SEJARAH DAN PERKEMBANGAN PTUN
PENDAHULUAN
Dasar
peradilan dalam UUD 1945 dapat ditemukan dalam pasal 24 yang menyebutkan:
1.
Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang.
2.
Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur
dengan undang-undang.
Sebagai
pelaksanaan Pasal 24 UUD 1945, dikeluarkanlah Undang-undang Nomor 14 Tahun
Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Dalam Pasal 10 ayat (1)
disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam
lingkungan:
a. Peradilan Umum;
b. Peradilan Agama;
c. Peradilan Militer;
d. Peradilan Tata Usaha Negara.
Dengan
demikian penyelenggaraan peradilan tata usaha negara di Indonesia merupakan
suatu kehendak konstitusi dalam rangka memberikan perlindungan hukum terhadap
rakyat secara maksimal. Indonesia sebagai negara hukum tengah berusaha
meningkatkan kesejahteraan bagi seluruh warganya dalam segala bidang.
Kesejahteraan itu hanya dapat dicapai dengan melakukan aktivitas-aktivitas
pembangunan di segala bidang. Dalam melaksanakan pembangunan yang multi
kompleks sifatnya tidak dapat dipungkiri bahwa aparatur pemerintah memainkan
peranan yang sangat besar. Konsekuensi negatif atas peran pemerintah tersebut
adalah munculnya sejumlah penyimpangan-penyimpangan seperti korupsi,
penyalahgunaan kewenangan, pelampauan batas kekuasaan, sewenang-wenang,
pemborosan dan sebagainya. Penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh aparat
pemerintahan itu tidak mungkin dibiarkan begitu saja. Disamping itu, juga
diperlukan sarana hukum untuk memberikan perlindungan hukum bagi rakyat.
Dengan
diberlakukannya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara yang berdasarkan Pasal 144 dapat disebut
Undang-undang Peradilan Administrasi Negara, maka dewasa ini perlindungan hukum
terhadap warga masyarakat atas perbuatan yang dilakukan oleh penguasa dapat
dilakukan melalui 3 badan, yakni sebagai berikut:
a.
Badan Tata Usaha Negara, dengan melalui upaya
administratif.
b.
Peradilan Tata Usaha Negara, berdasarkan Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tara Usaha Negara (PTUN).
c.
Peradilan Umum, melaui Pasal 1365 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata (KUHPerdata).
PEMBAHASAN
Bagi
Indonesia keinginan untuk memiliki Peradilan Tata Usaha Negara yang pada
mulanya disebut Peradilan Administrasi Negara kemudian berubah nama Peradilan
Tata Usaha Pemerintahan kemudian setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 istilah yang digunakan adalah Peradilan Tata Usaha Negara, sudah lama
dicita-citakan sejak zaman pemerintahan jajahan Belanda. Namun, keinginan itu
selalu kandas di tengah jalan karena berbagai alasan. Keinginan itu
baru terwujud pada penghujung Tahun 1986, yakni dengan diundangkannya UU Nomr 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, pada tanggal 29 Desember 1986.
Meskipun UU
No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara berlaku pada saat
diundangkan , namun UU tersebut belum berlaku secara efektif karena penerapan
UU ini akan diatur lebih lanjut engan peraturan pemerintah selambat-lambatnya 5
tahun sejak UU diundangkan ( pasal 145 UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara ). Karena itu hingga akhir tahun 1990, meskipun lembaganya
sudah terbentuk, namun belum bisa menyelesaikan perkata TUN yang timbul.
Bila ditelaah lebih lanjut, beberapa pasal dalam UU NO. 5 Tahun 1986
masih memerlukan peraturan pelaksanaan . Selain itu Peradilan TUN adalah sutu
lembaga baru yang masih memerlukan persiapan. Oleh karena itu pemerintah
diberikan waktu ancang-ancang untuk melakukan persiapan seperlunya , baik yang
menyangkut prasarana dan sarana maupun personalianya. Waktu yang diberikan oleh
UU No. 5 Tahun 1986 paling lambat 5 tahun.
Yang tidak
termasuk ke dalam kategori Keputusan Tata Usaha Negara dalam UU 5/1986 beserta
perubahannya adalah:
1. Keputusan
Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata
2. Keputusan
Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum
3. Keputusan
Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan
4. Keputusan
Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau peraturan
perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana.
5. Keputusan
Tata Usaha Negara yang keluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
6. Keputusan
Tata Usaha Negara mengenai Tata Usaha Tentara Nasional Indonesia
7. Keputusan
Komisi Pemilihan Umum baik pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum[1]
Harus kita
akui bahwa kelahiran UU tersebut adalah suat langkah maju dalam era pembangunan
hukum yang dicanangkan pemerintah dan juga menunjukkan adanya itikad baik dari
pemerintah, karena pihak pemerintahlah yang menjadi tergugat tetepi pihak
pemerintah jugalah yang mengajukan Rancangan UU tersebut ke Dewn Perwakilan
Rakyat. Keberadaan Peradilan TUN merukan salah satu jalur yudisial dalam rangka
pelaksanaan asas perlindungan hukum, di samping pengawasan jalur Administratif
yang berjalan sesuai dengan jalur yang ada dalam lingkungan pemerintahan
sendiri. Karena itu Peradilan TUN membrikan landasan pada badan yudikatif untuk
menilai tindakan eksekutif serta mengatur mengenai perlindungan hokum kepada
masyarakat.
Apabila kita
telusuri Peradilan TUN telah menempuh perjalanan yang cukup panjang dan
berliku. Oleh karena itu, kita harus menelusuri dari zaman
pra-kemerdekaan hingga sesudah kemerdekaan. Pada zaman pemerintahan Belanda
tidak dikenal adanya Peradilan TUN sebagai suatu lembaga yang berdiri sendiri,
yang diberi kewenangan untuk memeriksa dan menyelesaikan sengketa di bidang
Tata Usaha Negara. Peradilan Administrasi Negara (TUN ) pada waktu itu
dilakukan baik oleh hakim administrasi Negara (TUN ), yaitu hakim khusus yang
memeriksa perkara administrasi Negara ( TUN ), maupun hakim perdata. Ketentuan
yang digunakan pada waktu itu adalah pasal 134 IS jo ( Indische Staatsregeling
) , pasal 2 RO ( Reglement op de Rechter Iijke Organisatie en het beleid der
justitie in Indonesia ) . Inti dari pasal 134 ayat (1) IS jo da pasal 2 RO
adalah bahwa peradilan hanya dilakukan oleh kekuasaan kehakiman semata.
Selain itu, ada pul pasal yang menyinggung masalah itu, yakni pasal 138 ayat
(1) IS dan pasal 2 ayat 2 RO .[2]
Inti dari
kedua pasal tersebut adalah bahwa perkara-perkara yang menurut sifatnya
atau berdasarkan UU termasuk dalam wewenang pertimbangan kekuasaan
administrasi, tetap ada dalam kewenangannya. Apabila kita telaah lebih lanjut
kedua pasal tersebut sebenarnya belum menunjukkan keberadaan Peradilan TUN .
Pasal ini sekedar menunjukkan penyelesaiaan sengketa administrasi Negara ( TUN
) yang dilakukan oleh pihak administrasi Negara di Indonesia. Pasal 2 Ro
bukanlah dasar hokum atau yang menentukan batas-batas kewenangan
Peradilan administrasi Negara di Indonesia, tetapi hanya menentukan bahwa
sengketa-sengketa yang telah ditetapkan termasuk dalam kewenangan hakim
tertentu, akan tetap menjadi kewenangan mereka. Pasal tersebut juga tidak
memberikan pengertian Peradilan Tata Usaha Negara. Namun kedua pasal itu bisa
dikatakan merupakan konsep dasar atau cikal bakal dari Peradilan Tata Usaha
Negara di Indonesia.
Pada Tahun
1942, pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang. Dengan
jatuhnya pemerintah Belanda maka berakhirlah riwayat pemerintah Hindia Belanda
dan mulailah zaman pemerintahan Jepang dengan menerapkan pemerintahan
militernya. Pada masa pendudukan Jepang ini, pemerintahan militer yang lebih
sibuk berperang, tidak begitu banyak menaruh perhatian terhadap kelengkapan
perangkat kenegaraan. Namun, untuk menjaga kelangsungan roda pemerintahan,
diundangkanlah UU Nomor 1 tanggal 7 Maret 1942. Pasal 3 dari UU ini, yang
merupakan aturan peralihan yakni :
“Semua badan-badan
pemerintahan dan kekuasaannya, hokum dan
undang-undang dari pemerintah yang dahulu, tetap diakui sah bagi
sementara waktu asal saja tidak bertentangan dengan aturan
pemerintah militer”
Dengan
perkataan lain, selama pendudukan Jepang masih tetap digunakan system IS dan
RO, yakni system banding administratif (administratief beroep). Setelah itu,
pada tanggal 17 Agustus 1945 diproklamasikanlah kemerdekaan Negara RepubLik
Indonesia. Untuk kali pertama diberlakukan UUD 1945 dari tanggal 18 Agustus
1945 – 27 Desember 1949. Kemudian dari tanggal 27 Desember 1949 – 17 Agustus
1950 diberlakukanlah Konstitusi Indonesia Serikat. Selanjutnya sejak tanggal 17
Agustus 1950 – 5 Juli 1959 diberlakukanlah UUD Sementara tahun 1950. Dan
terkhir sejak tanggal 5 Juli 1959 dengan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959
berlakulah kembali UUD 1945.
Apabila kita
telusuri, pada kurun waktu di atas, yakni sejak Indonesia merdeka hingga
penghujung tahun 1986 , Indonesia belum mempunyai suatu lembaga Peradilan
Administrasi Negara (TUN) yang berdiri sendiri. Memang dalam praktek telah
banyak perkara administrasi Negara (TUN) yang dapat diselesaikan . Namun dalam
penyelesaiannya bukan dilakukan oleh lembaga Peradilan TUN, melainkan
diselesaikan oleh berbagai macam badan yang masing-masing mempunyai batas
kompetensi tertentu dengan prosedur pemeriksaan yang berbeda pula. Dalam
praktek, kita mengetahui adanya 3 lembaga yang melakukan fungsi seperti lembaga
Peradilan TUN yaitu Majelis Pertimbangan Pajak (MPP), Peradilan Pegawai Negeri,
dan Peradilan Bea Cukai. Tetapi yang betul-betul menjalankan hanya MPP saja dan
yang lainnya tidak pernah berfungsi . Satu-satunya lembaga yang dianggap
sebagai Peradilan TUN adalah Majelis Pertimbangan Pajak (MPP), Majelis ini
merupakan hakim yang mandiri, yang mengadili antara sengketa yang memungut
pajak (pemerintah) dengan pembayar pajak (rakyat) . Dalam hal ini kedua pihak
mempunyai kedudukan yang sederajat dan hak yang sama.[3]
Apabila kita
telusuri dokumen yang berkenaan dengan masalah Peradilan Tata Usaha Negara,
maka upaya kearah perwujudan Peradilan TUN memang sudah sejak lama dirintis .
Untuk kali pertam pada tahun 1946 Wirjono
Prodjodikoro membuat Rancangan Undang Unang
tentang Acara Perkara Dalam Soal Tata Usaha Pemerintahan. Di samping itu masih
ada usaha lain yang mendukung perwujudan Peradilan TUN. Misalnya
kegiatan-kegiatan yang berupa penelitian , symposium , seminar , penyusunan RUU
, dan sebagainya. Perintah untuk mewujudkan Peradilan TUN untuk kali pertama
dituangkan dalam Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960. Kemudian perintah itu
ditegaskan kembali dalam UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang dituangkan dalam pasal 10 ayat (1) jo. Pasal
12. Selanjutnya perintah ini diperkuat dalam Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1978,
yang menyatakan “Mengusahakan terwujudnya Peradilan TUN”. Di samping itu,
Presiden Soeharto dalam pidato kenegaraannya di depan Sidang Dewan Perwakilan
Rakyat tanggal 16 Agustus 1978 menegaskan bahwa : “akan diusahakan
terbentuknya pengadilan administrasi, yang dapat menampung dan menyelesaikan
perkara-perkara yang berhubungan dengan pelanggaran yang dilakukan oleh pejabat
atau aparatur Negara, maupun untuk memberikan kepastian hukum untuk setiap
pegawai negeri”.[4]
Selanjutnya
untuk merealisasikan kehadiran Peradilan TUN maka ditetapkan Ketetapan MPR
Nomor II/MPR/1982 tentang GBHN. Selanjutnya dalam Ketetapan MPR Nomor
II/MPR/1983 tentang GBHN untuk Pelita IV, yang merupakan kelanjutan dari Pelita
III, memeng tidak disebutkan secara jelas tantang perwujudan Peradilan TUN.
Namun karena rencana pembangunan merupakan rencana yang berkesinambungan maka
sudah sepantasnya untuk tetap mengupayakan Peradilan TUN. Seiring dengan itu
pada tanggal 16 April 1986 pemerintah melalui Surat Presiden Nomor
R.04/PU/IV/1986 mengajukan kembali RUU Peradilan Administrasi ke DPR. Rancangan
tersebut merupakan penyempurnaan dari RUU Peradilan Administrsi 1982.
Akhirnya pada
tanggal 20 Desember 1986, DPR secara aklamasi menerima Rancangan Undang Undang
tentang Peradilan TUN menjadi UU. UU tersebut adalah UU No. 5 Tahun 1986
tentang Peradilan TUN yang diundangkan pada tanggal 29 Desember 1986 dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 77, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3344. Dengan demikian terwujudlah sudah badan
atau wadah tunggal yang bebas dari pengaruh dan tekanan siapapun, yang diserahi
tugas dan kewenangan untuk memeriksa , memutus , dan menyelesaikan sengketa
TUN. Setelah itu melalui Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1991 dinyatakan
bahwa Pengadilan Tata Usaha Negara dan UU No. 5 Tahun 1986 mulai berlaku.
Kemudian pada tanggal 29 Maret 2004 disahkan UU No. 9 Tahun 2004 tentang
Perubahan Atas Undang Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara.[5]
Perkembangan PTUN
Ciri
utama yang membedakan Hukum Acara PERATUN di Indonesia dengan Hukum Acara
Perdata/Hukum Acara Pidana adalah hukum acaranya secara bersama-sama diatur
dengan hukum materiilnya yaitu dalam UU No. 5 Tahun 1986 jo. UU No. 9 Tahun
2004. Selain ciri utama tersebut di atas, ada beberapa ciri khusus yang menjadi
karakteristik Hukum Acara peratun yaitu antara lain sbb:
1.
Asas praduga rechmatig (vermoeden van
rechmatigheid = praesumptio iustae causa). Asas ini mengandung makna
bahwa setiap tindakan penguasa harus dianggap sah (rechtmatig) sampai ada
pembatalannya. Dengan asas ini, gugatan tidak menunda pelaksanaan KTUN yang
digugat (pasal 67 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1986).
2.
Asas pembuktian bebas (vrij bewijs).
Hakim menetapkan beban pembuktian. Asas ini dianut pasal 107 UU No. 5 Tahun
1986 hanya saja dibatasi ketentuan pasal 100.
3.
Asas keaktifan hakim (active rechter = dominus
litis). Keaktifan hakim dimaksudkan untuk mengimbangi kedudukan para
pihak karena tergugat adalah pejabat tata usaha negara sedangkan penggugat
adalah orang/badan hukum perdata. Penetapan pasal ini antara lain terdapat
dalam ketentuan pasal 58, 63 ayat 1 dan 2, 80 dan 85.
4.
Asas erga omnes. Sengketa tata usaha negara
adalah sengketa hukum publik. Dengan demikian putusan pengadilan Tata Usaha
Negara berlaku bagi siapa saja, tidak hanya bagi para pihak yang bersengketa.
5.
Perbedaan Hukum Acara Peratun dan Hukum Acara
Perdata
6.
Setelah memahami karakteristik Hukum Acara PTUN, maka
perlu pula dipahami beberapa perbedaannya dengan Hukum Acara Perdata.[6]
Putusan
Pengadilan yang dapat dilaksanakan hanyalah putusan pengadilan yang mempunyai
kekuatan hukum tetap, demikian ditegaskan dalam pasal 115 UU Peratun. Putusan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap artinya bahwa terhadap putusan
tersebut telah tidak ada upaya hukum, atau dapat juga masih ada upaya hukum
akan tetapi oleh para pihak upaya hukum tersebut tidak ditempuh dan tidak lewat
tenggang waktu yang ditentukan oleh UU.
Sebagai
contoh, putusan PTUN Yogyakarta seharusnya dapat diajukan upaya hukum banding
ke PTTUN Suarabaya, akan tetapi karena telah lewat waktu 14 hari sebagaimana
ditetapkan UU, para pihak tidak ada yang mengajukan upaya hukum tersebut,
sehingga putusan PTUN Yoggyakarta tersebut telah mempunyai kekuatan hukum
tetap. Terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap kemudian
dapat diajukan permohonan eksekusinya.
Mengenai
mekanisme atau prosedur eksekusi ini diatur dalam pasal 116 s/d 119 UU Peratun.
Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian sebelumnya dengan lahirnya UU No. 9
tahun 2004, putusan Peratun telah mempunyai kekuatan eksekuitabel. Hal ini
dikarenakan adanya sanksi berupa dwangsom (uang paksa), sanksi administratif
dan publikasi terhadap Badan/Pejabat TUN (Tergugat) yang tidak mau melaksanakan
putusan Peratun. Lebih lanjut pasal 116 UU No. 9 Tahun 2004, menyebutkan
prosedur eksekusi di Peratun, sbb ;
1.
Salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat oleh
Panitera Pengadilan setempat atas perintah Ketua Pengadilan yang mengadili
dalam tingkat pertama selambat-lambatnya dalam waktu 14 hari.
2.
Dalam hal 4 bulan setelah putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dikirimkan, Tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud
dalam pasal 97 ayat (9) huruf a, keputusan yang dipersengketakan itu tidak
mempunyai kekuatan hukum lagi.
3.
Dalam hal Tergugat ditetapkan harus melaksanakan
kewajibannya sebagaimana pasal 97 ayat (9) huruf b dan c, dan kemudian setelah
3 bulan ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakannya, Penggugat mengajukan
permohonan kepada Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) agar
Pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan putusan Pengadilan tersebut.
4.
Dalam hal Tergugat tidak bersedia melaksanakan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat
yang bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa
dan/atau sanksi administratif.
5.
Pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diumumkan pada media massa cetak setempat
oleh Panitera sejak tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3).[7]
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada pemaparan diatas, kita bisa
melihat bahwa sistem hukum di Indonesia sangat dipengaruhi sistem hukum civil
law di Belanda, yang juga terpengaruhi oleh sistem civil law Perancis. Badan
peradilan tata usaha negara yang pada awalnya ada di Perancis (yang merupakan
cerminan dari semangat revolusi Perancis), banyak dicontoh oleh negara-negara
lainnya, demi menjamin hukum yang adil bagi seluruh warga negara. Dalam rentan
sejarah yang cukup lama, di Indonesia belum ada badan peradilan yang spesifik
menangani masalah-masalah ketata usaha negaraan. Walaupun kala itu sudah banyak
desakan dari kalangan intelektual agar dibuat segera sebuah badan peradilan
tata usaha negara yang spesifik, namun pada nyatanya baru terealisasi ketika
tahun 1986, yakni dengan dibentuknya UU No. 5 tahun 1986 tentang pengadilan
tata usaha negara.
Dalam kajian Hukum Administrasi
Negara, tujuan pembentukan peradilan administrasi Negara (Peradilan Tata Usaha
Negara) adalah: defenitif, artinya perlindungan hukum preventif pemerintah
terdorong untuk bersikap hati-hati dalam mengambil keputusan.
1. Memberikan
perlindungan terhadap hak-hak rakyat yang bersumber dari hak- hak individu.
2. Memberikan
perlindungan terhadap hak-hak masyarakat yang didasarkan pada kepentingan
bersama dari individu yang hidup dalam masyarakat tersebut.
Walau UU No. 5 tahun 1986 ini
dinilai tidak berjalan efektif yang lalu dikemudian hari direvisi menjadi UU
no. 9 tahun 2004, tapi ia tetaplah sebuah UU yang menjadi jalan pembuka bagi
adanya badan peradilan tata usaha negara. Sungguh sangat besar sekali implikasi
diadakannya badan peradilan tata usaha negara, karena negara kita adalah negara
hukum sekaligus negara demokratis, yang dimana segala hak-hak kebebasan individu
sangat dijamin oleh Negara.
B. Saran
Sebagai generasi penerus bangsa maka
kita harus mampu menjaga segala hak yang ada pada kita dan kita memiliki
kesempatan untuk menuntutnya apabila tidan diberikan dengan semestinya terutama
hak tentang kebebasan individu. Dan negara sebagai sebuah naungan bagi seluruh
warga negaranya maka baiknya jangan hanya mengurus tentang ketata usahaan negra
saja, tetapi semestinya harus juga memperhatikan hak konstitusional warga
negaranya dan demokrasi yang berjalan di negaranya.
[1]
Http:\Blogspot \HAN\Alur
Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara - hukumonline.com.html
[2]
Dr, Titik Triwulan Tutik, Hukum Tata Usaha Negara dan Hukum Acara
Peradilan Tata Usaha Negara, Kencana Prenada Media Group, Jakarta
[3] Deno Kamelus, dkk (ed), Dimensi-dimensi
Pemikiran Hukum Administrasi Negara, (Yogyakarta: UII Press, 2004)
[4] Drs. Sudarsono, Pengadilan
Negeri, Pengadilan Tinggi, Mahkamah Agung, dan Peradilan Tata Usaha Negara, Rineka
Cipta, Jakarta, 1993
[5] Undang-undang No 5 Tahun 1986
[6] Http:\Blogspot\Downloads\HAN\Peradilan
Tata Usaha Negara - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas.html
[7] Undang-undang No 9 Tahun 2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar