Senin, 20 November 2017

sejarah dan perkembangan ptun




 SEJARAH DAN PERKEMBANGAN PTUN
PENDAHULUAN
Dasar peradilan dalam UUD 1945 dapat ditemukan dalam pasal 24 yang menyebutkan:
1.    Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang.
2.    Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan undang-undang.
Sebagai pelaksanaan Pasal 24 UUD 1945, dikeluarkanlah Undang-undang Nomor 14 Tahun Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Dalam Pasal 10 ayat (1) disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan:
a. Peradilan Umum;
b. Peradilan Agama;
c. Peradilan Militer;
d. Peradilan Tata Usaha Negara.
Dengan demikian penyelenggaraan peradilan tata usaha negara di Indonesia merupakan suatu kehendak konstitusi dalam rangka memberikan perlindungan hukum terhadap rakyat secara maksimal. Indonesia sebagai negara hukum tengah berusaha meningkatkan kesejahteraan bagi seluruh warganya dalam segala bidang. Kesejahteraan itu hanya dapat dicapai dengan melakukan aktivitas-aktivitas pembangunan di segala bidang. Dalam melaksanakan pembangunan yang multi kompleks sifatnya tidak dapat dipungkiri bahwa aparatur pemerintah memainkan peranan yang sangat besar. Konsekuensi negatif atas peran pemerintah tersebut adalah munculnya sejumlah penyimpangan-penyimpangan seperti korupsi, penyalahgunaan kewenangan, pelampauan batas kekuasaan, sewenang-wenang, pemborosan dan sebagainya. Penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh aparat pemerintahan itu tidak mungkin dibiarkan begitu saja. Disamping itu, juga diperlukan sarana hukum untuk memberikan perlindungan hukum bagi rakyat.
Dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang berdasarkan Pasal 144 dapat disebut Undang-undang Peradilan Administrasi Negara, maka dewasa ini perlindungan hukum terhadap warga masyarakat atas perbuatan yang dilakukan oleh penguasa dapat dilakukan melalui 3 badan, yakni sebagai berikut: 
a.    Badan Tata Usaha Negara, dengan melalui upaya administratif.
b.    Peradilan Tata Usaha Negara, berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tara Usaha Negara (PTUN).
c.    Peradilan Umum, melaui Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata).




















PEMBAHASAN
Bagi Indonesia keinginan untuk memiliki Peradilan Tata Usaha Negara yang pada mulanya disebut Peradilan Administrasi Negara kemudian berubah nama Peradilan Tata Usaha Pemerintahan kemudian setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 istilah yang digunakan adalah Peradilan Tata Usaha Negara, sudah lama dicita-citakan sejak zaman pemerintahan jajahan Belanda. Namun, keinginan itu selalu kandas di tengah jalan karena berbagai   alasan. Keinginan itu baru terwujud pada penghujung Tahun 1986, yakni dengan diundangkannya UU Nomr 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, pada tanggal 29 Desember 1986.
Meskipun UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara berlaku pada saat diundangkan , namun UU tersebut belum berlaku secara efektif karena penerapan UU ini akan diatur lebih lanjut engan peraturan pemerintah selambat-lambatnya 5 tahun sejak UU diundangkan ( pasal 145 UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara ). Karena itu hingga akhir tahun 1990, meskipun lembaganya sudah terbentuk, namun belum bisa menyelesaikan perkata TUN yang timbul.  Bila ditelaah lebih lanjut, beberapa pasal dalam UU NO. 5 Tahun 1986 masih memerlukan peraturan pelaksanaan . Selain itu Peradilan TUN adalah sutu lembaga baru yang masih memerlukan persiapan. Oleh karena itu pemerintah diberikan waktu ancang-ancang untuk melakukan persiapan seperlunya , baik yang menyangkut prasarana dan sarana maupun personalianya. Waktu yang diberikan oleh UU No. 5 Tahun 1986 paling lambat 5 tahun.
Yang tidak termasuk ke dalam kategori Keputusan Tata Usaha Negara dalam UU 5/1986 beserta perubahannya adalah:
1.    Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata
2.    Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum
3.    Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan
4.    Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana.
5.    Keputusan Tata Usaha Negara yang keluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
6.    Keputusan Tata Usaha Negara mengenai Tata Usaha Tentara Nasional Indonesia
7.    Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum[1]
Harus kita akui bahwa kelahiran UU tersebut adalah suat langkah maju dalam era pembangunan hukum yang dicanangkan pemerintah dan juga menunjukkan adanya itikad baik dari pemerintah, karena pihak pemerintahlah yang menjadi tergugat tetepi pihak pemerintah jugalah yang mengajukan Rancangan UU tersebut ke Dewn Perwakilan Rakyat. Keberadaan Peradilan TUN merukan salah satu jalur yudisial dalam rangka pelaksanaan asas perlindungan hukum, di samping pengawasan jalur Administratif  yang berjalan sesuai dengan jalur yang ada dalam lingkungan pemerintahan sendiri. Karena itu Peradilan TUN membrikan landasan pada badan yudikatif untuk menilai tindakan eksekutif serta mengatur mengenai perlindungan hokum kepada masyarakat.
Apabila kita telusuri Peradilan TUN telah menempuh perjalanan yang cukup panjang dan berliku. Oleh karena itu, kita harus menelusuri dari zaman   pra-kemerdekaan hingga sesudah kemerdekaan. Pada zaman pemerintahan Belanda tidak dikenal adanya Peradilan TUN sebagai suatu lembaga yang berdiri sendiri, yang diberi kewenangan untuk memeriksa dan menyelesaikan sengketa di bidang Tata Usaha Negara. Peradilan Administrasi Negara (TUN ) pada waktu itu dilakukan baik oleh hakim administrasi Negara (TUN ), yaitu hakim khusus yang memeriksa perkara administrasi Negara ( TUN ), maupun hakim perdata. Ketentuan yang digunakan pada waktu itu adalah pasal 134 IS jo ( Indische Staatsregeling ) , pasal 2 RO ( Reglement op de Rechter Iijke Organisatie en het beleid der justitie in Indonesia ) . Inti dari pasal 134 ayat (1) IS jo da pasal 2 RO adalah bahwa peradilan  hanya dilakukan oleh kekuasaan kehakiman semata. Selain itu, ada pul pasal yang menyinggung masalah itu, yakni pasal 138 ayat (1) IS dan pasal 2 ayat 2 RO .[2]
Inti dari kedua pasal tersebut adalah bahwa perkara-perkara yang menurut sifatnya  atau berdasarkan UU termasuk dalam wewenang pertimbangan kekuasaan administrasi, tetap ada dalam kewenangannya. Apabila kita telaah lebih lanjut kedua pasal tersebut sebenarnya belum menunjukkan keberadaan Peradilan TUN . Pasal ini sekedar menunjukkan penyelesaiaan sengketa administrasi Negara ( TUN ) yang dilakukan oleh pihak administrasi Negara di Indonesia. Pasal 2 Ro bukanlah dasar hokum atau yang menentukan  batas-batas kewenangan  Peradilan administrasi Negara di Indonesia, tetapi hanya menentukan bahwa sengketa-sengketa yang telah ditetapkan  termasuk dalam kewenangan hakim tertentu, akan tetap menjadi kewenangan mereka.  Pasal tersebut juga tidak memberikan pengertian Peradilan Tata Usaha Negara. Namun kedua pasal itu bisa dikatakan merupakan konsep dasar atau cikal bakal dari Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia.
Pada Tahun 1942, pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang. Dengan jatuhnya pemerintah Belanda maka berakhirlah riwayat pemerintah Hindia Belanda dan mulailah zaman pemerintahan Jepang dengan menerapkan pemerintahan militernya. Pada masa pendudukan Jepang ini, pemerintahan militer yang lebih sibuk berperang, tidak begitu banyak menaruh perhatian terhadap kelengkapan perangkat kenegaraan. Namun, untuk menjaga kelangsungan roda pemerintahan, diundangkanlah UU Nomor 1 tanggal 7 Maret 1942. Pasal 3 dari UU ini, yang merupakan aturan peralihan yakni :
“Semua badan-badan pemerintahan dan kekuasaannya, hokum dan
      undang-undang dari pemerintah yang dahulu, tetap diakui sah bagi
      sementara waktu asal saja tidak bertentangan dengan aturan
       pemerintah militer”
Dengan perkataan lain, selama pendudukan Jepang masih tetap digunakan system IS dan RO, yakni system banding administratif (administratief beroep). Setelah itu, pada tanggal 17 Agustus 1945 diproklamasikanlah kemerdekaan Negara RepubLik Indonesia. Untuk kali pertama diberlakukan UUD 1945 dari tanggal 18 Agustus 1945 – 27 Desember 1949. Kemudian dari tanggal 27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950 diberlakukanlah Konstitusi Indonesia Serikat. Selanjutnya sejak tanggal 17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959 diberlakukanlah UUD Sementara tahun 1950. Dan terkhir sejak tanggal 5 Juli 1959 dengan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 berlakulah kembali UUD 1945.
Apabila kita telusuri, pada kurun waktu di atas, yakni sejak Indonesia merdeka hingga penghujung tahun 1986 , Indonesia belum mempunyai suatu lembaga Peradilan Administrasi Negara (TUN) yang berdiri sendiri. Memang dalam praktek telah banyak perkara administrasi Negara (TUN) yang dapat diselesaikan . Namun dalam penyelesaiannya bukan dilakukan oleh lembaga Peradilan TUN, melainkan diselesaikan oleh berbagai macam badan yang masing-masing mempunyai batas kompetensi tertentu dengan prosedur pemeriksaan yang berbeda pula. Dalam praktek, kita mengetahui adanya 3 lembaga yang melakukan fungsi seperti lembaga Peradilan TUN yaitu Majelis Pertimbangan Pajak (MPP), Peradilan Pegawai Negeri, dan Peradilan Bea Cukai. Tetapi yang betul-betul menjalankan hanya MPP saja dan yang lainnya tidak pernah berfungsi . Satu-satunya lembaga yang dianggap sebagai Peradilan TUN adalah Majelis Pertimbangan Pajak (MPP), Majelis ini merupakan hakim yang mandiri, yang mengadili antara sengketa yang memungut pajak (pemerintah) dengan pembayar pajak (rakyat) . Dalam hal ini kedua pihak mempunyai kedudukan yang sederajat dan hak yang sama.[3]
Apabila kita telusuri dokumen yang berkenaan dengan masalah Peradilan Tata Usaha Negara, maka upaya kearah perwujudan Peradilan TUN memang sudah sejak lama dirintis . Untuk kali pertam pada tahun 1946  Wirjono       Prodjodikoro membuat Rancangan Undang Unang tentang Acara Perkara Dalam Soal Tata Usaha Pemerintahan. Di samping itu masih ada usaha lain yang mendukung perwujudan Peradilan TUN. Misalnya kegiatan-kegiatan yang berupa penelitian , symposium , seminar , penyusunan RUU , dan sebagainya. Perintah untuk mewujudkan Peradilan TUN untuk kali pertama dituangkan dalam Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960. Kemudian perintah itu ditegaskan kembali dalam UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang dituangkan dalam pasal 10 ayat (1) jo. Pasal 12. Selanjutnya perintah ini diperkuat dalam Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1978, yang menyatakan “Mengusahakan terwujudnya Peradilan TUN”. Di samping itu, Presiden Soeharto dalam pidato kenegaraannya di depan Sidang Dewan Perwakilan Rakyat tanggal 16 Agustus 1978 menegaskan bahwa : “akan diusahakan terbentuknya pengadilan administrasi, yang dapat menampung dan menyelesaikan perkara-perkara yang berhubungan dengan pelanggaran yang dilakukan oleh pejabat atau aparatur Negara, maupun untuk memberikan kepastian hukum untuk setiap pegawai negeri”.[4]
Selanjutnya untuk merealisasikan kehadiran Peradilan TUN maka ditetapkan Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1982 tentang GBHN. Selanjutnya dalam Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1983 tentang GBHN untuk Pelita IV, yang merupakan kelanjutan dari Pelita III, memeng tidak disebutkan secara jelas tantang perwujudan Peradilan TUN. Namun karena rencana pembangunan merupakan rencana yang berkesinambungan maka sudah sepantasnya untuk tetap mengupayakan Peradilan TUN. Seiring dengan itu pada tanggal 16 April 1986 pemerintah melalui Surat Presiden Nomor R.04/PU/IV/1986 mengajukan kembali RUU Peradilan Administrasi ke DPR. Rancangan tersebut merupakan penyempurnaan dari RUU Peradilan Administrsi 1982.
Akhirnya pada tanggal 20 Desember 1986, DPR secara aklamasi menerima Rancangan Undang Undang tentang Peradilan TUN menjadi UU. UU tersebut adalah UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan TUN yang diundangkan pada tanggal 29 Desember 1986 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3344. Dengan demikian terwujudlah sudah badan atau wadah tunggal yang bebas dari pengaruh dan tekanan siapapun, yang diserahi tugas dan kewenangan untuk memeriksa , memutus , dan menyelesaikan sengketa TUN. Setelah itu melalui Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1991 dinyatakan bahwa Pengadilan Tata Usaha Negara dan UU No. 5 Tahun 1986 mulai berlaku. Kemudian pada tanggal 29 Maret 2004 disahkan UU No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.[5]
Perkembangan PTUN
  Ciri utama yang membedakan Hukum Acara PERATUN di Indonesia dengan Hukum Acara Perdata/Hukum Acara Pidana adalah hukum acaranya secara bersama-sama diatur dengan hukum materiilnya yaitu dalam UU No. 5 Tahun 1986 jo. UU No. 9 Tahun 2004. Selain ciri utama tersebut di atas, ada beberapa ciri khusus yang menjadi karakteristik Hukum Acara peratun yaitu antara lain sbb:
1.    Asas praduga rechmatig (vermoeden van rechmatigheid = praesumptio iustae causa). Asas ini mengandung makna bahwa setiap tindakan penguasa harus dianggap sah (rechtmatig) sampai ada pembatalannya. Dengan asas ini, gugatan tidak menunda pelaksanaan KTUN yang digugat (pasal 67 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1986).
2.    Asas pembuktian bebas (vrij bewijs). Hakim menetapkan beban pembuktian. Asas ini dianut pasal 107 UU No. 5 Tahun 1986 hanya saja dibatasi ketentuan pasal 100.
3.    Asas keaktifan hakim (active rechter = dominus litis). Keaktifan hakim dimaksudkan untuk mengimbangi kedudukan para pihak karena tergugat adalah pejabat tata usaha negara sedangkan penggugat adalah orang/badan hukum perdata. Penetapan pasal ini antara lain terdapat dalam ketentuan pasal 58, 63 ayat 1 dan 2, 80 dan 85.
4.    Asas erga omnes. Sengketa tata usaha negara adalah sengketa hukum publik. Dengan demikian putusan pengadilan Tata Usaha Negara berlaku bagi siapa saja, tidak hanya bagi para pihak yang bersengketa.
5.    Perbedaan Hukum Acara Peratun dan Hukum  Acara Perdata
6.    Setelah memahami karakteristik Hukum Acara PTUN, maka perlu pula dipahami beberapa perbedaannya dengan Hukum Acara Perdata.[6]
Putusan Pengadilan yang dapat dilaksanakan hanyalah putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, demikian ditegaskan dalam pasal 115 UU Peratun. Putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap artinya bahwa terhadap putusan tersebut telah tidak ada upaya hukum, atau dapat juga masih ada upaya hukum akan tetapi oleh para pihak upaya hukum tersebut tidak ditempuh dan tidak lewat tenggang waktu yang ditentukan oleh UU.
Sebagai contoh, putusan PTUN Yogyakarta seharusnya dapat diajukan upaya hukum banding ke PTTUN Suarabaya, akan tetapi karena telah lewat waktu 14 hari sebagaimana ditetapkan UU, para pihak tidak ada yang mengajukan upaya hukum tersebut, sehingga putusan PTUN Yoggyakarta tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap kemudian dapat diajukan permohonan eksekusinya.
Mengenai mekanisme atau prosedur eksekusi ini diatur dalam pasal 116 s/d 119 UU Peratun. Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian sebelumnya dengan lahirnya UU No. 9 tahun 2004, putusan Peratun telah mempunyai kekuatan eksekuitabel. Hal ini dikarenakan adanya sanksi berupa dwangsom (uang paksa), sanksi administratif dan publikasi terhadap Badan/Pejabat TUN (Tergugat) yang tidak mau melaksanakan putusan Peratun. Lebih lanjut pasal 116 UU No. 9 Tahun 2004, menyebutkan prosedur eksekusi di Peratun, sbb ;
1.    Salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat oleh Panitera Pengadilan setempat atas perintah Ketua Pengadilan yang mengadili dalam tingkat pertama selambat-lambatnya dalam waktu 14 hari.
2.    Dalam hal 4 bulan setelah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikirimkan, Tergugat tidak melaksanakan  kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 97 ayat (9) huruf a, keputusan yang dipersengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.
3.    Dalam hal Tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajibannya sebagaimana pasal 97 ayat (9) huruf b dan c, dan kemudian setelah 3 bulan ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakannya, Penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) agar Pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan putusan Pengadilan tersebut.
4.    Dalam hal Tergugat tidak bersedia melaksanakan  putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif.
5.    Pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diumumkan pada media massa cetak setempat oleh Panitera sejak tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).[7]

















PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada pemaparan diatas, kita bisa melihat bahwa sistem hukum di Indonesia sangat dipengaruhi sistem hukum civil law di Belanda, yang juga terpengaruhi oleh sistem civil law Perancis. Badan peradilan tata usaha negara yang pada awalnya ada di Perancis (yang merupakan cerminan dari semangat revolusi Perancis), banyak dicontoh oleh negara-negara lainnya, demi menjamin hukum yang adil bagi seluruh warga negara. Dalam rentan sejarah yang cukup lama, di Indonesia belum ada badan peradilan yang spesifik menangani masalah-masalah ketata usaha negaraan. Walaupun kala itu sudah banyak desakan dari kalangan intelektual agar dibuat segera sebuah badan peradilan tata usaha negara yang spesifik, namun pada nyatanya baru terealisasi ketika tahun 1986, yakni dengan dibentuknya UU No. 5 tahun 1986 tentang pengadilan tata usaha negara.
Dalam kajian Hukum Administrasi Negara, tujuan pembentukan peradilan administrasi Negara (Peradilan Tata Usaha Negara) adalah: defenitif, artinya perlindungan hukum preventif pemerintah terdorong untuk bersikap hati-hati dalam mengambil keputusan.
1.    Memberikan perlindungan terhadap hak-hak rakyat yang bersumber dari hak- hak individu.
2.    Memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat yang didasarkan pada kepentingan bersama dari individu yang hidup dalam masyarakat tersebut.
Walau UU No. 5 tahun 1986 ini dinilai tidak berjalan efektif yang lalu dikemudian hari direvisi menjadi UU no. 9 tahun 2004, tapi ia tetaplah sebuah UU yang menjadi jalan pembuka bagi adanya badan peradilan tata usaha negara. Sungguh sangat besar sekali implikasi diadakannya badan peradilan tata usaha negara, karena negara kita adalah negara hukum sekaligus negara demokratis, yang dimana segala hak-hak kebebasan individu sangat dijamin oleh Negara.
B. Saran
          Sebagai generasi penerus bangsa maka kita harus mampu menjaga segala hak yang ada pada kita dan kita memiliki kesempatan untuk menuntutnya apabila tidan diberikan dengan semestinya terutama hak tentang kebebasan individu. Dan negara sebagai sebuah naungan bagi seluruh warga negaranya maka baiknya jangan hanya mengurus tentang ketata usahaan negra saja, tetapi semestinya harus juga memperhatikan hak konstitusional warga negaranya dan demokrasi yang berjalan di negaranya.


[1] Http:\Blogspot \HAN\Alur Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara - hukumonline.com.html
[2] Dr, Titik Triwulan Tutik, Hukum Tata Usaha Negara dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Kencana Prenada Media Group, Jakarta

[3] Deno Kamelus, dkk (ed), Dimensi-dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, (Yogyakarta: UII Press,       2004)
[4] Drs. Sudarsono, Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, Mahkamah Agung, dan Peradilan Tata Usaha Negara, Rineka Cipta, Jakarta, 1993

[5] Undang-undang No 5 Tahun 1986
[6] Http:\Blogspot\Downloads\HAN\Peradilan Tata Usaha Negara - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas.html
[7] Undang-undang No 9 Tahun 2004

Tidak ada komentar:

Posting Komentar