Senin, 20 November 2017

perkawinan sesuai adat batak toba



BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Perkawinan menurut adat adalah sebuah bagian penting yang kini telah melekat bagi setiap lapisan masyarakat di Indonesia tanpa terkecuali suku Batak Toba. Dalam pencapaian adat pernikahan sesuai dengan adat yang sebenarnya adalah hal yang sudah sangat jarang ditemukan di daerah perantauan. Kini suku batak toba yang berada di daerah perantauan melaksanakan pernikahan sesuai dengan adat batak di kampung halamannya namun juga telah di tambah dengan adat atau kebiasaan orang sekitar tempat dia tinggal, dan juga telah mengadopsi sebagian kebiasaan orang barat atau Eropa.
Masyarakat Batak merupakan salah satu kelompok etnis yang masih kuat mempertahankan tradisi ritual adat dalam berbagai tahapan peristiwa, termasuk dalam peristiwa pernikahan. Dalam menjalankan ritual adat, masyarakat batak tidak hanya melibatkan pihak keluarga dekat namun juga seluruh kerabat yang bersangkutan. Oleh sebab itu, ritual adat pada upacara pernikahan suku batak toba membutuhkan ruang dengan penataan khusus agar dapat berlangsung dengan baik. Yang menarik, banyaknya masyarakat batak yang mulai berpindah ke kota-kota besar ternyata tidak menjadi penghambat mereka untuk tetap mempertahankan tradisi. Di Medan, saat ini terdapat lebih dari sepuluh gedung yang ditata khusus untuk ritual adat pernikahan suku Batak.
      Dalam peraturan perundang-undangan tidak ada tercantum tentang pengaturan adat istiadat, hal ini karena pemerintah saat ini masih sangat menjungjung tinggi dan mengakui adat istiadat yang sudah ada sejak jaman nenek moyang kita dulu. Pada prinsipnya adat berakar pada religi purba. Karena itu, adat bersifat sakral. Dia datang dari Debata yang kemudian diturunkan kepada nenek moyang. Adat bagi orang-orang Indonesia adalah jalannya dunia yang tidak bisa tidak harus demikian, yang bersifat mutlak yaitu jalannya dunia itu sendiri-seperti yang diatur dan dipelihara oleh nenek moyang, sehingga setiap orang yang bermaksud mengadakan perubahan-perubahan, melibatkan diri dalam suatupertentangan dengan para nenek moyang.
Orang yang semarga adalah satu keluarga sebab mereka datang dari satu perut, untuk menjamin kelangsungan marga ini, orang batak toba mengadakan hubungan affinitas, dengan perkawinan asimetri. Ini menghasilkan suatu istilah yang disebut dalihan na tolu. Namun dengan semakin berkembangnya jaman banyak suku Batak Toba yang lupa akan semua hal ini bahkan mereka sudah ada yang menikah dengan teman semarga yang dimana hal itu sudah dilarang sejak dahulu, tapi inilah akibatnya mereka melakukan hal itu adalah karena tidak paham akan budaya yang sebenarnya. Dalam perkawinan adat Batak Toba pada adat yang sebenarnya memiliki susunan acara ataupun adat yang sangat panjang dan rumit, tapi kini apabila kita melihat adat perkawinan di daerah perantauan ini semuanya telah di kemas secara singkat dan  seefisien mungkin mereka memakai waktu untuk acara pernikahan. Dan kebiasaan dulu dan sekarang ada yang tetap sama yakni apabila seorang perempuan telah menikah maka ia di harapkan oleh pihak laki-laki agar segera melahirkan anak laki-laki guna meneruskan garis keturunan, dan apabila seperempuan hanya memiliki anak perempuan saja atau bahkan tidak memiliki anak maka akan muncul dalam hatinya sendiri rasa terkucilkan dalam adat.
Perbedaan pelaksanan adat Batak Toba oleh nenek moyang terdahulu dengan orang Batak Toba di era modernisasi ini juga tampak dalam hal perceraian, karena pada adat jaman dahulu sangatlah sulit kita menemukan orang yang telah menikah dapat bercerai. Namun, kini setelah kedua belah pihak menikah dan menemukan ada masalah kecil maka mereka tidak merasa susah untuk mengajukan diri untuk melakukan perceraian. Apakah tindakan ini muncul dari pihak laki-laki atau pun pihak perempuan ini sama saja.
Kedudukan suami-istri dalam budaya Batak Toba yakni suami sebagai pemimpin rumah tangga. Namun, dalam mengurus anak dan keluarga maka itu sudahlah menjadi tanggungan bersama dan hal ini telah berbeda dalam implementasinya. Apabila suami-istri telah menikah dan memiliki anak maka yang lebih banyak berperan dan bertanggung jawab adalah ibu atau istri, bahkan ada ayah atau suami yang sama sekali tidak peduli dengan anak-anak yang di karuniakan Tuhan untuk mereka besarkan dengan bersama-sama.
Kehidupan adalah suatu proses dalam menjalani beberapa tahapan peristiwa, dimulai dengan peristiwa kelahiran dan diakhiri dengan peristiwa kematian. Setiap peristiwa biasanya membutuhkan proses perayaan yang dikenal dengan istilah upacara. Upacara menjadi bagian yang dianggap penting dalam perkembangan kehidupan manusia dari suatu keadaan menuju keadaan yang lain.  Upacara pernikahan pada umumnya akan dijumpai dalam kehidupan orang yang berlainan jenis, yakni kehidupan bersama guna mewujudkan rumah tangga sebagai suami-istri, demi meneruskan keturunan. Pelaksanaan upacara pernikahan biasanya harus berdasarkan kesepakatan antara kedua belah pihak yang ingin membina rumah tangga baru. Bukan hanya antara keduanya, tetapi juga akan melibatkan keluarga dari keduanya.
Pernikahan adalah salah satu peristiwa penting, walaupun tidak menjadi suatu keharusan bagi setiap individu. Pernikahan bagi masyarakat yang berbudaya tidak hanya sekedar meneruskan naluri para leluhur secara terus-menerus untuk membentuk suatu keluarga dalam ikatan resmi antara laki-laki dan perempuan. tetapi juga, memiliki arti yang sangat luas bagi kepentingan manusia itu sendiri serta lingkungannya. Upacara pernikahan beragam dan bervariasi, antar bangsa, suku satu dengan yang lain dalam suatu bangsa, agama, budaya, maupun kelas sosial. Namun, pengesahan secara hukum suatu pernikahan hanya akan terjadi ketika dokumentasi tertulis yang mencatat pernikahan ditandatangani. Undang-undang pernikahan Indonesia tahun 1974 menyebutkan bahwa pernikahan adalah ikatan lahir dan batin seorang laki-laki dan perempuan sebagai suami-istri dan dengan tujuan membentuk keluarga dan rumahtangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Adat dan upacara pernikahan pada dasarnya akan tetap ada dalam masyarakat berbudaya, walau dalam batas ruang dan waktu akan senantiasa mengalami perubahan. Akan tetapi, perubahan tersebut akan selalu menjadi unsur budaya yang dihayati terus-menerus, karena adat dan upacara pernikahan mengatur dan mengukuhkan suatu bentuk hubungan antar manusia yang berlainan jenis dalam masyarakat.
Pernikahan adat memiliki tata cara yang telah ada dan disepakati dalam masyarakat. Tata cara yang telah disepakati tentu memiliki makna dan nilai-nilai tertentu sesuai dengan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Pernikahan adat dalam masyarakat Batak Toba adalah salah satu mata rantai kehidupan yang tata pelaksanaannya melalui hukum-hukum adat yang sudah melekat dari dulu hingga saat ini dan hal tersebut berasal dari para leluhur masyarakat Batak Toba. Pernikahan adat Batak Toba mengandung nilai sakral, yang disertai dengan perlengkapannya. Kesakralan pernikahan adat Batak Toba terlihat ketika adanya pengorbanan bagi parboru (pihak mempelai perempuan), karena pihak mempelai perempuan berkorban memberikan satu nyawa manusia yakni anak perempuannya kepada pihak paranak (pihak mempelai laki-laki). Balasannya, kemudian pihak laki-laki juga harus menghargai besannya dengan mengorbankan atau mempersembahkan satu nyawa juga yakni seekor hewan (sapi atau kerbau), yang nantinya akan dijadikan santapan (makan adat) dalam adat pernikahan tersebut. Bukti bahwa makanan tersebut adalah hewan yang dikorbankan utuh, maka pihak laki-laki harus menyerahkan bagian-bagian tertentu dari hewan tersebut (kepala, leher, rusuk melingkar, pangkal paha, bagian bokong dengan ekor yang masih melekat, hati dan jantung.
Masyarakat Batak Toba sekarang ini banyak sekali melangsungkan pernikahan tanpa adanya Upacara adat atau yang disebut dengan pernikahan adat dan otomatis pengantin tidak akan melangsungkan salah satu bagian dari upacara adat yakni mangulosi. Akibatnya, banyak pasangan suami istri yang sudah sah secara kenegaraan bahkan gereja, tidak bisa mengikuti acara adat dalam lingkungan bermasyarakat karena dianggap belum beradat. Hal inilah yang membuat penulis untuk mencoba mencari tahu apa makna di balik mangulosi sehingga dianggap penting bagi masyarakat Batak Toba.
Mangulosi sebagai salah satu prosesi dalam adat pernikahan Batak Toba memiliki ketentuan dan keunikan tersendiri. Keunikan ketentuan mangulosi serta ulos pada saat upacara pernikahan Adat Batak Toba bukan hanya dilihat dari satu dimensi saja, tetapi dapat dilihat dari berbagai dimensi, sebab didalamnya sarat akan makna. Nilai-nilai dan makna yang terkandung dalam mangulosi yang selalu dipertahankan sejak dulu sampai sekarang.
Proposal ini akan membangkitkan kebanggaan nasional masyarakat termasuk generasi muda di daerah Batak Toba khusus, dan Indonesia secara umum, terhadap kebudayaan sendiri.

B. Identifikasi Masalah

Sesuai dengan latar belakang masalah yang dikemukakan, maka yang menjadi identifikasi masalah dalam penelitian ini adalah faktor-faktor penyebab mulai memudarnya adat pernikahan budaya Batak Toba bagi masyarakat Batak Toba di era modernisasi ini dan cara menjaga adat perkawinan yang sebenarnya sesuai dengan adat Batak Toba.

