasi karakter dan tata nilai di tengah-tengah derasnya liberalisasi informasi era globalisasi.
Seharusnya sudah menjadi perhatian kita bersama mengenai pentingnya memupuk sikap humanisme serta memperbaiki karakter bangsa indonesia yang  telah pudar ini. Oleh sebab itu, kita masih mempunyai kesempatan serta masadepan dengan mendidik generasi masa depan dengan nilai-nilai humanisme yang luhur serta mempunyai karakter yang bersih dan mulia.
Pendidikan karakter merupakan aspek dominan dalam wilayah ini. Karakter bangsa terbangun atau tidak sangat tergantung kepada bangsa itu sendiri. Bila bangsa tersebut memberikan perhatian yang cukup untuk membangun karakter maka akan terciptalah bangsa yang berkarakter.
Bila negara kita dapat memberikan pembangunan karakter kepada para warga negara sejak dini, maka akan tercipta pula generasi yang berkarakter dan berwawasan kebangsaan yang luas melalui penghayatan dan pengamalan Pancasila. Demikian pula sebaliknya. Kita paham, bahwa Tuhan tidak merubah keadaan suatu kaum bila mereka tidak berusaha melakukan perubahan itu (innalloha laa yughoyyiru maa biqoumin hattaa yughoyyiruu maa bi anfusihim).
Lima pilar karakter luhur bangsa Indonesia mencakup:
v  Transendensi: Menyadari bahwa manusia merupakan ciptaan Tuhan yang maha Esa. Dari kesadaran ini akan memunculkan sikap penghambaan sematamata pada Tuhan yang Esa. Kesadaran ini juga berarti memahami keberadaan diri dan alam sekitar sehingga mampu menjaga dan memakmurkannya. Ketuhanan yang maha Esa;
v  Humanisasi: Setiap manusia pada hakikatnya setara di mata Tuhan kecuali ilmu dan ketakwaan yang membedakannya. Manusia diciptakan sebagai subjek yang memiliki potensi. Kemanusiaan yang adil dan beradap;
v  Kebinekaan: Kesadaran akan adanya sekian banyak perbedaan di dunia. Akan tetapi, mampu mengambil kesamaan untuk menumbuhkan kekuatan, Persatuan Indonesia;
v  Liberasi: Pembebasan atas penindasan sesama manusia. Karenanya, tidak dibenarkan adanya penjajahan manusia oleh manusia. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan;
v  Keadilan: Keadilan merupakan kunci kesejahteraan. Adil tidak berarti sama, tetapi proporsional. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Hal itu diharapkan mampu memberikan kontribusi optimal dalam mewujudkan masyarakat yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, berjiwa persatuan Indonesia, berjiwa kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Diperlukan upaya serius untuk menjadikan nilai-nilai luhur yang telah dikenal, kembali menjadi budaya dan karakter bangsa. Salah satu upaya ke arah itu adalah memperbaiki sistem pendidikan nasional dengan menitikberatkan pada pendidikan karakter.
Dalam Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa (Pemerintah Republik Indonesia, 2010), disebutkan bahwa bentuk kegiatan pada program pendidikan karakter bangsa konteks mikro, dapat dibagi menjadi empat, yakni: kegiatan belajar-mengajar; kegiatan kehidupan keseharian di satuan pendidikan; kegiatan ekstra-kurikuler; kegiatan keseharian di rumah dan masyarakat. Mengingat mahasiswa sebagai kelompok idealis dengan segala kelebihan dan potensinya, pemberian pendidikan karakter bangsa kepada mereka memerlukan strategi khusus.
Tulisan berikut mengangkat praktik baik (best practices) implementasi pendidikan karakter bangsa pada mahasiswa di perguruan tinggi yang diambil dari berbagai sumber. Pembahasan meliputi pengertian karakter, karakter bangsa, pendidikan karakter bangsa, dan implementasi pendidikan karakter bangsa pada kegiatan kemahasiswaan.
Selanjutnya  dalam rangka Membangun Pendidikan Karakter Bangsa Melalui Budaya Lokal perlu dilakukan pengkajian, dan pengembangan karakter dengan fokus menanamkan 9 pilar nilai-nilai luhur universal: (1) cinta Tuhan dan alam semesta beserta isinya; (2) tanggung jawab, kedisiplinan, dan kemandirian; (3) kejujuran; (4) hormat dan santun: (5) kasih sayang, kepedulian, dan kerjasama; (6) percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah; (7) keadilan dan kepemimpinan; (8) baik dan rendah hati; dan (9) toleransi, cinta damai dan persatuan. Pilar akhlak (moral) yang dimiliki (mengejewantah) dalam diri seseorang sehingga ia menjadi orang yang berkarakter baik (good character) adalah: jujur, sabar, rendah hati, tanggung jawab, dan rasa hormat.
Karakter tersebut tercermin dalam kesatuan organisasi/sikap yang harmonis dan dinamis. Tanpa nilai-nilai moral dasar ini (basic moral values) yang senantiasa mengejewantah dalam diri pribadi kapan dan dimana saja, orang dapat dipertanyakan kadar keimanan dan ketaqwaan.
Ciri orang yang kuat imannya, adalah: (1) secara tulus dia patuh pada Tuhan-nya; (2) dia tertib dan disiplin melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Tuhan, secara mahdhoh/ritual; (3) memahami dan menghargai ajaran agama lain, sehingga tercipta kehidupan yang toleran; dan (4) memperbanyak kerjasama dalam bidang kehidupan sosial budaya. Tatanan sosial dan tradisi lokal yang berakar kuat akan memberikan sentuhan halus yang mengingatkan manusia agar tidak terbawa arus perubahan yang demikian dahsyat.
Nilai budaya yang berkembang dalam suatu masyarakat, akan selalu berakar dari kearifan tradisional yang muncul dan berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakat itu sendiri, kemajemukan masyarakat Indonesia dengan ciri keragaman budayanya tidak bisa secara otomatis terintegrasi menjadi kebudayaan Nasional, yang sama mantapnya dengan setiap sistem adat yang ada, karena kebudayaan Nasional tersebut baru pada taraf pembentukan.
Selain melalui mata kuliah pengembangan kepribadian, semua dosen pada semua mata kuliah hendaknya menjadi figur yang mempraktekkan pembentukan karakter ini dalam semua aktivitas di kelas maupun di luar kelas. Jika hal ini bisa dilakukan maka semua lingkungan di kampus, baik di kelas, luar kelas maupun kantor administratif akan mencerminkan lingkungan yang mendukung pembentukan karakter.







BAB III

PENUTUP


Untuk mewujudkan pendidikan karakter bagi generasi muda pada jaman sekarang ini, secara umum dapat dilakukan melalui pendidikan formal, non formal, dan informal yang saling melengkapi dan diatur dalam peraturan perundang-undangan. Sesuai Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa, pendidikan karakter dimaknai sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana serta proses pemberdayaan potensi dan pembudayaan peserta didik guna membangun karakter pribadi dan/atau kelompok yang unik-baik sebagai warga negara.
Beberapa kondisi diluar kurikulum yang perlu diperhatikan perguruan tinggi karena hal-hal tersebut mendukung suksesnya implementasi pendidikan karakter adalah :
ü  Budaya kampus dan praktik-praktik interpersonal yang menjamin bahwa mahasiswa diperlakukan dengan perhatian dan hormat,
ü  Dosen, staf menjadi model karakter yang baik bagi mahasiswa, menghidupkan nilai-nilai dalam interaksi keseharian dengan mahasiswa,
ü  Memberikan kesempatan pada mahasiswa memiliki otonomi dan pengaruh dalam pengelolaan perguruan tinggi seperti memberikan wadah untuk menampung aspirasi mahasiswa,
ü  Memberikan kesempatan mahasiswa untuk reflesi, berdebat maupun berkolaborasi mencari pemecahan masalah isu-isu moral,
ü  Sharing visi dan sense of collectivity and responsibility,
ü  Social skill training artinya kampus menyelenggarakan pelatihan bagi mahasiswa yang tujuannya agar mahasiswa dapat melakuan penyesuaian jangka panjang dengan memperkuat ketrampilan pemecahan masalah interpersonal,
ü  Memberi kesempatan lebih pada mahasiswa untuk berpartisipasi dalam dalam kegiatan pelayanan masyarakat oleh kampus yang bisa menaikkan perilaku moral
Dalam membangun karakter bangsa diperlukan upaya serius membangun karakter individu. Secara psikologis karakter individu dimaknai sebagai hasil keterpaduan olah hati, olah pikir, olah raga, olah rasa dan karsa. Olah hati berkenaan dengan perasaan sikap dan keyakinan/keimanan. Olah pikir berkenaan dengan proses nalar, guna mencari dan menggunakan pengetahuan secara kritis, kreatif, dan inovatif. Olah raga berkenaan dengan proses persepsi, kesiapan, peniruan, manipulasi, dan penciptaan aktivitas baru disertai sportivitas. Olah rasa dan karsa berkenaan dengan kemauan dan kreativitas yang tecermin dalam kepedulian, pencitraan, dan penciptaan kebaruan.
Perlu diingatkan kembali bahwa transformasi nilai karakter yang baik yang terjadi pada karakter individu, yang pada gilirannya akan menunjang karakter bangsa yang diidamkan, tidak cukup dilakukan hanya dengan membaca, mempelajari, mendiskusikan, ataupun berfilsafat tentang nilai-nilai karakter tersebut.
Yang jauh lebih penting adalah mengimplementasikan dalam bentuk praktik nyata pada kehidupan sehari-hari. Hendaknya kita selalu menjadi teladan bagi orang lain, dengan melakukan apapun yang menjadi tugas dan kewajiban kita dengan baik. Hanya dengan cara demikian, kita akan dapat mencapai kesempurnaan akhir yang merupakan ciri manusia sejati.







DAFTAR PUSTAKA

Referensi Buku
Aris, D. (2013). Generasi Muda Bicara Pancasila. Yogyakarta: Ombak.
Haricahyono, C. (1995). Dimensi-Dimensi Pendidikan Moral. Semarang: IKIP Semarang Press.
Noor, A. (2006). Ilmu Sosial Dasar. Bandung: Pustaka Setia.
Prayitno. (2010). Pendidikan Karakter dalam Pembangunan Bangsa. Medan: Pascasarjana UNIMED.
Zuchdi, D. (2008). Humanisasi Pendidikan. Yogyakarta: Sinar Grafika Offset.

Referensi Jurnal
Afandi, R. (2011). INTEGRASI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PEMBELAJARAN IPS. PEDAGOGIA Vol. 1, No. 1 , 2.
Budiwibowo, S. (2013). MEMBANGUN PENDIDIKAN KARAKTER GENERASI MUDA. Jurnal Pendidikan , 4.
Huda, S. (2012). Pendidikan Karakter Bangsa dalam. Media Akademika, Vol. 27, No. 3 , 3.
Manalu1, J. M. (2014). PEDIDIKAN KARAKTER TERHADAP PEMBETUKAN. ejournal Psikologi, Volume 2, Nomor 4 , 2-3.
Tanis, H. (2013). PENTINGNYA PENDIDIKAN CHARACTER BUILDING. JURNAL HUMANIORA Vol.4 No.2 , 1216.
Zulnuraini. (2012). Pendidikan Karakter: Konsep, Implementasi Dan Pengembangannya di Sekolah. Jurnal DIKDAS, No.1, Vol.1 , 1.

1 komentar: