BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Perkawinan
menurut adat adalah sebuah bagian penting yang kini telah melekat bagi setiap
lapisan masyarakat di Indonesia tanpa terkecuali suku Batak Toba. Dalam
pencapaian adat pernikahan sesuai dengan adat yang sebenarnya adalah hal yang
sudah sangat jarang ditemukan di daerah perantauan. Kini suku batak toba yang
berada di daerah perantauan melaksanakan pernikahan sesuai dengan adat batak di
kampung halamannya namun juga telah di tambah dengan adat atau kebiasaan orang
sekitar tempat dia tinggal, dan juga telah mengadopsi sebagian kebiasaan orang
barat atau Eropa.
Masyarakat
Batak merupakan salah satu kelompok etnis yang masih kuat mempertahankan
tradisi ritual adat dalam berbagai tahapan peristiwa, termasuk dalam peristiwa
pernikahan. Dalam menjalankan ritual adat, masyarakat batak tidak hanya
melibatkan pihak keluarga dekat namun juga seluruh kerabat yang bersangkutan.
Oleh sebab itu, ritual adat pada upacara pernikahan suku batak toba membutuhkan
ruang dengan penataan khusus agar dapat berlangsung dengan baik. Yang menarik,
banyaknya masyarakat batak yang mulai berpindah ke kota-kota besar ternyata
tidak menjadi penghambat mereka untuk tetap mempertahankan tradisi. Di Medan,
saat ini terdapat lebih dari sepuluh gedung yang ditata khusus untuk ritual adat
pernikahan suku Batak.
Dalam peraturan perundang-undangan tidak
ada tercantum tentang pengaturan adat istiadat, hal ini karena pemerintah saat
ini masih sangat menjungjung tinggi dan mengakui adat istiadat yang sudah ada
sejak jaman nenek moyang kita dulu. Pada prinsipnya adat berakar pada religi
purba. Karena itu, adat bersifat sakral. Dia datang dari Debata yang kemudian
diturunkan kepada nenek moyang. Adat bagi orang-orang Indonesia adalah jalannya
dunia yang tidak bisa tidak harus demikian, yang bersifat mutlak yaitu jalannya
dunia itu sendiri-seperti yang diatur dan dipelihara oleh nenek moyang,
sehingga setiap orang yang bermaksud mengadakan perubahan-perubahan, melibatkan
diri dalam suatupertentangan dengan para nenek moyang.
Orang
yang semarga adalah satu keluarga sebab mereka datang dari satu perut, untuk
menjamin kelangsungan marga ini, orang batak toba mengadakan hubungan affinitas, dengan perkawinan asimetri.
Ini menghasilkan suatu istilah yang disebut dalihan
na tolu. Namun dengan semakin berkembangnya jaman banyak suku Batak Toba yang
lupa akan semua hal ini bahkan mereka sudah ada yang menikah dengan teman
semarga yang dimana hal itu sudah dilarang sejak dahulu, tapi inilah akibatnya
mereka melakukan hal itu adalah karena tidak paham akan budaya yang sebenarnya.
Dalam perkawinan adat Batak Toba pada adat yang sebenarnya memiliki susunan
acara ataupun adat yang sangat panjang dan rumit, tapi kini apabila kita
melihat adat perkawinan di daerah perantauan ini semuanya telah di kemas secara
singkat dan seefisien mungkin mereka
memakai waktu untuk acara pernikahan. Dan kebiasaan dulu dan sekarang ada yang
tetap sama yakni apabila seorang perempuan telah menikah maka ia di harapkan
oleh pihak laki-laki agar segera melahirkan anak laki-laki guna meneruskan
garis keturunan, dan apabila seperempuan hanya memiliki anak perempuan saja
atau bahkan tidak memiliki anak maka akan muncul dalam hatinya sendiri rasa
terkucilkan dalam adat.
Perbedaan
pelaksanan adat Batak Toba oleh nenek moyang terdahulu dengan orang Batak Toba di
era modernisasi ini juga tampak dalam hal perceraian, karena pada adat jaman
dahulu sangatlah sulit kita menemukan orang yang telah menikah dapat bercerai.
Namun, kini setelah kedua belah pihak menikah dan menemukan ada masalah kecil
maka mereka tidak merasa susah untuk mengajukan diri untuk melakukan
perceraian. Apakah tindakan ini muncul dari pihak laki-laki atau pun pihak
perempuan ini sama saja.
Kedudukan
suami-istri dalam budaya Batak Toba yakni suami sebagai pemimpin rumah tangga. Namun,
dalam mengurus anak dan keluarga maka itu sudahlah menjadi tanggungan bersama
dan hal ini telah berbeda dalam implementasinya. Apabila suami-istri telah
menikah dan memiliki anak maka yang lebih banyak berperan dan bertanggung jawab
adalah ibu atau istri, bahkan ada ayah atau suami yang sama sekali tidak peduli
dengan anak-anak yang di karuniakan Tuhan untuk mereka besarkan dengan
bersama-sama.
Kehidupan
adalah suatu proses dalam menjalani beberapa tahapan peristiwa, dimulai dengan
peristiwa kelahiran dan diakhiri dengan peristiwa kematian. Setiap peristiwa
biasanya membutuhkan proses perayaan yang dikenal dengan istilah upacara.
Upacara menjadi bagian yang dianggap penting dalam perkembangan kehidupan
manusia dari suatu keadaan menuju keadaan yang lain. Upacara pernikahan pada umumnya akan dijumpai
dalam kehidupan orang yang berlainan jenis, yakni kehidupan bersama guna
mewujudkan rumah tangga sebagai suami-istri, demi meneruskan keturunan.
Pelaksanaan upacara pernikahan biasanya harus berdasarkan kesepakatan antara
kedua belah pihak yang ingin membina rumah tangga baru. Bukan hanya antara
keduanya, tetapi juga akan melibatkan keluarga dari keduanya.
Pernikahan
adalah salah satu peristiwa penting, walaupun tidak menjadi suatu keharusan
bagi setiap individu. Pernikahan bagi masyarakat yang berbudaya tidak hanya
sekedar meneruskan naluri para leluhur secara terus-menerus untuk membentuk
suatu keluarga dalam ikatan resmi antara laki-laki dan perempuan. tetapi juga,
memiliki arti yang sangat luas bagi kepentingan manusia itu sendiri serta
lingkungannya. Upacara pernikahan beragam dan bervariasi, antar bangsa, suku
satu dengan yang lain dalam suatu bangsa, agama, budaya, maupun kelas sosial.
Namun, pengesahan secara hukum suatu pernikahan hanya akan terjadi ketika
dokumentasi tertulis yang mencatat pernikahan ditandatangani. Undang-undang
pernikahan Indonesia tahun 1974 menyebutkan bahwa pernikahan adalah ikatan
lahir dan batin seorang laki-laki dan perempuan sebagai suami-istri dan dengan
tujuan membentuk keluarga dan rumahtangga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Adat
dan upacara pernikahan pada dasarnya akan tetap ada dalam masyarakat berbudaya,
walau dalam batas ruang dan waktu akan senantiasa mengalami perubahan. Akan
tetapi, perubahan tersebut akan selalu menjadi unsur budaya yang dihayati
terus-menerus, karena adat dan upacara pernikahan mengatur dan mengukuhkan
suatu bentuk hubungan antar manusia yang berlainan jenis dalam masyarakat.
Pernikahan
adat memiliki tata cara yang telah ada dan disepakati dalam masyarakat. Tata
cara yang telah disepakati tentu memiliki makna dan nilai-nilai tertentu sesuai
dengan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Pernikahan adat dalam
masyarakat Batak Toba adalah salah satu mata rantai kehidupan yang tata
pelaksanaannya melalui hukum-hukum adat yang sudah melekat dari dulu hingga
saat ini dan hal tersebut berasal dari para leluhur masyarakat Batak Toba.
Pernikahan adat Batak Toba mengandung nilai sakral, yang disertai dengan
perlengkapannya. Kesakralan pernikahan adat Batak Toba terlihat ketika adanya
pengorbanan bagi parboru (pihak
mempelai perempuan), karena pihak mempelai perempuan berkorban memberikan satu
nyawa manusia yakni anak perempuannya kepada pihak paranak (pihak mempelai laki-laki). Balasannya, kemudian pihak
laki-laki juga harus menghargai besannya dengan mengorbankan atau
mempersembahkan satu nyawa juga yakni seekor hewan (sapi atau kerbau), yang
nantinya akan dijadikan santapan (makan adat) dalam adat pernikahan tersebut. Bukti
bahwa makanan tersebut adalah hewan yang dikorbankan utuh, maka pihak laki-laki
harus menyerahkan bagian-bagian tertentu dari hewan tersebut (kepala, leher,
rusuk melingkar, pangkal paha, bagian bokong dengan ekor yang masih melekat,
hati dan jantung.
Masyarakat
Batak Toba sekarang ini banyak sekali melangsungkan pernikahan tanpa adanya
Upacara adat atau yang disebut dengan pernikahan adat dan otomatis pengantin
tidak akan melangsungkan salah satu bagian dari upacara adat yakni mangulosi. Akibatnya, banyak pasangan
suami istri yang sudah sah secara kenegaraan bahkan gereja, tidak bisa
mengikuti acara adat dalam lingkungan bermasyarakat karena dianggap belum beradat. Hal inilah yang membuat
penulis untuk mencoba mencari tahu apa makna di balik mangulosi sehingga dianggap penting bagi masyarakat Batak Toba.
Mangulosi
sebagai salah satu prosesi dalam adat pernikahan Batak Toba memiliki ketentuan
dan keunikan tersendiri. Keunikan ketentuan mangulosi
serta ulos pada saat upacara
pernikahan Adat Batak Toba bukan hanya dilihat dari satu dimensi saja, tetapi
dapat dilihat dari berbagai dimensi, sebab didalamnya sarat akan makna.
Nilai-nilai dan makna yang terkandung dalam mangulosi
yang selalu dipertahankan sejak dulu sampai sekarang.
Proposal
ini akan membangkitkan kebanggaan nasional masyarakat termasuk generasi muda di
daerah Batak Toba khusus, dan Indonesia secara umum, terhadap kebudayaan
sendiri.
B. Identifikasi Masalah
Sesuai
dengan latar belakang masalah yang dikemukakan, maka yang menjadi identifikasi
masalah dalam penelitian ini adalah faktor-faktor penyebab mulai memudarnya
adat pernikahan budaya Batak Toba bagi masyarakat Batak Toba di era modernisasi
ini dan cara menjaga adat perkawinan yang sebenarnya sesuai dengan adat Batak
Toba.
C. Pembatasan Masalah
Kelompok
etnis batak terdiri dari beberapa sub-suku yang berdiam di beberapa wilayah,
yaitu suku Alas, Karo, Toba, Pakpak, Dairi, Simalungun, Angkola, dan
Mandailing. Pada Proposal ini, penulis membahas mengenai upacara pesta unjuk
(pesta adat) yang menjadi inti dari seluruh rangkaian acara Batak Toba. Studi
kasus yang penulis pilih adalah pesta adat yang berlangsung di Wisma Mahinna,
Jalan Rela, Deli Serdang, Medan pada bulan September 2016.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan
masalah, maka dalam penelitian ini dirumuskan masalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana faktor-faktor yang
mempengaruhi inplementasi adat perkawinan Batak Toba bagi suku Batak Toba di
kota Medan?
2.
Bagaimana cara menjaga adat perkawinan
yang sebenarnya sesuai adat Batak Toba?
E. Tujuan Penelitian
Sesuai
dengan perumusan masalah maka tujuan penelitian yang hendak di capai dalam
penelitian ini adalah:
1.
Untuk memahami faktor-faktor yang
mempengaruhi implementasi adat perkawinan Batak Toba bagi suku Batak Toba di
kota Medan.
2.
Untuk mengetahui cara menjaga adat
perkawinan yang sebenarnya sesuai adat Batak Toba.
F. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang
diharapkan dalam penelitian ini adalah:
1.
Sebagai bahan bacaan untuk masyarakat
agar paham tentang adat perkawinan Batak Toba yang sebenarnya.
2.
Menambah wawasan mahasiswa tentang adat
perkawinan Batak Toba, terutama bagi mahasiswa PPKN non reg 2015.
3.
Sebagai bahan perbandingan bagi peneliti
lainnya yang ingin meneliti dengan bahan kajian yang sama di tempat yang
berbeda.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A.Kerangka Konseptual
1. Adat dan
Pesta Adat
Mengingat
adat (berasal dari Bahasa Melayu) dan tradisi (berasal dari Bahasa Inggris) mengandung
pengertian sebagai kebiasaan yang bersifat magis religius dari kehidupan suatu
penduduk asli, yang meliputi nilai-nilai budaya, norma-norma hukum dan aturan
yang saling berkaitan dan kemudian menjadi suatu sistem atau peraturan
tradisional. (Elqorni, 2008:40) Sistem pengetahuan teknologi tradisional
yang merupakan refleksi nilai-nilai budaya masyarakat jangan dipahami sebagai
suatu hal yang tuntas dan sempurna. Dengan kata lain budaya tradisional dan
lokal itu bersifat dinamis dan terus sejalan dengan tuntutan kebutuhan manusia
yang semakin beragam. (Satyananda, 2013:10)
Dalam tradisi Batak, anggota dalam
kelompok marga memiliki ikatan hubungan sedarah. Berdasarkan sosiologis,
hubungan kekerabatan muncul dari perpaduan kelompok marga atau karena
pernikahan. Bagi masyarakat batak, bagian terpenting dalam hubungan sosial
adalah keluarga besar dari tiga sampai empat generasi sebelumnya. Sedangkan,
bagian kecilnya adalah keluarga yakni terdiri atas ayah, ibu dan anak. Hubungan
kekerabatan masyarakat suku batak toba memiliki peranan penting dalam setiap
peristiwa termasuk peristiwa pernikahan. Setiap ritual adat tidak lepas dari
peran individu sesuai dengan hubungan kekerabatan.
Dalam hal berbahasa atau berkomunikasi
pasangan berbeda etnis pasti memiliki hambatan karena ketidakpahaman antar
bahasa daerah masing-masing. Dan hal tersebut juga berdampak bagi pasangan
berbeda etnis yang akan menikah disaat pertemuan antar keluarga dari
masing-masing etnis. Bahasa daerah yang tidak begitu dipahami oleh pasangan
mengakibatkan kurangnya tingkat partisipasi pasangan dalam mengikuti kegiatan
prosesi pernikahan yang diadakan. Dan hal ini akan menimbulkan rasa kurang
percaya diri, minder dan merasa kurang bisa berbaur yang nantinya akan membuat
pasangan cenderung menghindar dan tidak ingin mengikuti acara tersebut. (Bungin, 2001:123)
Di era globalisasi upacara perkawinan
Batak Toba mengalami banyak pergeseran. Sebelum globalisasi upacara perkawinan
merupakan hal yang sakral, tetapi akibat globalisasi kesakralan itu semakin
memudar. Pada kehidupan tradisional masyarakat membuat tahapan-tahapan yang
harus dilewati setiap orang. Upacara tersebut sebagai legitimasi untuk memasuki
tahap baru. Tahapan-tahapan itu harus secara berurutan dan diperankan orang
tertentu, namun di era globalisasi tahapan itu sudah bisa diubah dan pemerannya
dapat dipertukarkan bahkan diperankan oleh orang lain yang mendapat bayaran.
Menurut Piliang (2011:13) akibat globalisasi segala macam citraan dapat dilihat
setiap orang, rahasia pribadi menjadi milik umum, segala perbuatan dapat
dilakukan semua orang sehingga upacara-upacara menjadi kehilangan makna
sosiologisnya. Marga adalah identitas, selama kita mementingkan
identitas berarti kita menjaga agar tetap menggunakan marga.
Secara
adat, menikah satu marga diperbolehkan dengan catatan sudah melewati keturunan
ketujuh. Tentang setelah 7 turunan, hal ini sesuai dengan ilmu biologi, di mana
makluk hidup setelah keturunan ke-7 ini tidak membawa gen yang sama dengan
nenek moyangnya. Kalau kawin silang pada hewan secara teliti, misalnya yang
sering dilakukan pada burung, burung setelah keturunan ketujuh, merupakan jenis
yang baru dan bila dikawinkan dengan sejenis maka sifat dan penampilannya sama. Perkawinan dengan hubungan
keturunan yang jauh akan mengasilkan keturunan yang unggul secara biologi. (Simangunsong,
2013:34)
Etnis Batak adalah etnis yang besar dan
tersebar luas di Indonesia dan juga dunia. Saat di perantauan, etnis Batak
memiliki kebudayaan yang dibentuk di perantauan yang bertujuan untuk mempererat
tali persaudaraan antar Marga diperantauan seperti arisan keluarga atau marga
etnis Batak, kebaktian atau ibadah keluarga dari marga etnis Batak yang
diadakan setiap satu minggu sekali. Tersebarnya etnis Batak di seluruh dunia
ini membuat beberapa etnis Batak mendapatkan pasangan hidup diluar etnis Batak
seperti Dayak, Toraja, dan Jawa. Untuk menjaga adat istiadat yang dikembangkan
turun temurun tersebut diperantauan, salah satu upacara adat yang harus
dilakukan sebelum menikah adalah proses pemberian Marga untuk etnis lain yang
menikah dengan etnis Batak sehingga orang tersebut memiliki marga dan diangkat sebagai orang Batak. (Koentjaraningrat, 1993:5)
Lembaga adat terbentuk setelah terlebih
dahulu terbentuk masyarakat adatnya. Masyarakat adat itu sendiri terdiri dari
individu-individu yang menggunakan sebuah bahasa yang sama dan kemudian
terbalut dalam kepentingan yang sama. Komunitas-komunitas masyarakat adat di
Sulawesi Tengah bukanlah entitas yang terisolasi dan tidak pernah berubah,
tetapi telah mengalami perubahan sedemikian rupa sejarah mereka yang panjang dalam
migrasi, peralihan agama, dominasi politik oleh kekuatan politik di luar
mereka, dan terintegrasi ke dalam ekonomi pasar. Komunitas semacam ini yang
dianggap sebagai masyarakat adat harus dipahami sebagai entitas yang kompleks
dan dinamis. (Hendra, 2013:5-6)
Manusia sebagai makhluk sosial memerlukan
hidup bermasyarakat. Manusia yang hidup menyendiri akan kehilangan sifatnya
sebagai manusia yang normal. Hidup bermasyarakat itu melahirkan kebiasaan
dikalangan anggota dari masyarakat itu dan kebiasaan berjalan turun temurun
dari dahulu sampai sekarang, adat kebiasaan ataupun kebiasaan yang sudah di
adatkan. Sesuai dengan perumpaan suku batak, “tuatma nadolok, martungkot siala gundi, napinungka ni nadijolo,
ihuthonon ni na dipudi.”
Suatu
keluarga suku batak bila melaksanakan suatu adat kebiasaan seperti: haroan, pamuli boru, pangolihon anak,
mangoppoi jabu naimbaru, mangokkal holi, mamestahon tambak ni oppu, dan yang
lain, tidaklah diselesaikan sendiri tetapi harus musyawarahkan
pelaksanaannya dengan kaum keluarga terdekat, ataupun dengan anggota sekampung.
Biasanya pelaksanaannya harus di barengi dengan pesta, jumlah orang yang
diundang dan diharapkan hadir pada pesta itu disesuaikan pada jenis pesta. (Simajuntak,
2011:275)
2. Jenis Adat
dan Sanksinya
Adat
ataupun hukum adat walaupun tidak tertulis sudah merupakan aturan yang mengatur
cara hidup manusia, yang takhluk kepada adat ataupun hukum adat tersebut. Bila
suatu keluarga ingin mengawinkan anak laki-laki ataupun perempuan (pamuliho boru manang pangolihon anak)
atau sewaktu panangkokhon saringni
natuatua tu tambak na tumimbo, bagaimanapun kejadian serupa itu haruslah
disertai pesta adat. Dalam hal siboru, ataupun sianak mangalua pesta adatnya
seperti manuruk-nuruk, pasahathon
sulang-sulang ni pahompu,pelaksanaan pesta dapat di adakan di
kemudian.
Masyarakat pada umumnya berpendapat
bahwa sudah selayaknya diberikan sanksi bagi mereka yang tidak mengadakan pesta
adat, namun konkretnya sanksi tersebut tidak dilakukan. Tetapi ada juga sanksi
yang lebih hebat lagi pengaruh dari sanksi yang konkret tadi, yaitu bahwa
keluarga yang bersangkuta dianggap tidak beradat. Dalam pelanggaran yang berat,
seperti perkawinan semarga, umpamanya musyawarah pengetua adat dapat
mengucilkan mereka yang melakukan pelanggaran itu dari lingkungan adat. (Simajuntak, 2011:126)
Hukuman serupa ini bagi manusia
lebih berat, karena hukuman itu berlaku seumur hidup dan juga turun temurun.
Identifikasi “anak ni naso maradat” atau “
turunan ni naso maradat” merupakan penghnaan yang sangat berat oleh karena
itu serupa ini selalu dijauhi oleh masyarakat.