C. Pembatasan Masalah

Kelompok etnis batak terdiri dari beberapa sub-suku yang berdiam di beberapa wilayah, yaitu suku Alas, Karo, Toba, Pakpak, Dairi, Simalungun, Angkola, dan Mandailing. Pada Proposal ini, penulis membahas mengenai upacara pesta unjuk (pesta adat) yang menjadi inti dari seluruh rangkaian acara Batak Toba. Studi kasus yang penulis pilih adalah pesta adat yang berlangsung di Wisma Mahinna, Jalan Rela, Deli Serdang, Medan pada bulan September 2016.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah, maka dalam penelitian ini dirumuskan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana faktor-faktor yang mempengaruhi inplementasi adat perkawinan Batak Toba bagi suku Batak Toba di kota Medan?
2.      Bagaimana cara menjaga adat perkawinan yang sebenarnya sesuai adat Batak Toba?

E. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan perumusan masalah maka tujuan penelitian yang hendak di capai dalam penelitian ini adalah:
1.      Untuk memahami faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi adat perkawinan Batak Toba bagi suku Batak Toba di kota Medan.
2.      Untuk mengetahui cara menjaga adat perkawinan yang sebenarnya sesuai adat Batak Toba.

F. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah:
1.      Sebagai bahan bacaan untuk masyarakat agar paham tentang adat perkawinan Batak Toba yang sebenarnya.
2.      Menambah wawasan mahasiswa tentang adat perkawinan Batak Toba, terutama bagi mahasiswa PPKN non reg 2015.
3.      Sebagai bahan perbandingan bagi peneliti lainnya yang ingin meneliti dengan bahan kajian yang sama di tempat yang berbeda.

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A.Kerangka Konseptual  

1. Adat dan Pesta Adat
Mengingat adat (berasal dari Bahasa Melayu) dan tradisi (berasal dari Bahasa Inggris) mengandung pengertian sebagai kebiasaan yang bersifat magis religius dari kehidupan suatu penduduk asli, yang meliputi nilai-nilai budaya, norma-norma hukum dan aturan yang saling berkaitan dan kemudian menjadi suatu sistem atau peraturan tradisional. (Elqorni, 2008:40) Sistem pengetahuan teknologi tradisional yang merupakan refleksi nilai-nilai budaya masyarakat jangan dipahami sebagai suatu hal yang tuntas dan sempurna. Dengan kata lain budaya tradisional dan lokal itu bersifat dinamis dan terus sejalan dengan tuntutan kebutuhan manusia yang semakin beragam. (Satyananda, 2013:10)
Dalam tradisi Batak, anggota dalam kelompok marga memiliki ikatan hubungan sedarah. Berdasarkan sosiologis, hubungan kekerabatan muncul dari perpaduan kelompok marga atau karena pernikahan. Bagi masyarakat batak, bagian terpenting dalam hubungan sosial adalah keluarga besar dari tiga sampai empat generasi sebelumnya. Sedangkan, bagian kecilnya adalah keluarga yakni terdiri atas ayah, ibu dan anak. Hubungan kekerabatan masyarakat suku batak toba memiliki peranan penting dalam setiap peristiwa termasuk peristiwa pernikahan. Setiap ritual adat tidak lepas dari peran individu sesuai dengan hubungan kekerabatan.
Dalam hal berbahasa atau berkomunikasi pasangan berbeda etnis pasti memiliki hambatan karena ketidakpahaman antar bahasa daerah masing-masing. Dan hal tersebut juga berdampak bagi pasangan berbeda etnis yang akan menikah disaat pertemuan antar keluarga dari masing-masing etnis. Bahasa daerah yang tidak begitu dipahami oleh pasangan mengakibatkan kurangnya tingkat partisipasi pasangan dalam mengikuti kegiatan prosesi pernikahan yang diadakan. Dan hal ini akan menimbulkan rasa kurang percaya diri, minder dan merasa kurang bisa berbaur yang nantinya akan membuat pasangan cenderung menghindar dan tidak ingin mengikuti acara tersebut. (Bungin, 2001:123)
Di era globalisasi upacara perkawinan Batak Toba mengalami banyak pergeseran. Sebelum globalisasi upacara perkawinan merupakan hal yang sakral, tetapi akibat globalisasi kesakralan itu semakin memudar. Pada kehidupan tradisional masyarakat membuat tahapan-tahapan yang harus dilewati setiap orang. Upacara tersebut sebagai legitimasi untuk memasuki tahap baru. Tahapan-tahapan itu harus secara berurutan dan diperankan orang tertentu, namun di era globalisasi tahapan itu sudah bisa diubah dan pemerannya dapat dipertukarkan bahkan diperankan oleh orang lain yang mendapat bayaran. Menurut Piliang (2011:13) akibat globalisasi segala macam citraan dapat dilihat setiap orang, rahasia pribadi menjadi milik umum, segala perbuatan dapat dilakukan semua orang sehingga upacara-upacara menjadi kehilangan makna sosiologisnya. Marga adalah identitas, selama kita mementingkan identitas berarti kita menjaga agar tetap menggunakan marga.
Secara adat, menikah satu marga diperbolehkan dengan catatan sudah melewati keturunan ketujuh. Tentang setelah 7 turunan, hal ini sesuai dengan ilmu biologi, di mana makluk hidup setelah keturunan ke-7 ini tidak membawa gen yang sama dengan nenek moyangnya. Kalau kawin silang pada hewan secara teliti, misalnya yang sering dilakukan pada burung, burung setelah keturunan ketujuh, merupakan jenis yang baru dan bila dikawinkan dengan sejenis maka sifat dan penampilannya sama. Perkawinan dengan hubungan keturunan yang jauh akan mengasilkan keturunan yang unggul secara biologi. (Simangunsong, 2013:34)
Etnis Batak adalah etnis yang besar dan tersebar luas di Indonesia dan juga dunia. Saat di perantauan, etnis Batak memiliki kebudayaan yang dibentuk di perantauan yang bertujuan untuk mempererat tali persaudaraan antar Marga diperantauan seperti arisan keluarga atau marga etnis Batak, kebaktian atau ibadah keluarga dari marga etnis Batak yang diadakan setiap satu minggu sekali. Tersebarnya etnis Batak di seluruh dunia ini membuat beberapa etnis Batak mendapatkan pasangan hidup diluar etnis Batak seperti Dayak, Toraja, dan Jawa. Untuk menjaga adat istiadat yang dikembangkan turun temurun tersebut diperantauan, salah satu upacara adat yang harus dilakukan sebelum menikah adalah proses pemberian Marga untuk etnis lain yang menikah dengan etnis Batak sehingga orang tersebut memiliki  marga dan diangkat sebagai orang Batak. (Koentjaraningrat, 1993:5)
Lembaga adat terbentuk setelah terlebih dahulu terbentuk masyarakat adatnya. Masyarakat adat itu sendiri terdiri dari individu-individu yang menggunakan sebuah bahasa yang sama dan kemudian terbalut dalam kepentingan yang sama. Komunitas-komunitas masyarakat adat di Sulawesi Tengah bukanlah entitas yang terisolasi dan tidak pernah berubah, tetapi telah mengalami perubahan sedemikian rupa sejarah mereka yang panjang dalam migrasi, peralihan agama, dominasi politik oleh kekuatan politik di luar mereka, dan terintegrasi ke dalam ekonomi pasar. Komunitas semacam ini yang dianggap sebagai masyarakat adat harus dipahami sebagai entitas yang kompleks dan dinamis. (Hendra, 2013:5-6)
Manusia sebagai makhluk sosial memerlukan hidup bermasyarakat. Manusia yang hidup menyendiri akan kehilangan sifatnya sebagai manusia yang normal. Hidup bermasyarakat itu melahirkan kebiasaan dikalangan anggota dari masyarakat itu dan kebiasaan berjalan turun temurun dari dahulu sampai sekarang, adat kebiasaan ataupun kebiasaan yang sudah di adatkan. Sesuai dengan perumpaan suku batak, “tuatma nadolok, martungkot siala gundi, napinungka ni nadijolo, ihuthonon ni na dipudi.”
            Suatu keluarga suku batak bila melaksanakan suatu adat kebiasaan seperti: haroan, pamuli boru, pangolihon anak, mangoppoi jabu naimbaru, mangokkal holi, mamestahon tambak ni oppu, dan yang lain, tidaklah diselesaikan sendiri tetapi harus musyawarahkan pelaksanaannya dengan kaum keluarga terdekat, ataupun dengan anggota sekampung. Biasanya pelaksanaannya harus di barengi dengan pesta, jumlah orang yang diundang dan diharapkan hadir pada pesta itu disesuaikan pada jenis pesta. (Simajuntak, 2011:275)
2. Jenis Adat dan Sanksinya
            Adat ataupun hukum adat walaupun tidak tertulis sudah merupakan aturan yang mengatur cara hidup manusia, yang takhluk kepada adat ataupun hukum adat tersebut. Bila suatu keluarga ingin mengawinkan anak laki-laki ataupun perempuan (pamuliho boru manang pangolihon anak) atau sewaktu panangkokhon saringni natuatua tu tambak na tumimbo, bagaimanapun kejadian serupa itu haruslah disertai pesta adat. Dalam hal siboru, ataupun sianak mangalua pesta adatnya seperti manuruk-nuruk, pasahathon sulang-sulang ni pahompu,pelaksanaan pesta dapat di adakan di kemudian.
            Masyarakat pada umumnya berpendapat bahwa sudah selayaknya diberikan sanksi bagi mereka yang tidak mengadakan pesta adat, namun konkretnya sanksi tersebut tidak dilakukan. Tetapi ada juga sanksi yang lebih hebat lagi pengaruh dari sanksi yang konkret tadi, yaitu bahwa keluarga yang bersangkuta dianggap tidak beradat. Dalam pelanggaran yang berat, seperti perkawinan semarga, umpamanya musyawarah pengetua adat dapat mengucilkan mereka yang melakukan pelanggaran itu dari lingkungan adat. (Simajuntak, 2011:126)
            Hukuman serupa ini bagi manusia lebih berat, karena hukuman itu berlaku seumur hidup dan juga turun temurun. Identifikasi “anak ni naso maradat”  atau “ turunan ni naso maradat” merupakan penghnaan yang sangat berat oleh karena itu serupa ini selalu dijauhi oleh masyarakat. (Simanungkalit, 2011:39)
Karena suku Batak yang ada di perantauan banyak melakukan interaksi dengan suku lain sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa dengan perkembangan teknologi dan informasi serta adanya internalisasi antar etnik seperti asimilasi yang ditandai dengan adanya usaha-usaha mengurangi perbedaan-perbedaan yang terdapat antara orang-perorangan atau kelompok-kelompok manusia dan juga meliputi usaha-usaha untuk mempertinggi kesatuan, sikap dan proses-proses mental dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan dan tujuan-tujuan bersama. (Yusrina, 2003:123)
           
4.Dahlihan Na tolu
            Pihak hula-hula tidak boleh diremehkan, apabila pihak boru kurang hormat terhadap hula-hula, maka pihak hula-hula tidak akan menghadiri kegiatan adat yang dilakukan. Jika salah satu unsur dari dalihan na tolu tidak ada, maka adat istiadat yang dilakukan itu akan timpang (kurang sempurna). Oleh karena itu setiap keluarga Batak Toba selalu menjaga hubungan yang baik di dalam dalihan na tolu). Upacara perkawinan merupakan salah satu unsur dari adat-istiadat Batak Toba yang harus ditempuh setiap keluarga. Upacara perkawinan menjadi hal yang sangat perlu dilakukan karena setiap orang untuk boleh masuk menjadi anggota dalihan na tolu harus lebih dahulu melakukan upacara perkawinan. Upacara perkawinan merupakan pintu atau jembatan untuk memasuki dalihan na tolu (Siahaan, 1982: 52-58).  
5. Pesta Adat Dahulu Dan Sekarang
 Pelaksanaan pesta dahulu umpanya pangolihon anak, pada langkah pertama diadakan tonggo raja guna membicarakan pelaksanaan pesta unjuk tersebut. Tonggo raja itu biasanya diadakan di partukoan yaitu di harbangan ni huta, dibawah pohon beringin yang rindang. Pokok pembicaraan pada pertemuan tersebut adalah:
a.         Manjujur ari untuk “mata ni pesta” itu, dan yang dianggap penting karena penentuan hari yang kurang tepat dapat menimbulkan bala kepada pasangan yang akan mengadakan perkawinan itu.
b.        Menetukan parjuhut hewan sembeliahan dari pesta unjuk tersebut . hal ini perlu pembahasan terlebih dahulu dikalangan raja adat oleh karena parjuhut tersebut harus sesuai dengan status yang melaksakan adat tersebut yang paling menentukan dalam penentuan status sosial itu terutama hagabeon kemudian hadumaon, atau hamoraon. Orang yang sudah sejak lama terkenal maduma, tentu mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada naboru mamora. Rakyat jelata dari lapisan miskin atau bawah biasanya mengambil namarmiak-miak sebagai parjuhut pestanya, yang baru maduma, mengambil lombu sitio-tio dan keluarga nagabe jala maduma mengambil gajah toba. Jadi tidak sembarangan keluarga yang mengambil sigagat duhut ataupun harga sebagai parjuhut dari pestanya, sebagaimana sekarang ini. Pelanggaran yang disengaja dalam hal ini dapat dianggap sebagai kecongkakan dan akan menimbulkan rasa antisipasi dari masyarakat terhadap keluarga yang mempunyai hajat atau hasuhuton.
c.    Menentukan jumlah pinggan panganan yang diperlukan. Makanan pada pesta dahulu             dihidangkan pada anduri ( tampah ) yang besar, yang dikelilingi oleh 4-6 orang. Nasi itu di onggokkan di tengah anduri itu dan kemudian lauk pauknya ( juhut ) juga di onggokkan di atas nasi itu. Tetapi bagi raja na gabe, raja namabunga, parbaringin, dan pangulu, disediakan pinggan panganan sebagai penghormatan. Sedikit perbedaan dengan pinggan panganan yang diberikan pada pesta di kota besar sekarang ini, dimana pemakainan talam yang besar sudah meminta tempat yang besar di atas meja
        makan, ini tentu lebih sulit dari pada adat yang biasanya.
d.    Hal ini sehubungan dengan pesta perkawinan tersebut seperti lazim diadakan sekarang ini. Sebagaimana telah dijelaskan, yang menjadi raja pararhata, ataupun raja parsinabung pada pesta adat dahulu adalah parbaringan. Merekalah yang dianggap sakti, dan yang mereka jugalah yang memberikan pasu-pasu pada pesta tersebut. Oleh karena itu dapatlah di mengerti pentingnya kedudukan parbaringan itu dikalangan masyarakat dahulu. Sekarang ini tidak ada lagi perbaringan. Di daerah sigumpar; kali terakhir parbaringan yang diangkat adalah di janji maria, yaitu parbaringan pada marga siagian. Fungsi parbaringan dewasa ini diambil alih oleh raja parhata yang ditetapkan pada pesta itu juga marilah kita lihat bagaimana jalannya pesta adat sekarang ini. (Simajuntak, 2011:128-130)
6. Pesta Adat Dibona Pasogit Dan Kota-Kota Besar
              Urutan pada kegiatan pada pesta adat baik di bona ni pasogit, kota besar atau pun di parantauan, boleh dikatakan serupa saja, hanya cara pelaksanaanya saja yang kadang berubah akibat pengaruh keadaaan setempat dan sebagian lagi atas pertimbangan yang lebih praktis. Di Tapanuli Utara sendiri pun ada juga perubahan diantara beberapa daerah, ditetapi terutama hanya dalam pengaruh parjabaran. Demikianlah ada perbedaan parjabaran diantara toba dan parhasudutan termasuk Samosir dengan toba parhabinsaran. Mulai dari Balige kearah Laguboti dan Porsea, istimewa mengenai daging bagian dagu mengenai tujuan dari parjambaran itu tidak ada persoalan, sebab tujuananya serupa saja yaitu menghormati yang menerima parjabaran itu sesuai dengan fungsinya didalam pesta adat tersebut. Hanya bagian mana dari tudu tudu ni sipanganon itu sebagai wujud dari penghormatan itu. (Simajuntak, 2011:128-129)
              Mengenai jambar hepeng (uang), berapa besarnya jambar ni suhi ni ampang naopat sudah tentu sesuai dengan besarnya boli, sedangkan di daerah toba persoalannya itu dapat diselesaikan dengan banyak cara, kesepakatan yang berdasarkan bujukan. Perbandingan pelaksanaan pesta adat di bona ni pasogit dengan diperantauan :
a)        Tempat pesta. Di bona ni pasogit,  pesta diadakan di halaman ni hasuhuton dan merupakan halaman bersama sekampung, maka keadaannya cukup luas untuk menampung semua tamu, terlebih karena semuanya duduk di atas tikar. Di kota besar pesta itu biasanya diadakan di sopogodang ataupun di suatu wisma yang sudah dilengkapi dengan meja dan kursi.
b)        Di bona ni pasogit yang bertugas untuk persiapan pesta adalah saudara semarga dan boru, pardongan sahutaon secara gotong royong dibantu oleh pihak boru dan hasuhuton sendiri.
c)        Dikota besar mengenai makanan dan daging persiapannya sudah diserahkan pada pemborong. Memang pardongan sahutaon dan boru resminya turut juga marhobas, tetapi hanya sebagai formalitas saja dan sebagai penerima tamu.
d)       Perbedaan mengenai parjambaran dan sebagainya, diselesaikan dengan musyawarah sewaktu adanya  tonggo raja. Untuk menghemat waktu, sering juga dilaksanakan jambar mangihut. Dengan demikian dapatlah dicegah perdebatan yang bertele-tele dan berkepanjangan, mengenai pembagian jambar itu.
e)        Maningkir tangga dan paulak une, di bona ni pasogit diadakan beberapa hari sesudah pesta perkawinan itu. Dikota besar sudah sering dilaksanakan di wisma itu juga. Yakni sesudah pesta adat perkawinan itu resmi ditutup dengan doa. Dengan demikian terhindarlah pihak parboru dan paranak dari pemborosan waktu keuangan.
              Kalau kita bandingkan pelaksanaan pesta adat itu di kampung dengan dikota besar seperti di Medan, dalam garis besarnya pelaksanaan dikota besar adalah lebih sederhana dan lebih praktis dan oleh karena itu lebih teratur. Ini menurut penilaian daripada orang terpelajar. Mungkin penilaian orang kampung sendiri agak lain. Justru didalam kesibukan yang kurang berketentuan itulah mungkin terletak atraksinya yang lebih menarik dari pesta itu. Orang kota akan gembira kalau pesta lekas selesai, sedangkan dikamung tidak ada pengertian keberatan tentang waktu sebab tidak ada tugas yang mendesak mereka. (Simajuntak, 2011:126-128)
Hukum pertama-tama dilahirkan dari kebiasaan dan kesadaran umum masyarakat, kemudian dari keputusan hakim, tetapi bagaimana pun juga diciptakan oleh kekuatan-kekuatan dari dalam yang bekerja secara diam-diam, dan tidak oleh kemauan sendiri. Pada masyarakat seperti ini memang tidak dijumpai peranan dari pembuat undang-undang seperti masyarakat modern sekarang ini. Peranan dari hukum kebiasaan adalah lebih menonjol dan hal inipun diterapkan oleh suku batak yang ada di perantauan. (Rahardjo, 1986:168-169). Menurut pasal 1339 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan dalam perjanjian, tetapi juga untuk “segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan (diwajibkan) oleh kepatuhan, kebiasaan dan undang-undang”. Dengan demikian, setiap perjanjian diperlengkapi dengan aturan-aturan yang terdapat dalam undang-undang, dalam adat kebiasaan (di suatu tempat dan suatu kalangan tertentu), sedangkan kewajiban-kewajiban yang diharuskan oleh kepatutan (norma-norma kepatutan) harus juga di indahkan. (Subekti, 1987:39)
Masyarakat Batak menganggap bahwa perkawinan ideal adalah perkawinan antara orang-orang rumpal (Toba: marpariban) ialah antara seorang laki-laki dengan anak perempuan saudara laki-laki ibunya. Dengan demikian, seorang laki-laki Batak, sangat pantang kawin dengan seorang wanita dari marganya sendiri dan juga dengan anak perempuan ayah. Tetapi preferensi perkawinan sebagai terurai ini, pada masa sekarang telah banyak tidak dilakukan lagi. (Soekanto, 1981:217-218)
Hal-hal kecil seperti bahasa, aksen dan nada bicara pada akhirnya membawa  kebiasaan-kebiasaan yang sudah turun-temurun dilakukan oleh masyarakat setempat mengalami sedikit pergeseran, begitu juga sebaliknya yang terjadi pada masyarakat pendatang. Budaya-budaya lama yang dibawa dari daerah asal oleh masyarakat asal, perlahan-lahan sudah mulai bercampur dengan kebudayaan yang ada di daerah setempat. Pernikahan khususnya pernikahan adat atau tradisional. (Mulyana, 1996: 35)
Suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya mencapai kesejahteraan spiritual dan material. Tujuan perkawinan adalah mengembangkan kepribadian untuk mencapai kesejahteraan spiritual dan material dan tujuan perkawinan sesungguhnya sangat mulia apabila dilandaskan kesadaran untuk saling memberi yang terbaik walaupun pasangannya tidak menuntut hal tersebut, serta tujuan melangsungkan perkawinan adalah untuk menciptakan hidup rumah tangga yang sejahtera bersama pasangan yang menjadi pilihan dan untuk meneruskan keturunan pada umumnya dalam membina keluarga, setiap orang menginginkan kehidupan yang bahagia bersama pasangannya sampai akhir waktu. Perkawinan adalah komposisi dari setiap tujuan personal pasangan yang mungkin dengan cara kooperatif akan menyertakan kedua keinginan pasangan tersebut, apabila kedua keinginan tersebut terkandung dalam satu tujuan bersama sebagai hasil akhir. (Ramsis, 2015:3-5)
Dalam hukum pewarisan Indonesia belum ada peraturan perundangan yang mengatur pembagian warisan secara nasional dalam arti bias di pakai setiap warga Negara Indonesia tanpa memandang suku, agama, dan adat. Keaneka ragaman suku, budaya, dan agama atau yang disebut pluralisme memberikan pilihan bagi setiap warga Negara Indonesia untuk menggunakan tata cara yang mana dalam melaksanakan pembagian warisan itu digunakan. Demikian juga dengan agama Kristen yang terdiri dari beberapa aliran dan penganut agamanya pun juga terdiri dari beberapa suku dan etnis, seperti suku batak, suku jawa, etnis tionghoa, warga Negara keturunan (Belanda, Inggris, Jepang, dsb). (Lilieni, 2007:97)
Dalam Soemali (2011:3), Adapun penggolongan perkawinan menurut hukum adat dapat digolongkan atas:
1.      Perkawinan Patrilineal.
2.      Perkawinan Matrineal.
3.      Perkawinan Parental/Bilateral.
4.      Perkawinan Altenerend.
7. Ritual Pesta Adat
Pernikahan adat Batak, seperti juga pernikahan-pernikahan adat pada umumnya, didasari oleh hukum adat, perundang-undangan, dan hukum agama.