(Simanungkalit, 2011:39)
Karena
suku Batak yang ada di perantauan banyak melakukan interaksi dengan suku lain
sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa dengan perkembangan teknologi dan
informasi serta adanya internalisasi antar etnik seperti asimilasi yang
ditandai dengan adanya usaha-usaha mengurangi perbedaan-perbedaan yang terdapat
antara orang-perorangan atau kelompok-kelompok manusia dan juga meliputi
usaha-usaha untuk mempertinggi kesatuan, sikap dan proses-proses mental dengan
memperhatikan kepentingan-kepentingan dan tujuan-tujuan bersama. (Yusrina, 2003:123)
4.Dahlihan Na tolu
Pihak hula-hula tidak boleh diremehkan, apabila pihak boru
kurang hormat terhadap hula-hula, maka pihak hula-hula tidak
akan menghadiri kegiatan adat yang dilakukan. Jika salah satu unsur dari dalihan
na tolu tidak ada, maka adat istiadat yang dilakukan itu akan timpang
(kurang sempurna). Oleh karena itu setiap keluarga Batak Toba selalu menjaga
hubungan yang baik di dalam dalihan na tolu). Upacara perkawinan
merupakan salah satu unsur dari adat-istiadat Batak Toba yang harus ditempuh
setiap keluarga. Upacara perkawinan menjadi hal yang sangat perlu dilakukan
karena setiap orang untuk boleh masuk menjadi anggota dalihan na tolu harus
lebih dahulu melakukan upacara perkawinan. Upacara perkawinan merupakan pintu
atau jembatan untuk memasuki dalihan na tolu (Siahaan, 1982: 52-58).
5. Pesta Adat Dahulu Dan Sekarang
Pelaksanaan pesta dahulu umpanya pangolihon anak, pada langkah pertama
diadakan tonggo raja guna
membicarakan pelaksanaan pesta unjuk tersebut. Tonggo raja itu biasanya
diadakan di partukoan yaitu di harbangan ni huta, dibawah pohon
beringin yang rindang. Pokok pembicaraan pada pertemuan tersebut adalah:
a.
Manjujur ari
untuk “mata ni pesta” itu, dan yang
dianggap penting karena penentuan hari yang kurang tepat dapat menimbulkan bala
kepada pasangan yang akan mengadakan perkawinan itu.
b.
Menetukan parjuhut hewan sembeliahan dari pesta
unjuk tersebut . hal ini perlu pembahasan terlebih dahulu dikalangan raja adat
oleh karena parjuhut tersebut harus sesuai dengan status yang melaksakan adat
tersebut yang paling menentukan dalam penentuan status sosial itu terutama hagabeon kemudian hadumaon, atau hamoraon.
Orang yang sudah sejak lama terkenal maduma,
tentu mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada naboru mamora. Rakyat jelata dari lapisan miskin atau bawah
biasanya mengambil namarmiak-miak
sebagai parjuhut pestanya, yang baru maduma, mengambil lombu sitio-tio dan keluarga nagabe jala maduma mengambil gajah toba. Jadi tidak sembarangan
keluarga yang mengambil sigagat duhut
ataupun harga sebagai parjuhut dari
pestanya, sebagaimana sekarang ini. Pelanggaran yang disengaja dalam hal ini
dapat dianggap sebagai kecongkakan dan akan menimbulkan rasa antisipasi dari
masyarakat terhadap keluarga yang mempunyai hajat
atau hasuhuton.
c. Menentukan
jumlah pinggan panganan yang
diperlukan. Makanan pada pesta dahulu dihidangkan
pada anduri ( tampah ) yang besar,
yang dikelilingi oleh 4-6 orang. Nasi itu di onggokkan di tengah anduri
itu dan kemudian lauk pauknya ( juhut
) juga di onggokkan di atas nasi itu. Tetapi bagi raja na gabe, raja namabunga, parbaringin, dan pangulu, disediakan pinggan
panganan sebagai penghormatan. Sedikit perbedaan dengan pinggan panganan yang diberikan pada
pesta di kota besar sekarang ini, dimana pemakainan talam yang besar sudah
meminta tempat yang besar di atas meja
makan, ini tentu lebih sulit dari pada adat
yang biasanya.
d.
Hal ini sehubungan dengan pesta
perkawinan tersebut seperti lazim diadakan sekarang ini. Sebagaimana telah
dijelaskan, yang menjadi raja pararhata,
ataupun raja parsinabung pada pesta
adat dahulu adalah parbaringan.
Merekalah yang dianggap sakti, dan yang mereka jugalah yang memberikan pasu-pasu pada pesta tersebut. Oleh
karena itu dapatlah di mengerti pentingnya kedudukan parbaringan itu dikalangan
masyarakat dahulu. Sekarang ini tidak ada lagi perbaringan. Di daerah sigumpar;
kali terakhir parbaringan yang diangkat adalah di janji maria, yaitu
parbaringan pada marga siagian. Fungsi parbaringan dewasa ini diambil alih oleh
raja parhata yang ditetapkan pada pesta itu juga marilah kita lihat bagaimana
jalannya pesta adat sekarang ini. (Simajuntak,
2011:128-130)
6. Pesta Adat
Dibona Pasogit Dan Kota-Kota Besar
Urutan
pada kegiatan pada pesta adat baik di bona
ni pasogit, kota besar atau pun di parantauan, boleh dikatakan serupa saja,
hanya cara pelaksanaanya saja yang kadang berubah akibat pengaruh keadaaan
setempat dan sebagian lagi atas pertimbangan yang lebih praktis. Di Tapanuli
Utara sendiri pun ada juga perubahan diantara beberapa daerah, ditetapi
terutama hanya dalam pengaruh parjabaran.
Demikianlah ada perbedaan parjabaran
diantara toba dan parhasudutan
termasuk Samosir dengan toba parhabinsaran. Mulai dari Balige kearah Laguboti
dan Porsea, istimewa mengenai daging bagian dagu mengenai tujuan dari parjambaran itu tidak ada persoalan,
sebab tujuananya serupa saja yaitu menghormati yang menerima parjabaran itu
sesuai dengan fungsinya didalam pesta adat tersebut. Hanya bagian mana dari
tudu tudu ni sipanganon itu sebagai wujud dari penghormatan itu. (Simajuntak, 2011:128-129)
Mengenai
jambar hepeng (uang), berapa besarnya jambar
ni suhi ni ampang naopat sudah tentu sesuai dengan besarnya boli, sedangkan di daerah toba persoalannya
itu dapat diselesaikan dengan banyak cara, kesepakatan yang berdasarkan
bujukan. Perbandingan pelaksanaan pesta adat di bona ni pasogit dengan diperantauan :
a)
Tempat pesta. Di
bona ni pasogit, pesta diadakan di halaman ni hasuhuton
dan merupakan halaman bersama sekampung, maka keadaannya cukup luas untuk
menampung semua tamu, terlebih karena semuanya duduk di atas tikar. Di kota
besar pesta itu biasanya diadakan di sopogodang
ataupun di suatu wisma yang sudah dilengkapi dengan meja dan kursi.
b)
Di bona ni pasogit yang bertugas untuk
persiapan pesta adalah saudara semarga dan boru,
pardongan sahutaon secara gotong
royong dibantu oleh pihak boru dan hasuhuton sendiri.
c)
Dikota besar
mengenai makanan dan daging persiapannya sudah diserahkan pada pemborong. Memang
pardongan sahutaon dan boru resminya turut juga marhobas, tetapi hanya sebagai
formalitas saja dan sebagai penerima tamu.
d)
Perbedaan
mengenai parjambaran dan sebagainya,
diselesaikan dengan musyawarah sewaktu adanya
tonggo raja. Untuk menghemat
waktu, sering juga dilaksanakan jambar
mangihut. Dengan demikian dapatlah dicegah perdebatan yang bertele-tele dan
berkepanjangan, mengenai pembagian jambar
itu.
e)
Maningkir tangga
dan paulak une, di bona ni pasogit diadakan beberapa hari
sesudah pesta perkawinan itu. Dikota besar sudah sering dilaksanakan di wisma
itu juga. Yakni sesudah pesta adat perkawinan itu resmi ditutup dengan doa.