a.        Mangarisika. Adalah kunjungan utusan pria yang tidak resmi ke tempat wanita dalam rangka penjajakan. Dalam pernikahan adat Batak, terdapat beberapa prosesi besar yaitu : peminangan maka pihak orang tua pria memberikan tanda mau (tanda holong dan pihak wanita memberi tanda mata). Jenis barang-barang pemberian untuk pernikahan adat batak dapat berupa kain, cincin emas, dan lain-lain.
b.        Marhori-hori Dinding/marhusip. Pembicaraan antara kedua belah pihak yang melamar dan yang dilamar, terbatas dalam hubungan kerabat terdekat dan belum diketahui oleh umum.
c.         Marhata Sinamot. Pihak kerabat mempelai pria (dalam jumlah yang terbatas) datang kepada kerabat mempelai wanita untuk melakukan marhata sinamot, membicarakan masalah uang jujur (tuhor).
d.        Pudun Sauta. Pihak kerabat pria tanpa hula-hula mengantarkan wadah sumpit berisi nasi dan lauk pauknya (ternak yang sudah disembelih) yang diterima oleh pihak parboru dan setelah makan bersama dilanjutkan dengan pembagian Jambar Juhut (daging) kepada anggota kerabat, yang terdiri dari:
a) Kerabat marga ibu (hula-hula)
b) Kerabat marga ayah (dongan tubu)
c) Anggota marga menantu (boru)
d) Pengetuai (orang-orang tua)/pariban
e) Diakhir kegiatan Pudun Saut maka pihak keluarga wanita dan pria bersepakat menentukan waktu Martumpol dan Pamasu-masuon.
e.         Martumpol (baca : martuppol). Penanda-tanganan persetujuan pernikahan adat oleh orang tua kedua belah pihak atas rencana perkawinan anak-anak mereka dihadapan pejabat gereja. Tata cara Partumpolon dilaksanakan oleh pejabat gereja sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Tindak lanjut Partumpolon adalah pejabat gereja mewartakan rencana pernikahan dari kedua mempelai melalui warta jemaat, yang di HKBP disebut dengan Tingting (baca : tikting). Tingting ini harus dilakukan duakali hari minggu berturut-turut. Apabila setelah dua kali tingting tidak ada gugatan dari pihak lain baru dapat dilanjutkan dengan pemberkatan nikah (pamasu-masuon). Seluruh pasangan dalam penelitian ini menggunakan adat ini, karena adat istiadat ini sudah merupakan rangkaian adat dalam pernikahan adat Batak.
f.         Martonggo Raja atau Maria Raja. Adalah suatu kegiatan pra pernikahan adat yang bersifat seremonial yang mutlak diselenggarakan oleh penyelenggara pernikahan adat yang bertujuan untuk :
a) Mempersiapkan kepentingan pernikahan adat yang bersifat teknis dan non teknis.
b) Pemberitahuan pada masyarakat bahwa pada waktu yang telah ditentukan ada pernikahan adat pernikahan dan berkenaan dengan itu agar pihak lain tidak mengadakan pernikahan adat dalam waktu yang bersamaan.
c) Memohon izin pada masyarakat sekitar terutama dongan sahuta atau penggunaan fasilitas umum pada pesta yang telah direncanakan.
g.        Manjalo Pasu-pasu Parbagason (Pemberkatan Pernikahan). Pengesahan pernikahan adat kedua mempelai menurut tatacara gereja (pemberkatan pernikahan oleh pejabat gereja). Setelah pemberkatan pernikahan selesai maka kedua mempelai sudah sah sebagai suami-istri menurut gereja. Setelah selesai seluruh acara pamasu-masuon, kedua belah pihak yang turut serta dalam acara pamasu-masuon maupun yang tidak pergi menuju tempat kediaman orang tua/kerabat orang tua wanita untuk mengadakan pesta unjuk. Pesta unjuk oleh kerabat pria disebut Pesta Mangalap parumaen (baca : parmaen).
h.        Pesta Unjuk. Suatu acara perayaan yang bersifat sukacita atas pernikahan adat putra dan putri. Ciri pesta sukacita ialah berbagi jambar : Jambar yang dibagi-bagikan untuk kerabat parboru adalah jambar juhut (daging) dan jambar uang (tuhor ni boru) dibagi menurut peraturan. Jambar yang dibagi-bagikan bagi kerabat paranak adalah dengke (baca: dekke) dan ulos yang dibagi menurut peraturan. Pesta Unjuk ini diakhiri dengan membawa pulang pengantin ke rumah paranak.
i.          Mangihut di ampang (dialap jual). Yaitu mempelai wanita dibawa ke tempat mempelai pria yang dielu-elukan kerabat pria dengan mengiringi jual berisi makanan bertutup ulos yang disediakan oleh pihak kerabat pria.
j.          Ditaruhon Jual. Jika pesta untuk pernikahan itu dilakukan di rumah mempelai pria, maka mempelai wanita dibolehkan pulang ke tempat orang tuanya untuk kemudian diantar lagi oleh para namborunya ke tempat namborunya. Dalam hal ini paranak wajib memberikan upa manaru (upah mengantar), sedang dalam dialap jual upa manaru tidak dikenal.
k.        Paranak makan bersama di tempat kediaman si Pria (Daulat ni si Panganon). Setibanya pengantin wanita beserta rombongan di rumah pengantin pria, maka diadakanlah acara makan bersama dengan seluruh undangan yang masih berkenan ikut ke rumah pengantin pria. Makanan yang dimakan adalah makanan yang dibawa oleh pihak parboru.
l.          Paulak Unea. Setelah satu, tiga, lima atau tujuh hari si wanita tinggal bersama dengan suaminya, maka paranak, minimum pengantin pria bersama istrinya pergi ke rumah mertuanya untuk menyatakan terima kasih atas berjalannya acara pernikahan dengan baik, terutama keadaan baik pengantin wanita pada masa gadisnya (acara ini lebih bersifat aspek hukum berkaitan dengan kesucian si wanita sampai ia masuk di dalam pernikahan). Setelah selesai acara paulak une, paranak kembali ke kampung halamannya/rumahnya dan selanjutnya memulai hidup baru. Seluruh pasangan dalam penelitian ini tidak lagi menjalankan adat istiadat ini. Hal ini dikarenakan mereka menggangap prosesi ini tidak lagi menjadi hal yang penting dalam prosesi.
m.      Manjahea. Setelah beberapa lama pengantin pria dan wanita menjalani hidup berumah tangga (kalau pria tersebut bukan anak bungsu), maka ia akan dipajae, yaitu dipisah rumah (tempat tinggal) dan mata pencarian. Seluruh pasangan dalam penelitian ini tidak lagi menjalankan adat istiadat ini. Hal ini dikarenakan mereka menggangap prosesi ini tidak lagi menjadi hal yang penting dalam prosesi. Karena rata-rata jika sudah menikah mereka memang hidup terpisah dari orangtua masing-masing.
n.   Maningkir Tangga (baca : manikkir tangga). Beberapa lama setelah pengantin pria dan wanita berumah tangga terutama setelah berdiri sendiri (rumah dan mata pencariannya telah dipisah dari orang tua si laki-laki) maka datanglah berkunjung parboru kepada paranak dengan maksud maningkir tangga (yang dimaksud dengan tangga disini adalah rumah tangga pengantin baru). Dalam kunjungan ini parboru juga membawa makanan (nasi dan lauk pauk, dengke sitio tio dan dengke simundur-mundur). Dengan selesainya kunjungan maningkir tangga ini maka selesailah rangkaian pernikahan adat na gok. Seluruh pasangan dalam penelitian ini tidak lagi menjalankan adat istiadat ini. Hal ini dikarenakan mereka menggangap prosesi ini tidak lagi menjadi hal yang penting dalam prosesi. Padahal dalam prosesi pernikahan adat Batak seharusnya prosesi ini menjadi prosesi adat yang terakhir. (Ramsis, 2015: 24-29)
            Setiap kelompok etnis memiliki konsep adat yang menjadi identitas, termasuk masyarakat batak toba. Dalam menjalani kehidupan masyarakat suku batak toba memegang prinsip: hamoraon, hagabeon dohot hasangapon.
1.        Hamoraon atau nilai kekayaan
Mereka mencari banyak rezeki dengan hidup secara bekerja keras. Kekayaan yang dimaksud bukan dalam bentuk materi saja tetapi juga jumlah anak dan keturunan.
2.        Hagabeon atau nilai keturunan
Keturunan merupakan hal penting untuk meneruskan garis keturunan dalam silsilah keluarga. Biasanya anak laki-laki lebih di utamakan karena mereka akan meneruskan marga sampai keturunan berikutnya.
3.        Hasangapon atau nilai kedudukan atau jabatan
Nilai hasangapon adalah nilai tambahan apabila mereka memiliki kedudukan atau jabatan pada setiap pekerjaan. Bila tidak tercapai oleh yang bersangkutan, kesuksesan sang anak juga dapat menjadi pertimbangan.
            Selain itu, masyarakat batak juga memiliki adat istiadat warisan leluhur berupa falsafah (dahlihan na tolu) yang terdiri dari somba marhula-hula (hormat kepada ayah dari istri), manat mardongan tubu (bersikap hati-hati kepada saudara semarga), serta elek marboru (sifat membujuk kepada saudara perempuan). Dahlihan na tolu merupakan hubungan kekeluargaan karena adanya pernikahan dan merupakan dasar dari aspek kehidupan mereka sejak lahir sampai mati. (Barker, 2004: 54)
            Suku Batak Toba adalah suatu suku yang masih memegang adat dan prinsip hidup dalam menjalani kehidupan. Oleh sebab itu, unsur dahlihan na tolu diterapkan dalam acara adat, seperti upacara mendirikan rumah baru, kelahiran, pernikahan, kematian dan lain-lain. Unsur dahlihan na tolu memiliki unsur penting dalam setiap upacara adat tanpa adanya unsur tersebut, upacara adat tidak terlaksana dengan baik, sehingga kehadiran unsur tersebut sangat diharapkan diseluruh upacara adat, dapat disimpulkan bahwa hubungan kekerabatan yang dilibatkan dalam upacara adat menjadi bukti pentingnya peran manusia sebagai makhluk sosial. (Purba, Gondang Sabangunan Ensamble Music of the Batak Toba People: Musical Instrumens, Structure, and Terminology, 2002:12)
Masyarakat Batak Toba Tradisional adalah masyarakat tertutup yang tidak dapat mengatakan sesuatu dengan langsung. Ada suatu “nilai” yang sangat dipegang teguh oleh masyarakatnya sehingga untuk mengatakan sesuatu harus dilapisi dengan kata-kata yang membuat maknanya tersamar tetapi cukup dimengerti. Biasanya mereka menggunakan umpama (perumpamaan) dan umpasa (pantun) untuk mengatakan sesuatu kepada seseorang atau kelompok ketika melakukan komunikasi. Pengertian umpama dan umpasa tidaklah dapat disamakan seutuhnya dengan perumpamaan dan pantun di dalam kesusastraan Indonesia. Apabila ditinjau dari segi bentuk dapat dikatakan sama, tetapi apabila ditinjau dari segi makna atau gagasan yang ingin dikemukakan maka akan terjadi perbedaan karena umpama dan umpasa menekankan makna bernilai budaya dengan membandingkan sifat-sifat, kebiasaan, karakteristik, perilaku suatu binatang, tumbuhtumbuhan, dan benda-benda yang terdapat di sekililing masyarakat Batak Toba. (Pardosi, 2008:3)
Perkawinan Batak Toba adalah perkawinan eksogami marga, karena per-kawinan satu marga dilarang keras. Per-kawinan yang ideal bagi masyarakat Batak Toba adalah perkawinan antara seorang laki-laki dengan anak perempuan saudara laki-laki dari ibunya atau boru ni tulangna (pariban). Orangtua pada ma-syarakat Batak Toba selalu menganjurkan perkawinan ideal tersebut, tetapi bila anjuran ini tidak berhasil pihak orangtua sudah mengalah demi kebahagiaan anak-anaknya. (Manik, 2012:45)
Pemberian uang mahar (sinamot) mempunyai falsafah dan makna simbolik yang mendalam sesuai dengan sistem nilai yang diwariskan secara turun-temurun dan berfungsi pada masyarakatnya. Pengertian dari pemberian sinamot yang paling hakiki adalah proses “pemberian dan penerimaan”. Mempelai wanita tidak lagi menjadi tanggungan ayahnya dalam adat karena haknya sudah diserahkan kepada pihak mempelai laki-laki dan mulai saat itu, mempelai perempuan sudah harus mengikuti marga suaminya dan menjadi tanggungan penuh oleh suaminya dan mengikuti adat dalam keluarga suaminya.
Pada awalnya pemberian itu bukanlah berbentuk uang tetapi berupa benda-benda yang dianggap bermakna. Sinamot sering diberi berupa ternak yang dianggap mahal seperti kerbau, sapi, kuda, dan babi. Jumlahnya tergantung kesepakatan dan kemampuan pihak laki-laki atau permintaan perempuan, bisa 30 ekor kerbau tapi bisa pula satu ekor diluar ternak yang akan di potong untuk keperluan pesta. Pemberian inilah yang disebut sebagai penghargaan bagi keluarga perempuan, karena begitu pentingnya sinamot pada masyarakat suku Batak Toba, mereka yang belum memberikan sinamot kepada pihak perempuan maka perkawinan tersebut tidak sah dalam adat suku Batak Toba. (Purba, 2005:50)
           





 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


B. Kerangka Berpikir


Adat Batak
Globalisasi
Tadisi (budaya) di Kota Medan yang Pelaksanaannya oleh suku Batak Toba yang Merantau
Budaya Konsumerisme
 












Gambar 2.1
Upacara perkawinan Batak Toba merupakan salah satu hal yang sangat penting untuk memasuki dalihan na tolu.Upacara perkawinan menjadi tradisi yang dilakukan komunitas Batak Toba baik di daerah asal maupun di daerah perantauan. Praktik upacara perkawinan memiliki pakem yang harus mereka ikuti. Akibat globalisasi, pakem ini mengalami pergeseran sehingga menimbulkan perilaku yang konsumerisme.      
Perilaku konsumerisme dalam upacara perkawinan Batak Toba di Kota Medan dipengaruhi beberapa faktor diantaranya: (1) Globalisasi, yaitu terintegrasinya berbagai elemen dunia kehidupan ke dalam dunia tunggal berskala dunia (Piliang, 2011: 22). Globalisasi menjadi suatu ekspansionisme sistem ekonomi kapitalis; (2). Gaya hidup, yaitu cara setiap orang untuk memaknai kehidupannya dengan cara mengekspresikan benda-benda sebagai objek pengaktualisasian diri kehidupan sehari-hari (Piliang, 2011: 322); (3). Budaya populer, yaitu budaya yang diproduksi secara komersil dan konsumer menerima saja tanpa berpikir hal itu akan berubah di waktu yang akan datang (Barker, 2004: 50); (4). Media massa, yaitu lembaga-lembaga komunikasi yang memproduksi dan mendistribusikan teks-teks secara luas, dalam konteks lahir dan berkembangnya modernitas kapitalis (Barker, 2014: 165); (5). Kurangnya pemahaman tentang makna upacara perkawinan Batak Toba; dan (6). Kurangnya transmisi budaya kepada generasi muda.
Konsumerisme dalam upacara perkawinan menjadi suatu kebiasaan yang mereka lakukan secara sadar. Makna upacara perkawinan mengalami pergeseran akibat dari globalisasi yang membawa bentuk ideologi kapitalis.
sendiri.














BAB III

METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Metode penelitian yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Alasan kenapa peneliti tertarik menggunakan metode kualitatif karena penelitian yang akan dilakukan nantinya membutuhkan pengamatan terhadap perilaku masyarakat di dalam pelaksanaan upacara adat perkawinan Batak Toba tersebut, serta menjelaskan berdasarkan kajian ilmu sosiologi budaya dan hanya dengan menggunakan metode kualitatiflah peneliti bisa menjelaskan permasalahan yang akan diteliti.
Dari penelitian ini, penulis menerapkan metode kualitatif dngan melakukan pengamatan terhadap bentuk pelaksanaan dari perkawinan adat batak toba tersebut dan juga dengan menyampaikan  beberapa pertanyaan kepada narasumber yang memiliki pengetahuan tentang adat perkawinan Batak Toba.

B. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di daerah Deli Serdang yang merupakan salah satu daerah yang ada di Kota Medan. Alasan peneliti mengambil lokasi penelitian ini adalah karena di Kota inilah banyak suku batak toba datang merantau dari kampung dan bahkan hampir tinggal secara menetap.

C. Populasi Dan Sampel

Populasi dan sampel yang peneliti pilih adalah informan di daerah yang penetiti akan tuju. Informan adalah orang yang mengetahui serta memiliki informasi yang luas terkait dengan permasalahan yang akan diteliti. Dalam hal ini peneliti memilih informan adalah Ketua Adat, tokoh masyarakat, serta anggota masyarakat di daerah Deli Serdang yang pernah melaksanakan upacara adat perkawinan Batak Toba. Penentuan populasi dan sampel ini dilakukan secara sengaja sesuai denga kriteria yang ditentukan sendiri oleh peneliti (purposive).

D. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
1.        Wawancara, percakapan yang dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan penanya.
2.        Dokumentasi, dokumentasi disini penulis lakukan dengan mencari atau melihat dokumen-dokumen (foto,dll) pelaksanaan upacara Adat Perkawinan Batak Toba untuk mendukung keotentikan hasil penelitian.

E. Jenis Data dan Sumber Data

            Jenis data dan sumber data yang peneliti pilih dalam penelitian ini adalah angket dan dokumentasi yang secara akumulasi menambah pemahaman peneliti terhadap yang ditemukan. Dan peneliti memakai jenis data yang primer yang peneliti ambil dari sumber data berupa jurnal, buku dan artikel terkait lainnya.

F. Teknik Analisis Data

Dalam penelitian ini teknik analisis data yang digunaka adalah teknik deskriptif kualitatif yaitu mentabulasi data yang akan di kumpulkan kemudian menguraikan data menganalisis data berdasarkan presentasi dan tabel frekuensi sehingga lebih mudah untuk dipahami dan di simpulkan. Adapun unsur metodis dalam penelitian yang akan penulis lakukan yakni:
1.        Deskripsi, yakni memaparkan seluruh data penelitian baik pustaka maupun lapangan dan dilihat beberapa aspek, dalam hal ini data terkait objek formal dan objek material penelitian.
2.        Interpretasi, yakni penulis berusaha memberikan pandangan terhadap dimensi aksiologis yang terkandung dalam kegiatan mangulosi pada saat upacara pernikahan adat Batak Toba.
3.        Holistika, yakni penulis menganalisis kegiatan mangulosi  pada saat upacara pernikahan adat Batak Toba. Unsur holistika ini juga bertujuan agar dapat diketahui kelebihan dalam konsepsi filosofis dari mangulosi, sehingga mampu mencapai ke benaran yang utuh.

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Kecamatan Medan Tembung adalah salah satu dari 21 kecamatan di kota Medan, Sumatera Utara, Indonesia. Kecamatan Medan Tembung berbatasan dengan Medan Perjuangan di sebelah barat, Kabupaten Deli Serdang di timur, Medan Denai di selatan, dan Kabupaten Deli Serdang di utara. Pada tahun 2016, kecamatan ini mempunyai penduduk sebesar 134.113 jiwa. Luasnya adalah 7,99 km² dan kepadatan penduduknya adalah 16.785,11 jiwa/km². Kecamatan Medan Tembung mempunyai banyak jenis usaha industri kecil seperti kerajinan rotan. Kecamatan Medan Tembung terletak di wilayah Timur Kota Medan dengan batas-batas sebagai berikut :
a.         Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Medan Perjuangan
b.        Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang
c.         Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Medan Denai
d.        Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang

Peta Kecamatan Medan Tembung

B. PENYAJIAN DATA

            Responden yang dilibatkan untuk memperoleh data dalam penelitian ini berjumlah 9 orang, diantaranya 3 tokoh adat, 2 warga, 2 pemuda/i, dan sepasang suami istri yang baru menikah (pelaku prosesi adat pernikahan).
Berikut merupakan informasi responden dan jawaban terhadap pertanyyan yang diajukan peneliti.
1.    Nama          : M. Tambunan
Umur          : 62 Tahun
Peran          : Tokoh Adat
Upacara pernikahan adat Batak Toba yang terlaksana oleh warga Kelurahan Indrakasih telah banyak berlangsung didalam gedung wisma hal ini karena sudah mulai menyempitnya kawasan atau yang biasa disebut halaman rumah di daerah medan ini, sehingga tidak memungkinkan dilaksanakannya prosesi adat pernikahan di halaman. Dan dalam prosesi pernikahan adat Batak Toba sangatlah memakan banyak waktu dan biaya serta memiliki proses yang panjang dan sistematis. Namun, jika diamati para kaum muda yang menikah di era saat ini lebih memilih konsep dan tata ruang yang di adopsi dari budaya orang luar, dan hal ini di karenakan oleh efek modernisasi.
2.    Nama          : O. Hasibuan
Umur          : 68 Tahun
Peran          : Tokoh Adat
Upacara pernikahan yang terjadi saat ini di daerah ini masih lumayan bagus, karena banyak para pelaksana yang masih menerapkan unsur budaya yang sebenarnya walaupun tempatnya kini bukan di rumah lagi melainkan di wisma. Untuk biaya dan waktu pelaksanaan yang saat ini saya amati masih lumayan juga karena mereka masih memakai runtut pelaksanaan seperti yang ada dikampung. Dan untuk perlengkapan pernikahan saat ini yang terjadi adalah kebanyakan sistim sewa oleh pelaksana kepada pemilik wisma atau jasa salon.
3.    Nama          : M. Sinambela
Umur          : 50 Tahun
Peran          : Tokoh Adat
Upacara pernikahan yang saat ini terjadi kebanyakan masih bagus karena masih ada saja pihak yang ingin menikah masih mau meluangkan waktu untuk meminta saran dan masukan untuk prosesi pernikahan Batak Toba yang sebenarnya kepada kami para Tokoh adat di daerah indrakasih ini. Dan untuk proses yang memakan waktu yang banyak menurut saya ini tidaklah apa-apa karena prosesi seperti ini hanya terjadi sekali seumur hidup.
4.    Nama          : Lamhot
Umur          : 50 Tahun
Peran          : Warga
Untuk adat pernikahan yang saat ini berlangsung menurut saya ini sudah sangat bagik saya katakan demikian karena boleh dilihat dari penataan ruangan dan singkatnya susunan acara, sehingga setelah selesai mengikuti acara pernikahan ini saya masih ada sedikit waktu untuk melaksanakan aktivitas saya. Untuk proses yang memakan waktu lama seperti yang biasa dilakukan dikampung hal itu tidak boleh kita komentari karena itu sudah mendarah daging bagi mereka karena kalau tidak lama maka dikatakan kurang menarik.
5.    Nama          : Istri Lamhot
Umur          : 49 Tahun
Peran          : Warga
     Upacara pernikahan yang terjadi lebih mengarah kepada sistem sosial atau kekerabatan karena pada prosesi pernikahan adat inilah tampak setiap keluarga besar yang melaksanakan pernikahan dan untuk proses pernikahan biasanya diawali dari tunangan(martumpol), marhata sinamot, dan  pamasu-masuon. Dan untuk biaya yang habis dalam prosesi ini biasanya sangatlah banyak karena untuk setiap proses sudah memakan biaya juga, namun setiap biaya biasanya ditanggung oleh pihak laki-laki atau lebih tepatnya mempelai laki-laki.
6.    Nama          : Roni
Umur          : 24 Tahun
Peran          : Pemuda
Untuk upacara perkawinan Adat Batak Toba masih kurang saya pahami karena sangatlah jarang saya mengikuti prosesi pernikahan. Namun, menurut pengamatan saya pernikahan suku Batak Toba di daerah Medan ini lebih banyak dilangsungkan di gedung-gedung mewah, seperti di hotel dan wisma dan menurut saya hal ini lebih mengarah kepada westernisasi yang saat ini sangatlah mewabah pada setiap kaum muda yang akan melangsungkan pernikahan.
7.    Nama          : Juniana
Umur          : 23 Tahun
Peran          : Pemudi
Upacara pernikahan Batak Toba didaerah ini lebih mengarah kepada budaya orang luar dan orang jawa sebab hampir semua di buat semi plasmanan dan tata ruangnya lebih menonjolkan kemewahan di banding makna yang terselubung di balik acara. Dan saat ini proses pernikahan yang terjadi sudah lebih diatur seefisiensi mungkin dan untuk prosesi yang ada dibuat dengan memakan waktu yang panjang maka bagi saya lebih baik dibuat dengan waktu yang lebih efisien agar tidak ada pemborosan waktu untuk hal-hal yang tiada guna.
8.    Nama          : Tingkos
Umur          : 30 Tahun
Peran          : Pelaku
Dalam prosesi perikahan ini yang saya persiapkan yang paling utama adalah mental saya untuk menjalani setiap acara dan keluarga dari pihak istri saya karena nantinya akan ada banyak hadirin yang datang, namun dibalik semuanya itu yang saya persiapkan adalah pakaian saya satu stel yakni jas dan celana serta dasi dang kemeja yang bagus agar tampak lebih menawan di hadapan tamu undangan, lalu yang dipersiapkan adalah menu untuk pernikahan dan lokasi atau tempat pemberkatan dan tempat prosesi adat Batak Toba (budaya). Memang untuk hal ini saya banyak mengeluarkan biaya namun, itu bukanlah masalah karena hal ini adalah kewajiban saya. Untuk tamu undangan yang diundang tidaklah banyak hanya kekuarga yang terdekat dari pihak pria dan wanita, teman terdekat, keluarga jauh, tetangga di kampung dan di perauntauan, serta teman di tempat kerja. Untuk prosesi pernikahan yakni: Mangarasika, Marhori-hori dinding/ marhusip, Marhata Sinamot, Pudun Sauta, Martumpol, Martonggo Raja atau Maria Raja, Manjalo Pasu-pasu Parbagason, Pesta unjuk, Mangihut ampang, Ditaruhon jual, Daulat ni si Panganon, Paulak Unea, Manjahea dan yang terakhir Maningkir Tangga. Inilah yang saya ketahui dengan menanya orang tua dan tokoh-tokoh adat di daerah ini.
9.     Nama         : Istri Tingkos
Umur          : 29 Tahun
Peran          : Pelaku
Untuk pernikahan yang mengatur semuanya adalah pihak laki-laki dan biasanya saya hanya kabanyakan mempersiapkan mental untuk beadaptasi dengan lingkungan baru dari pihak suami saya.
a. Sistem Kekeluargaan
Hubungan kekerabatan suku Batak dapat diambil dari tiga sudut yaitu, dongan tubu, hula-hula, dan boru. Setiap suku Batak yang mempunyai marga yang sama disebut sebagai dongantubu, dan setiap orang yang mempunyai marga yang sama dengan pihak ibu atau isteri disebut hula-hula, sedangkan orang yang mengambil isterinya satu marga dengan kita disebut boru. Hubungan kekerabatan ini berlaku dalam pelaksanaan adat-istiadat juga dalam kehidupan sehari-hari.
Seperti yang sudah di jelaskan di atas, yang masuk dalam dalihan na tolu adalah orang yang sudah melakukan upacara perkawinan. Demikian juga dalam upacara-upacara adat Batak, yang boleh turut berbicara dalam urusan keluarga hanya yang sudah berkeluarga (Bruner, 1985: 165). Oleh karena itu perkawinan merupakan hal yang sangat perlu dalam suku Batak agar boleh masuk ke dalam dalihan na tolu. Sesuai dengan perkembangan Kota Medan, orang Batak semakin hari semakin bertambah di daerah ini, baik karena faktor kelahiran secara alamiah, penempatan kerja, ataupun karena faktor urbanisasi. Karena jumlahnya semakin banyak, pada tahun 70-an orang Batak berkumpul untuk membangun satu gereja. Gereja merupakan identitas bagi orang Batak, selain untuk tempat beribadah gereja juga berfungsi sebagai wadah untuk bersosialisasi budaya (Siahaan dalam Siburian, 2012 : 243). Organisasi gereja yang dibentuk bernama HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) yang berkantor pusat di Tarutung Sumatera Utara.
Sistem kekerabatan suku Batak dengan memperhitungkan keturunan secara patrilineal. Kelompok kekerabatan dihitung berdasarkan atas dasar, satu ayah, satu kakek atau satu nenek moyang. Setiap suku Batak Toba dapat menjelaskan silsilah dirinya sendiri mulai dari nenek moyangnya sampai kepada keturunannya. Untuk mengetahui silsilah ini dapat dilihat dari masing-masing tarombo yang ditulis setiap marga. Tarombo merupakan silsilah orang Batak Toba mulai dari nenek moyangnya, dirinya sendiri, dan juga keturunannya. Yang masuk dalam tarombo ini adalah kaum laki-laki yang sudah berkeluarga.
Suku Batak mempercayai satu nenek moyang, yaitu Si Raja Batak. Dari cerita suci (tarombo) yang masih dipercaya sampai saat ini menyebutkan bahwa seluruh suku Batak merupakan turunan Si Raja Batak dan bermukim pertama kali di kaki gunung Pusuk Buhit yaitu Sianjur Mula-mula (Sinaga, 1997: 40). Karena perkembangan keturunannya semakin banyak, dan sumber makanan semakin berkurang sehingga keturunan Si Raja Batak berpencar ke daerah Humbang, Simalungun, Karo, Mandailing, dan Pakpak. Akibat perpindahan ini sehingga menyebabkan suku Batak mempunyai sub-suku-suku.
Praktik upacara perkawinan Batak Toba di Kota Medan sangat bervariasi baik dari segi tempat upacara, jumlah orang yang diundang dan tahapan pelaksanaan. Terjadinya variasi ini diakibatkan tidak ada tempat khusus untuk melangsungkan upacara perkawinan seperti di Kota Jakarta dan Kota kota besar lainnya sehinga mereka menggunakan berbagai macam tempat.
b. Tempat Pelaksanaan
Suku Batak Toba umumnya memeluk agama Kristen, sehingga upacara perkawinan dilaksanakan sesuai dengan ajaran agama Kristen. Menurut agama Kristen, perkawinan itu sakral dikarenakan suami hanya boleh memiliki satu isteri, sebaliknya isteri hanya boleh memiliki satu suami. Selain itu, suami tidak boleh menceraikan isterinya dan juga sebaliknya, isteri tidak boleh menceraikan suami dengan alasan apapun kecuali karena kematian. Dengan demikian hanya kematian yang boleh menceraikan suami isteri dalam keluarga Kristen.
Upacara perkawinan Kristen yang sangat sakral memerlukan tempat yang sakral juga (bukan sembarangan) tempat yang dianggap sakral adalah di dalam gereja. Gereja merupakan tempat yang sakral bagi orang Kristen sehingga upacara perkawinan secara keagamaan dilaksanakan umumnya di dalam gedung gereja. Upacara perkawinan secara agama yang dilakukan dalam gereja tidak memerlukan biaya yang tinggi (biasanya hanya berbentuk ucapan syukur) karena gedung gereja bukan tempat komersil, dan setiap jemaat yang memerlukan fasilitas di gereja tidak pernah disewakan seperti gedung-gedung umum lainnya.
Fenomena konsumerisme di atas sesuai dengan pendapat Baudrillard, menyatakan bahwa mekanisme sistem konsumsi pada dasarnya berangkat dari sistem nilai tanda dan nilai simbol, dan bukan karena kebutuhan atau hasrat mendapatkan kenikmatan. Pada masyarakat konsumen, konsumsi sebagai pemaknaan tidak lagi diatur oleh faktor kebutuhan semata namun lebih dari fungsi itu adalah seperangkat hasrat untuk mendapatkan kehormatan, prestise, status dan identitas melalui mekanisme penandaan.
Kebiasaan bagi komunitas Batak Toba, seusai upacara perkawinan secara agama kemudian dilanjutkan dengan upacara perkawinan secara adat. Pada masyarakat sederhana atau mereka yang tinggal di daerah asal Tapanuli, pelaksanaan upacara perkawinan dilangsungkan di halaman rumah. Komunitas Batak Toba yang tinggal di Kota Medan untuk melangsungkan upacara perkawinan bukan lagi di halaman rumah tetapi di gedung pertemuan atau hotel berbintang.
Objek pendukung yang sangat banyak tersedia di Kota Medan, mengakibatkan komunitas Batak Toba mempunyai banyak pilihan sesuai dengan selera masing-masing. Pilihan yang banyak sebagai tempat untuk melangsungkan upacara perkawinan bukan membantu masyarakat melainkan menciptakan hasrat yang tak pernah terpuaskan. Hasrat yang tak pernah terpuaskan berimplikasi kepada budaya konsumerisme yang dipraktikkan dalam upacara perkawinan.