Dengan demikian terhindarlah pihak parboru
dan paranak dari pemborosan waktu
keuangan.
Kalau
kita bandingkan pelaksanaan pesta adat itu di kampung dengan dikota besar
seperti di Medan, dalam garis besarnya pelaksanaan dikota besar adalah lebih
sederhana dan lebih praktis dan oleh karena itu lebih teratur. Ini menurut
penilaian daripada orang terpelajar. Mungkin penilaian orang kampung sendiri
agak lain. Justru didalam kesibukan yang kurang berketentuan itulah mungkin
terletak atraksinya yang lebih menarik dari pesta itu. Orang kota akan gembira
kalau pesta lekas selesai, sedangkan dikamung tidak ada pengertian keberatan
tentang waktu sebab tidak ada tugas yang mendesak mereka. (Simajuntak, 2011:126-128)
Hukum pertama-tama
dilahirkan dari kebiasaan dan kesadaran umum masyarakat, kemudian dari
keputusan hakim, tetapi bagaimana pun juga diciptakan oleh kekuatan-kekuatan
dari dalam yang bekerja secara diam-diam, dan tidak oleh kemauan sendiri. Pada
masyarakat seperti ini memang tidak dijumpai peranan dari pembuat undang-undang
seperti masyarakat modern sekarang ini. Peranan dari hukum kebiasaan adalah
lebih menonjol dan hal inipun diterapkan oleh suku batak yang ada di
perantauan. (Rahardjo, 1986:168-169).
Menurut pasal 1339 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, suatu perjanjian tidak
hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan dalam perjanjian,
tetapi juga untuk “segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan
(diwajibkan) oleh kepatuhan, kebiasaan dan undang-undang”. Dengan demikian,
setiap perjanjian diperlengkapi dengan aturan-aturan yang terdapat dalam
undang-undang, dalam adat kebiasaan (di suatu tempat dan suatu kalangan
tertentu), sedangkan kewajiban-kewajiban yang diharuskan oleh kepatutan
(norma-norma kepatutan) harus juga di indahkan.
(Subekti, 1987:39)
Masyarakat
Batak menganggap bahwa perkawinan ideal adalah perkawinan antara orang-orang
rumpal (Toba: marpariban) ialah antara seorang laki-laki dengan anak perempuan
saudara laki-laki ibunya. Dengan demikian, seorang laki-laki Batak, sangat
pantang kawin dengan seorang wanita dari marganya sendiri dan juga dengan anak
perempuan ayah. Tetapi preferensi perkawinan sebagai terurai ini, pada masa
sekarang telah banyak tidak dilakukan lagi. (Soekanto,
1981:217-218)
Hal-hal kecil seperti bahasa, aksen
dan nada bicara pada akhirnya membawa
kebiasaan-kebiasaan yang sudah turun-temurun dilakukan oleh masyarakat
setempat mengalami sedikit pergeseran, begitu juga sebaliknya yang terjadi pada
masyarakat pendatang. Budaya-budaya lama yang dibawa dari daerah asal oleh
masyarakat asal, perlahan-lahan sudah mulai bercampur dengan kebudayaan yang
ada di daerah setempat. Pernikahan khususnya pernikahan adat atau tradisional. (Mulyana, 1996: 35)
Suami istri perlu saling membantu dan melengkapi
agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya mencapai kesejahteraan
spiritual dan material. Tujuan perkawinan adalah mengembangkan kepribadian
untuk mencapai kesejahteraan spiritual dan material dan tujuan perkawinan
sesungguhnya sangat mulia apabila dilandaskan kesadaran untuk saling memberi
yang terbaik walaupun pasangannya tidak menuntut hal tersebut, serta tujuan melangsungkan
perkawinan adalah untuk menciptakan hidup rumah tangga yang sejahtera bersama
pasangan yang menjadi pilihan dan untuk meneruskan keturunan pada umumnya dalam
membina keluarga, setiap orang menginginkan kehidupan yang bahagia bersama
pasangannya sampai akhir waktu. Perkawinan adalah komposisi dari setiap tujuan
personal pasangan yang mungkin dengan cara kooperatif akan menyertakan kedua
keinginan pasangan tersebut, apabila kedua keinginan tersebut terkandung dalam
satu tujuan bersama sebagai hasil akhir. (Ramsis,
2015:3-5)
Dalam hukum pewarisan Indonesia belum
ada peraturan perundangan yang mengatur pembagian warisan secara nasional dalam
arti bias di pakai setiap warga Negara Indonesia tanpa memandang suku, agama,
dan adat. Keaneka ragaman suku, budaya, dan agama atau yang disebut pluralisme memberikan
pilihan bagi setiap warga Negara Indonesia untuk menggunakan tata cara yang
mana dalam melaksanakan pembagian warisan itu digunakan. Demikian juga dengan
agama Kristen yang terdiri dari beberapa aliran dan penganut agamanya pun juga
terdiri dari beberapa suku dan etnis, seperti suku batak, suku jawa, etnis
tionghoa, warga Negara keturunan (Belanda, Inggris, Jepang, dsb). (Lilieni, 2007:97)
Dalam Soemali
(2011:3), Adapun penggolongan perkawinan menurut hukum adat dapat digolongkan
atas:
1. Perkawinan
Patrilineal.
2. Perkawinan
Matrineal.
3. Perkawinan
Parental/Bilateral.
4. Perkawinan
Altenerend.
7.
Ritual Pesta Adat
Pernikahan
adat Batak, seperti juga pernikahan-pernikahan adat pada umumnya, didasari oleh
hukum adat, perundang-undangan, dan hukum agama.
a.
Mangarisika. Adalah kunjungan utusan
pria yang tidak resmi ke tempat wanita dalam rangka penjajakan. Dalam
pernikahan adat Batak, terdapat beberapa prosesi besar yaitu : peminangan maka
pihak orang tua pria memberikan tanda mau (tanda holong dan pihak wanita
memberi tanda mata). Jenis barang-barang pemberian untuk pernikahan adat batak
dapat berupa kain, cincin emas, dan lain-lain.
b.
Marhori-hori Dinding/marhusip. Pembicaraan
antara kedua belah pihak yang melamar dan yang dilamar, terbatas dalam hubungan
kerabat terdekat dan belum diketahui oleh umum.
c.
Marhata Sinamot. Pihak
kerabat mempelai pria (dalam jumlah yang terbatas) datang kepada kerabat
mempelai wanita untuk melakukan marhata sinamot, membicarakan masalah uang
jujur (tuhor).
d.
Pudun Sauta. Pihak
kerabat pria tanpa hula-hula mengantarkan wadah sumpit berisi nasi dan lauk
pauknya (ternak yang sudah disembelih) yang diterima oleh pihak parboru dan
setelah makan bersama dilanjutkan dengan pembagian Jambar Juhut (daging) kepada
anggota kerabat, yang terdiri dari:
a)
Kerabat marga ibu (hula-hula)
b)
Kerabat marga ayah (dongan tubu)
c)
Anggota marga menantu (boru)
d)
Pengetuai (orang-orang tua)/pariban
e) Diakhir kegiatan Pudun Saut maka pihak keluarga
wanita dan pria bersepakat menentukan waktu Martumpol dan Pamasu-masuon.
e.
Martumpol (baca : martuppol). Penanda-tanganan
persetujuan pernikahan adat oleh orang tua kedua belah pihak atas rencana
perkawinan anak-anak mereka dihadapan pejabat gereja. Tata cara Partumpolon
dilaksanakan oleh pejabat gereja sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Tindak
lanjut Partumpolon adalah pejabat gereja mewartakan rencana pernikahan dari
kedua mempelai melalui warta jemaat, yang di HKBP disebut dengan Tingting (baca
: tikting). Tingting ini harus dilakukan duakali hari minggu berturut-turut.
Apabila setelah dua kali tingting tidak ada gugatan dari pihak lain baru dapat
dilanjutkan dengan pemberkatan nikah (pamasu-masuon). Seluruh pasangan dalam
penelitian ini menggunakan adat ini, karena adat istiadat ini sudah merupakan
rangkaian adat dalam pernikahan adat Batak.
f.
Martonggo Raja atau Maria Raja. Adalah
suatu kegiatan pra pernikahan adat yang bersifat seremonial yang mutlak
diselenggarakan oleh penyelenggara pernikahan adat yang bertujuan untuk :
a) Mempersiapkan kepentingan pernikahan adat yang
bersifat teknis dan non teknis.
b) Pemberitahuan pada masyarakat bahwa pada waktu
yang telah ditentukan ada pernikahan adat pernikahan dan berkenaan dengan itu
agar pihak lain tidak mengadakan pernikahan adat dalam waktu yang bersamaan.
c) Memohon izin pada masyarakat sekitar terutama
dongan sahuta atau penggunaan fasilitas umum pada pesta yang telah
direncanakan.
g.
Manjalo Pasu-pasu Parbagason
(Pemberkatan Pernikahan). Pengesahan pernikahan adat kedua
mempelai menurut tatacara gereja (pemberkatan pernikahan oleh pejabat gereja).
Setelah pemberkatan pernikahan selesai maka kedua mempelai sudah sah sebagai
suami-istri menurut gereja. Setelah selesai seluruh acara pamasu-masuon, kedua
belah pihak yang turut serta dalam acara pamasu-masuon maupun yang tidak pergi
menuju tempat kediaman orang tua/kerabat orang tua wanita untuk mengadakan
pesta unjuk. Pesta unjuk oleh kerabat pria disebut Pesta Mangalap parumaen
(baca : parmaen).
h.
Pesta Unjuk. Suatu
acara perayaan yang bersifat sukacita atas pernikahan adat putra dan putri.
Ciri pesta sukacita ialah berbagi jambar : Jambar yang dibagi-bagikan untuk
kerabat parboru adalah jambar juhut (daging) dan jambar uang (tuhor ni boru)
dibagi menurut peraturan. Jambar yang dibagi-bagikan bagi kerabat paranak
adalah dengke (baca: dekke) dan ulos yang dibagi menurut peraturan. Pesta Unjuk
ini diakhiri dengan membawa pulang pengantin ke rumah paranak.
i.
Mangihut di ampang (dialap jual). Yaitu
mempelai wanita dibawa ke tempat mempelai pria yang dielu-elukan kerabat pria
dengan mengiringi jual berisi makanan bertutup ulos yang disediakan oleh pihak
kerabat pria.
j.
Ditaruhon Jual. Jika pesta untuk
pernikahan itu dilakukan di rumah mempelai pria, maka mempelai wanita
dibolehkan pulang ke tempat orang tuanya untuk kemudian diantar lagi oleh para
namborunya ke tempat namborunya. Dalam hal ini paranak wajib memberikan upa
manaru (upah mengantar), sedang dalam dialap jual upa manaru tidak dikenal.
k.
Paranak makan bersama di tempat kediaman
si Pria (Daulat ni si Panganon). Setibanya pengantin wanita beserta
rombongan di rumah pengantin pria, maka diadakanlah acara makan bersama dengan
seluruh undangan yang masih berkenan ikut ke rumah pengantin pria. Makanan yang
dimakan adalah makanan yang dibawa oleh pihak parboru.
l.
Paulak Unea. Setelah satu, tiga, lima
atau tujuh hari si wanita tinggal bersama dengan suaminya, maka paranak,
minimum pengantin pria bersama istrinya pergi ke rumah mertuanya untuk
menyatakan terima kasih atas berjalannya acara pernikahan dengan baik, terutama
keadaan baik pengantin wanita pada masa gadisnya (acara ini lebih bersifat
aspek hukum berkaitan dengan kesucian si wanita sampai ia masuk di dalam
pernikahan). Setelah selesai acara paulak une, paranak kembali ke kampung
halamannya/rumahnya dan selanjutnya memulai hidup baru. Seluruh pasangan dalam
penelitian ini tidak lagi menjalankan adat istiadat ini. Hal ini dikarenakan
mereka menggangap prosesi ini tidak lagi menjadi hal yang penting dalam
prosesi.
m.
Manjahea. Setelah beberapa lama
pengantin pria dan wanita menjalani hidup berumah tangga (kalau pria tersebut
bukan anak bungsu), maka ia akan dipajae, yaitu dipisah rumah (tempat tinggal)
dan mata pencarian. Seluruh pasangan dalam penelitian ini tidak lagi menjalankan
adat istiadat ini. Hal ini dikarenakan mereka menggangap prosesi ini tidak lagi
menjadi hal yang penting dalam prosesi. Karena rata-rata jika sudah menikah
mereka memang hidup terpisah dari orangtua masing-masing.
n.
Maningkir Tangga (baca : manikkir tangga).
Beberapa lama setelah pengantin pria dan wanita berumah tangga terutama
setelah berdiri sendiri (rumah dan mata pencariannya telah dipisah dari orang
tua si laki-laki) maka datanglah berkunjung parboru kepada paranak dengan
maksud maningkir tangga (yang dimaksud dengan tangga disini adalah rumah tangga
pengantin baru). Dalam kunjungan ini parboru juga membawa makanan (nasi dan
lauk pauk, dengke sitio tio dan dengke simundur-mundur). Dengan selesainya
kunjungan maningkir tangga ini maka selesailah rangkaian pernikahan adat na
gok. Seluruh pasangan dalam penelitian ini tidak lagi menjalankan adat istiadat
ini. Hal ini dikarenakan mereka menggangap prosesi ini tidak lagi menjadi hal
yang penting dalam prosesi. Padahal dalam prosesi pernikahan adat Batak seharusnya prosesi ini menjadi
prosesi adat yang terakhir. (Ramsis, 2015:
24-29)
Setiap kelompok etnis memiliki konsep adat yang menjadi
identitas, termasuk masyarakat batak toba. Dalam menjalani kehidupan masyarakat
suku batak toba memegang prinsip: hamoraon,
hagabeon dohot hasangapon.
1.
Hamoraon atau nilai kekayaan
Mereka mencari banyak rezeki dengan
hidup secara bekerja keras. Kekayaan yang dimaksud bukan dalam bentuk materi
saja tetapi juga jumlah anak dan keturunan.
2.
Hagabeon atau nilai keturunan
Keturunan merupakan hal penting untuk
meneruskan garis keturunan dalam silsilah keluarga. Biasanya anak laki-laki
lebih di utamakan karena mereka akan meneruskan marga sampai keturunan
berikutnya.
3.
Hasangapon atau nilai kedudukan atau
jabatan
Nilai hasangapon adalah nilai tambahan apabila
mereka memiliki kedudukan atau jabatan pada setiap pekerjaan. Bila tidak
tercapai oleh yang bersangkutan, kesuksesan sang anak juga dapat menjadi
pertimbangan.
Selain itu, masyarakat batak juga memiliki adat istiadat
warisan leluhur berupa falsafah (dahlihan
na tolu) yang terdiri dari somba
marhula-hula (hormat kepada ayah dari istri), manat mardongan tubu (bersikap hati-hati kepada saudara semarga),
serta elek marboru (sifat membujuk
kepada saudara perempuan). Dahlihan na
tolu merupakan hubungan kekeluargaan karena adanya pernikahan dan merupakan
dasar dari aspek kehidupan mereka sejak lahir sampai mati. (Barker, 2004: 54)
Suku Batak Toba adalah suatu suku yang masih memegang
adat dan prinsip hidup dalam menjalani kehidupan. Oleh sebab itu, unsur dahlihan na tolu diterapkan dalam acara
adat, seperti upacara mendirikan rumah baru, kelahiran, pernikahan, kematian
dan lain-lain. Unsur dahlihan na tolu
memiliki unsur penting dalam setiap upacara adat tanpa adanya unsur tersebut,
upacara adat tidak terlaksana dengan baik, sehingga kehadiran unsur tersebut
sangat diharapkan diseluruh upacara adat, dapat disimpulkan bahwa hubungan kekerabatan
yang dilibatkan dalam upacara adat menjadi bukti pentingnya peran manusia
sebagai makhluk sosial. (Purba, Gondang
Sabangunan Ensamble Music of the Batak Toba People: Musical Instrumens, Structure,
and Terminology, 2002:12)
Masyarakat Batak Toba Tradisional adalah
masyarakat tertutup yang tidak dapat mengatakan sesuatu dengan langsung. Ada
suatu “nilai” yang sangat dipegang teguh oleh masyarakatnya sehingga untuk
mengatakan sesuatu harus dilapisi dengan kata-kata yang membuat maknanya tersamar
tetapi cukup dimengerti. Biasanya mereka menggunakan umpama (perumpamaan)
dan umpasa (pantun) untuk mengatakan sesuatu kepada seseorang atau
kelompok ketika melakukan komunikasi. Pengertian umpama dan umpasa
tidaklah dapat disamakan seutuhnya dengan perumpamaan dan pantun di dalam
kesusastraan Indonesia. Apabila ditinjau dari segi bentuk dapat dikatakan sama,
tetapi apabila ditinjau dari segi makna atau gagasan yang ingin dikemukakan maka
akan terjadi perbedaan karena umpama dan umpasa menekankan makna
bernilai budaya dengan membandingkan sifat-sifat, kebiasaan, karakteristik,
perilaku suatu binatang, tumbuhtumbuhan, dan benda-benda yang terdapat di sekililing
masyarakat Batak Toba. (Pardosi, 2008:3)
Perkawinan Batak Toba adalah perkawinan
eksogami marga, karena per-kawinan satu marga dilarang keras.
Per-kawinan yang ideal bagi masyarakat Batak Toba adalah perkawinan antara
seorang laki-laki dengan anak perempuan saudara laki-laki dari ibunya atau boru
ni tulangna (pariban). Orangtua pada ma-syarakat Batak Toba selalu
menganjurkan perkawinan ideal tersebut, tetapi bila anjuran ini tidak berhasil
pihak orangtua sudah mengalah demi kebahagiaan anak-anaknya. (Manik, 2012:45)
Pemberian
uang mahar (sinamot) mempunyai falsafah dan makna simbolik yang mendalam
sesuai dengan sistem nilai yang diwariskan secara turun-temurun dan berfungsi
pada masyarakatnya. Pengertian dari pemberian sinamot yang paling hakiki adalah proses “pemberian dan
penerimaan”. Mempelai wanita tidak lagi menjadi tanggungan ayahnya dalam adat
karena haknya sudah diserahkan kepada pihak mempelai laki-laki dan mulai saat
itu, mempelai perempuan sudah harus mengikuti marga suaminya dan menjadi
tanggungan penuh oleh suaminya dan mengikuti adat dalam keluarga suaminya.
Pada awalnya pemberian itu bukanlah
berbentuk uang tetapi berupa benda-benda yang dianggap bermakna. Sinamot sering
diberi berupa ternak yang dianggap mahal seperti kerbau, sapi, kuda, dan babi.
Jumlahnya tergantung kesepakatan dan kemampuan pihak laki-laki atau permintaan
perempuan, bisa 30 ekor kerbau tapi bisa pula satu ekor diluar ternak yang akan
di potong untuk keperluan pesta. Pemberian inilah yang disebut sebagai
penghargaan bagi keluarga perempuan, karena begitu pentingnya sinamot pada
masyarakat suku Batak Toba, mereka yang belum memberikan sinamot kepada
pihak perempuan maka perkawinan tersebut tidak sah dalam adat suku Batak Toba. (Purba, 2005:50)
B. Kerangka Berpikir
Adat
Batak
|
Globalisasi
|
Tadisi
(budaya) di Kota Medan yang Pelaksanaannya oleh suku Batak Toba yang
Merantau
|
Budaya
Konsumerisme
|
Gambar
2.1
Upacara
perkawinan Batak Toba merupakan salah satu hal yang sangat penting untuk
memasuki dalihan na tolu.Upacara perkawinan menjadi tradisi yang
dilakukan komunitas Batak Toba baik di daerah asal maupun di daerah perantauan.
Praktik upacara perkawinan memiliki pakem yang harus mereka ikuti. Akibat
globalisasi, pakem ini mengalami pergeseran sehingga menimbulkan perilaku yang
konsumerisme.
Perilaku
konsumerisme dalam upacara perkawinan Batak Toba di Kota Medan dipengaruhi
beberapa faktor diantaranya: (1) Globalisasi, yaitu terintegrasinya berbagai
elemen dunia kehidupan ke dalam dunia tunggal berskala dunia (Piliang, 2011:
22). Globalisasi menjadi suatu ekspansionisme sistem ekonomi kapitalis; (2).