c. Susunan Acara Pernikahan
Susunan acara pernikahan yang wajib dijalani oleh setiap suku Batak Toba yang akan menikah yakni:
1.        Mangarisika. Adalah kunjungan utusan pria yang tidak resmi ke tempat wanita dalam rangka penjajakan. Dalam pernikahan adat Batak, terdapat beberapa prosesi besar yaitu : peminangan maka pihak orang tua pria memberikan tanda mau (tanda holong dan pihak wanita memberi tanda mata). Jenis barang-barang pemberian untuk pernikahan adat batak dapat berupa kain, cincin emas, dan lain-lain.
2.        Marhori-hori Dinding/marhusip. Pembicaraan antara kedua belah pihak yang melamar dan yang dilamar, terbatas dalam hubungan kerabat terdekat dan belum diketahui oleh umum.
3.        Marhata Sinamot. Pihak kerabat mempelai pria (dalam jumlah yang terbatas) datang kepada kerabat mempelai wanita untuk melakukan marhata sinamot, membicarakan masalah uang jujur (tuhor).
4.        Pudun Sauta. Pihak kerabat pria tanpa hula-hula mengantarkan wadah sumpit berisi nasi dan lauk pauknya (ternak yang sudah disembelih) yang diterima oleh pihak parboru dan setelah makan bersama dilanjutkan dengan pembagian Jambar Juhut (daging) kepada anggota kerabat, yang terdiri dari:
a) Kerabat marga ibu (hula-hula)
b) Kerabat marga ayah (dongan tubu)
c) Anggota marga menantu (boru)
d) Pengetuai (orang-orang tua)/pariban
e) Diakhir kegiatan Pudun Saut maka pihak keluarga wanita dan pria bersepakat menentukan waktu Martumpol dan Pamasu-masuon.
5.        Martumpol (baca : martuppol). Penanda-tanganan persetujuan pernikahan adat oleh orang tua kedua belah pihak atas rencana perkawinan anak-anak mereka dihadapan pejabat gereja. Tata cara Partumpolon dilaksanakan oleh pejabat gereja sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Tindak lanjut Partumpolon adalah pejabat gereja mewartakan rencana pernikahan dari kedua mempelai melalui warta jemaat, yang di HKBP disebut dengan Tingting (baca : tikting). Tingting ini harus dilakukan duakali hari minggu berturut-turut. Apabila setelah dua kali tingting tidak ada gugatan dari pihak lain baru dapat dilanjutkan dengan pemberkatan nikah (pamasu-masuon). Seluruh pasangan dalam penelitian ini menggunakan adat ini, karena adat istiadat ini sudah merupakan rangkaian adat dalam pernikahan adat Batak.
6.        Martonggo Raja atau Maria Raja. Adalah suatu kegiatan pra pernikahan adat yang bersifat seremonial yang mutlak diselenggarakan oleh penyelenggara pernikahan adat yang bertujuan untuk :
a) Mempersiapkan kepentingan pernikahan adat yang bersifat teknis dan non teknis.
b) Pemberitahuan pada masyarakat bahwa pada waktu yang telah ditentukan ada pernikahan adat pernikahan dan berkenaan dengan itu agar pihak lain tidak mengadakan pernikahan adat dalam waktu yang bersamaan.
c) Memohon izin pada masyarakat sekitar terutama dongan sahuta atau penggunaan fasilitas umum pada pesta yang telah direncanakan.
7.        Manjalo Pasu-pasu Parbagason (Pemberkatan Pernikahan). Pengesahan pernikahan adat kedua mempelai menurut tatacara gereja (pemberkatan pernikahan oleh pejabat gereja). Setelah pemberkatan pernikahan selesai maka kedua mempelai sudah sah sebagai suami-istri menurut gereja. Setelah selesai seluruh acara pamasu-masuon, kedua belah pihak yang turut serta dalam acara pamasu-masuon maupun yang tidak pergi menuju tempat kediaman orang tua/kerabat orang tua wanita untuk mengadakan pesta unjuk. Pesta unjuk oleh kerabat pria disebut Pesta Mangalap parumaen (baca : parmaen).
8.  Pesta Unjuk. Suatu acara perayaan yang bersifat sukacita atas pernikahan adat putra dan putri. Ciri pesta sukacita ialah berbagi jambar : Jambar yang dibagi-bagikan untuk kerabat parboru adalah jambar juhut (daging) dan jambar uang (tuhor ni boru) dibagi menurut peraturan. Jambar yang dibagi-bagikan bagi kerabat paranak adalah dengke (baca: dekke) dan ulos yang dibagi menurut peraturan. Pesta Unjuk ini diakhiri dengan membawa pulang pengantin ke rumah paranak.
9.  Mangihut di ampang (dialap jual). Yaitu mempelai wanita dibawa ke tempat mempelai pria yang dielu-elukan kerabat pria dengan mengiringi jual berisi makanan bertutup ulos yang disediakan oleh pihak kerabat pria.
10. Ditaruhon Jual. Jika pesta untuk pernikahan itu dilakukan di rumah mempelai pria, maka mempelai wanita dibolehkan pulang ke tempat orang tuanya untuk kemudian diantar lagi oleh para namborunya ke tempat namborunya. Dalam hal ini paranak wajib memberikan upa manaru (upah mengantar), sedang dalam dialap jual upa manaru tidak dikenal.
11.    Paranak makan bersama di tempat kediaman si Pria (Daulat ni si Panganon). Setibanya pengantin wanita beserta rombongan di rumah pengantin pria, maka diadakanlah acara makan bersama dengan seluruh undangan yang masih berkenan ikut ke rumah pengantin pria. Makanan yang dimakan adalah makanan yang dibawa oleh pihak parboru.
12.    Paulak Unea. Setelah satu, tiga, lima atau tujuh hari si wanita tinggal bersama dengan suaminya, maka paranak, minimum pengantin pria bersama istrinya pergi ke rumah mertuanya untuk menyatakan terima kasih atas berjalannya acara pernikahan dengan baik, terutama keadaan baik pengantin wanita pada masa gadisnya (acara ini lebih bersifat aspek hukum berkaitan dengan kesucian si wanita sampai ia masuk di dalam pernikahan). Setelah selesai acara paulak une, paranak kembali ke kampung halamannya/rumahnya dan selanjutnya memulai hidup baru. Seluruh pasangan dalam penelitian ini tidak lagi menjalankan adat istiadat ini. Hal ini dikarenakan mereka menggangap prosesi ini tidak lagi menjadi hal yang penting dalam prosesi.
13.    Manjahea. Setelah beberapa lama pengantin pria dan wanita menjalani hidup berumah tangga (kalau pria tersebut bukan anak bungsu), maka ia akan dipajae, yaitu dipisah rumah (tempat tinggal) dan mata pencarian. Seluruh pasangan dalam penelitian ini tidak lagi menjalankan adat istiadat ini. Hal ini dikarenakan mereka menggangap prosesi ini tidak lagi menjadi hal yang penting dalam prosesi. Karena rata-rata jika sudah menikah mereka memang hidup terpisah dari orangtua masing-masing.
14.    Maningkir Tangga (baca : manikkir tangga). Beberapa lama setelah pengantin pria dan wanita berumah tangga terutama setelah berdiri sendiri (rumah dan mata pencariannya telah dipisah dari orang tua si laki-laki) maka datanglah berkunjung parboru kepada paranak dengan maksud maningkir tangga (yang dimaksud dengan tangga disini adalah rumah tangga pengantin baru). Dalam kunjungan ini parboru juga membawa makanan (nasi dan lauk pauk, dengke sitio tio dan dengke simundur-mundur). Dengan selesainya kunjungan maningkir tangga ini maka selesailah rangkaian pernikahan adat na gok. Seluruh pasangan dalam penelitian ini tidak lagi menjalankan adat istiadat ini. Hal ini dikarenakan mereka menggangap prosesi ini tidak lagi menjadi hal yang penting dalam prosesi. Padahal dalam prosesi pernikahan adat Batak seharusnya prosesi ini menjadi prosesi adat yang terakhir.
Konsumerisme merupakan perilaku etnik Batak Toba dalam upacara perkawinan yang mengkonsumsi secara berlebihan atau tidak sepantasnya dari sudut kuantitas dan kualitas, baik berbentuk materi ataupun non materi. Konsumerisme dalam bentuk materi terjadi dalam hal: (1). Jumlah mahar atau sinamot yang tinggi; (2). Tempat pelaksanaan pesta perkawinan di gedung yang mewah; (3). Mengundang banyak orang; (4). Menggunakan perlengkapan mewah.
Selain konsumerisme dalam bentuk materi, pelaksanaan upacara Batak Toba di Kota Denpasar juga terjadi konsumerisme non materi. Hal ini dapat diamati dari: (1). Pola pikir yang ingin cepat; (2). Tindakan yang ingin cepat; (3). Pekerjaan yang diukur berdasarkan untung rugi; (4). Meniru perilaku orang lain di luar budayanya tanpa mengerti makna dari perilaku tersebut: (5). Menggunakan tahapan-tahapan yang panjang.
Gaya hidup konsumerisme merupakan gaya hidup yang didorong oleh logika hasrat dan keinginan ketimbang logika kebutuhan. Budaya konsumerisme sangat berhubungan dengan lingkungan urban, karena di perkotaan ruang untuk konsumsi itu sangat mendukung. Di dalam gaya hidup konsumerisme, objek-objek dikonsumsi sebagai medium untuk menyatakan identitas diri, status, simbol sebagai logika tanda (Piliang, 2011: 238). Dalam upacara perkawinan Batak Toba objek dan tanda banyak dikonsumsi demi menunjukkan identitasnya.Konsumerisme dapat terjadi dari segi kuantitas (jumlah yang dikonsumsi melebihi kebutuhan) dan juga kualitas (kualitas tertentu).Teori konsumerisme digunakan untuk menganalisis bentuk konsumerisme dalam upacara perkawinan Batak Toba yang terjadi di Kota Medan.


BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari setiap proses penelitian dan penyusunan laporan penelitian kami ini maka kami mengambil kesimpulan atas topik yang sedang kami bahas yakni:
1.    Dalihan Na Tolu tidak bisa dipisahkan dari kehidupan sosial masyarakat Batak Toba. Dalihan Na Tolu sebagai warisan kebudayaan dari generasi terdahulu pencipta kebudayaan telah menjelma sebagai nilai budaya bagi generasi Batak Toba yang ada pada generasi sekarang ini. Setiap tindak tanduk masyarakat Batak Toba telah diatur secara mendasar dalam falsafah Dalihan Na Tolu  yang mengatakan somba marhula-hula, manat mardongan tubu, elek marboru. Hal ini merupakan uhum (hukum) dasar dalam kehidupan sosial masyarakat Batak Toba. Dalihan Na Tolu tidak hanya dipandang sebagai satu struktur yang menjelaskan posisi dan tanggung jawab seseorang dalam acara adat namun menjadi landasan bagi masyarakat, bagaimana berfikir, bertingkahlaku dan berbicara dengan manusia sekitarnya sehingga dapat tercipta kehidupan yang harmonis bagi seluruh lapisan masyarakat.
2.    Adapun susunan acara yang akan dilalui dan dijalani oleh setiap anggota suku Batak Toba ketika menikah adalah: Mangarasika, Marhori-hori dinding/ marhusip, Marhata Sinamot, Pudun Sauta, Martumpol, Martonggo Raja atau Maria Raja, Manjalo Pasu-pasu Parbagason, Pesta unjuk, Mangihut ampang, Ditaruhon jual, Daulat ni si Panganon, Paulak Unea, Manjahea dan yang terakhir Maningkir Tangga.

B. Saran

            Saran kelompok kami melalui penelitian ini adalah:
1. perlu dijaga dan disosialisasikan istilah-istilah dalam acara adat Batak Toba kepada generasi muda. Hal ini untuk menghindari adanya salah pengertian dalam masyarakat untuk masa yang akan datang. Terkadang dalam satu kasus ada beberapa istilah adat Batak Toba yang ditumpang tindih sehingga memungkinkan terjadinya salah pengertian. Tokoh-tokoh adat yang diakui oleh para warga setempat haruslah mampu mengatur setiap prosesi pernikahan yang dilaksanakan oleh para kaum muda atau generasi muda saat ini agar kiranya tetap sejalan dan tidak menhilangkan makna dari setiap prosesi yang mereka jalankan, dan agar diberikan pemahaman penuh agar jangan sampai pengaruh modernisasi yang mendominasi setiap acara pernikahan namun nilai budayanya harus tetap ada karena kalau tidak kita yang melestarikan budaya kita maka budaya kita akan memudar dan hilang.
2. Pemahaman terhadap Dalihan Na Tolu harus tetap dipertahankan dengan cara selalu disosialisasikan kepada generasi muda. Paham akan nilai-nilai yang terkandung dalam Dalihan Na Tolu akan menuntun masyarakat Batak Toba untuk hidup sesuai dengn aturan dan terciptanya interaksi sosial yang harmonis. Generasi akan paham bagaimana seharusnya ia akan bersikap kepada hula-hulanya, dongan tubunya, dan kepada ito (borunya) dalam kehidupan sekarang hingga kehidupannya di masa mendatang. Dengan memahami nilai yang terkandung dalam Dalihan Na Tolu, kelak seseorang akan mengetahui peran dan tanggung jawabnya dalam adat maupun dalam interaksi sosial lain masyarakat sehingga dapat dipertahankan generasi yang maradat (memahami sopan santun).



DAFTAR PUSTAKA

Referensi Buku:
Barker, C. (2004). Cultural Studie Teori dan praktik. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Bungin, B. (2001). Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Koentjaraningrat. (1993:85). Kebudayaan, metode dan Peran Budaya. Jakarta: PT              Gramedia Pustaka Utama.
Lilieni, A. (2007). Dasar-dasar Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nainggolan, T. (2012). Batak Toba Sejarah dan Transformasi Religi. Medan: Bina Media Perintis.
Piliang, Y. (2011). Tamasya melalui Batas-batas Budaya. Bandung: Matahari.
Rahardjo, S. (1986). Ilmu Hukum. Semarang: Alumni Bandung.
Satyananda, I. M. (2013). Kearifan Lokal. Bandung: Ombak.
Simajuntak, B. A. (2011). Pemikiran tentang Batak. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Soekanto, S. (1981). Hukum Adat Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Subekti. (1987). Hukum Perjanjian. Jakarta: PT Intermasa.

Referensi Jurnal:
Elqorni, A. (2008). Budaya Sumatera Suku Batak. Dalam Jurnal Antropologi.
Hendra. (2013). Studi atas Posisi Totua Ngata sebagai Lembaga Adat. Dalam Jurnal Antropologi Indonesia Vol. 34 No. 1 , 5-6.
Isnaini, E. (2012). Kedudukan Anak Karena Kawin Hamil Menurut Hukum Perdata. Dalam  jurnal Independent Volume 2 , 11.
Manik, H. S. (2012). Makna dan Fungsi Tradisi Sinamot dalam Adat Perkawinan. Dalam Jurnal Bio kultur vol. I No.1 , 19.
Mulyana, D. (1996). Komunikasi Budaya. Jurnal Sisiologi , 35.
Pakpahan, F. B. (2013). Fungsi Komunikasi Antar Budaya Dalam Prosesi Pernikahan Adat Batak. Dalam  eJournal Ilmu Komunikasi , 7-8.
Pardosi, J. (2008). Makna Simbolik Umpasa, Sinamot, Dan Ulos Pada Adat.  Dalam Jurnal Ilmiah Bahasa Dan Sastra Volume IV No. 2 , 3.
Purba, M. (2005). From Conflict to Reconciliation: The Case of the Gondang Sabangunan in the Order of Disciplin of the Toba Batak Protestant Church.” dalam  Journal of South East Asian Studies. Journal of Musicological Research Vol. 36. Number 2 .
Purba, M. (2002). Gondang Sabangunan Ensamble Music of the Batak Toba People: Musical Instrumens, Structure, and Terminology. Dalam  Journal of Musicological Research. Vol. 21 Numbers 1-2 , 13.
Rahayu, K. (2012). Arti Penting Folklor dan Traditional Knowledge Bagi Indonesia Sebagai “The Country of Origin.”. Dalam Jurnal Universitas Pancasakti Tegal. Vol. 5. Nomor 8 .
RAMSIS. (2015). Perubahan Proses Perkawinan Masyarakat. Dalam eJournal Sosiatri - Sosiologi Volume 3, Nomor 2 , 3.
Simangunsong, E. (2013:34). Perubahan dan Kesinambungan Tradisi Gondang dan Tortor dalam Pesta Adat Perkawinan pada Masyarakat Batak Toba di Medan.  Dalam Jurnal Musikologi. Vol. 21. Nomor 2 .
Simanungkalit, D. A. (2011). Deskripsi Kebudayaan Batak Toba Sebagai Latar Belakang Budaya Para Anggota Marsada Band.  Dalam Jurnal Musikologi. Vol. 21. No. 2 .
Soemali. (2011). Perkawinan Adat Sumbawa Dan Permasalahan Hak. Dalam Jurnal Fakultas Hukum Volume Xx, No. 20 , 3.
Udjiwati, L. (2010). Judicial Review Abaut Procedures Of Religion. Dalam  Jurnal Media Soerjo Vol. 6 No. 1 , 4-5.
Yusrina. (2003). Dalihan Na Tolu Di Rantau: Kajian Perubahan Dan Rekonstruksi Nilai- Nilai Dalihan Na Tolu Pada Generasi Muda Ikatan Batak Muslim (Ikabamus) Lampung. Dalam Jurnal Sociologie, Vol. 1, No. 4 , 290-298.

1 komentar:

  1. HIS Graha Elnusa Hubungi : 0822 – 9914 – 4728 (Rizky)
    Menikah adalah tujuan dan impian Semua orang, Melalui HIS Graha Elnusa Wedding Package , anda bisa mendapatkan paket lengkap mulai dari fasilitas gedung full ac, full carpet, dan lampu chandeliar yg cantik, catering dengan vendor yang berpengalaman, dekorasi, rias busana, musik entertainment, dan photoghraphy serta videography. Kenyaman dan kemewahan yang anda dapat adalah tujuan utama kami.

    BalasHapus