Gaya hidup, yaitu cara setiap orang untuk memaknai kehidupannya dengan cara
mengekspresikan benda-benda sebagai objek pengaktualisasian diri kehidupan
sehari-hari (Piliang, 2011: 322); (3). Budaya populer, yaitu budaya yang
diproduksi secara komersil dan konsumer menerima saja tanpa berpikir hal itu
akan berubah di waktu yang akan datang (Barker, 2004: 50); (4). Media massa,
yaitu lembaga-lembaga komunikasi yang memproduksi dan mendistribusikan
teks-teks secara luas, dalam konteks lahir dan berkembangnya modernitas
kapitalis (Barker, 2014: 165); (5). Kurangnya pemahaman tentang makna upacara
perkawinan Batak Toba; dan (6). Kurangnya transmisi budaya kepada generasi
muda.
Konsumerisme
dalam upacara perkawinan menjadi suatu kebiasaan yang mereka lakukan secara
sadar. Makna upacara perkawinan mengalami pergeseran akibat dari globalisasi
yang membawa bentuk ideologi kapitalis.
sendiri.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Penelitian
Metode
penelitian yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif.
Alasan kenapa peneliti tertarik menggunakan metode kualitatif karena penelitian
yang akan dilakukan nantinya membutuhkan pengamatan terhadap perilaku
masyarakat di dalam pelaksanaan upacara adat perkawinan Batak Toba tersebut,
serta menjelaskan berdasarkan kajian ilmu sosiologi budaya dan hanya dengan
menggunakan metode kualitatiflah peneliti bisa menjelaskan permasalahan yang
akan diteliti.
Dari
penelitian ini, penulis menerapkan metode kualitatif dngan melakukan pengamatan
terhadap bentuk pelaksanaan dari perkawinan adat batak toba tersebut dan juga
dengan menyampaikan beberapa pertanyaan
kepada narasumber yang memiliki pengetahuan tentang adat perkawinan Batak Toba.
B. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian
dilakukan di daerah Deli Serdang yang merupakan salah satu daerah yang ada di
Kota Medan. Alasan peneliti mengambil lokasi penelitian ini adalah karena di
Kota inilah banyak suku batak toba datang merantau dari kampung dan bahkan
hampir tinggal secara menetap.
C. Populasi Dan Sampel
Populasi
dan sampel yang peneliti pilih adalah informan di daerah yang penetiti akan
tuju. Informan adalah orang yang mengetahui serta memiliki informasi yang luas
terkait dengan permasalahan yang akan diteliti. Dalam hal ini peneliti memilih
informan adalah Ketua Adat, tokoh masyarakat, serta anggota masyarakat di
daerah Deli Serdang yang pernah melaksanakan upacara adat perkawinan Batak Toba.
Penentuan populasi dan sampel ini dilakukan secara sengaja sesuai denga
kriteria yang ditentukan sendiri oleh peneliti (purposive).
D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
1.
Wawancara, percakapan yang dilakukan
oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan
pertanyaan dan yang diwawancarai (interviewee) yang memberikan jawaban
atas pertanyaan penanya.
2.
Dokumentasi, dokumentasi disini penulis
lakukan dengan mencari atau melihat dokumen-dokumen (foto,dll) pelaksanaan
upacara Adat Perkawinan Batak Toba untuk mendukung keotentikan hasil
penelitian.
E. Jenis Data dan Sumber Data
Jenis data dan sumber data yang peneliti pilih dalam
penelitian ini adalah angket dan dokumentasi yang secara akumulasi menambah
pemahaman peneliti terhadap yang ditemukan. Dan peneliti memakai jenis data
yang primer yang peneliti ambil dari sumber data berupa jurnal, buku dan
artikel terkait lainnya.
F. Teknik Analisis Data
Dalam
penelitian ini teknik analisis data yang digunaka adalah teknik deskriptif
kualitatif yaitu mentabulasi data yang akan di kumpulkan kemudian menguraikan
data menganalisis data berdasarkan presentasi dan tabel frekuensi sehingga
lebih mudah untuk dipahami dan di simpulkan. Adapun unsur metodis dalam
penelitian yang akan penulis lakukan yakni:
1.
Deskripsi, yakni memaparkan seluruh data
penelitian baik pustaka maupun lapangan dan dilihat beberapa aspek, dalam hal
ini data terkait objek formal dan objek material penelitian.
2.
Interpretasi, yakni penulis berusaha
memberikan pandangan terhadap dimensi aksiologis yang terkandung dalam kegiatan
mangulosi pada saat upacara
pernikahan adat Batak Toba.
3.
Holistika, yakni penulis menganalisis
kegiatan mangulosi pada saat upacara pernikahan adat Batak Toba.
Unsur holistika ini juga bertujuan agar dapat diketahui kelebihan dalam
konsepsi filosofis dari mangulosi,
sehingga mampu mencapai ke benaran yang utuh.
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Kecamatan Medan Tembung adalah salah
satu dari 21 kecamatan
di kota Medan,
Sumatera
Utara, Indonesia. Kecamatan Medan Tembung berbatasan dengan Medan
Perjuangan di sebelah barat, Kabupaten Deli Serdang di timur, Medan Denai
di selatan, dan Kabupaten Deli Serdang di utara. Pada
tahun 2016,
kecamatan ini mempunyai penduduk sebesar 134.113 jiwa. Luasnya adalah 7,99 km²
dan kepadatan penduduknya adalah 16.785,11 jiwa/km². Kecamatan Medan Tembung
mempunyai banyak jenis usaha industri kecil seperti kerajinan rotan. Kecamatan
Medan Tembung terletak di wilayah Timur Kota Medan dengan batas-batas sebagai
berikut :
a.
Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Medan
Perjuangan
b.
Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang
c.
Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Medan Denai
d.
Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang
Peta Kecamatan Medan Tembung
B. PENYAJIAN DATA
Responden
yang dilibatkan untuk memperoleh data dalam penelitian ini berjumlah 9 orang,
diantaranya 3 tokoh adat, 2 warga, 2 pemuda/i, dan sepasang suami istri yang
baru menikah (pelaku prosesi adat pernikahan).
Berikut merupakan informasi responden dan jawaban
terhadap pertanyyan yang diajukan peneliti.
1. Nama : M. Tambunan
Umur : 62 Tahun
Peran : Tokoh Adat
Upacara pernikahan adat
Batak Toba yang terlaksana oleh warga Kelurahan Indrakasih telah banyak
berlangsung didalam gedung wisma hal ini karena sudah mulai menyempitnya
kawasan atau yang biasa disebut halaman rumah di daerah medan ini, sehingga
tidak memungkinkan dilaksanakannya prosesi adat pernikahan di halaman. Dan
dalam prosesi pernikahan adat Batak Toba sangatlah memakan banyak waktu dan
biaya serta memiliki proses yang panjang dan sistematis. Namun, jika diamati
para kaum muda yang menikah di era saat ini lebih memilih konsep dan tata ruang
yang di adopsi dari budaya orang luar, dan hal ini di karenakan oleh efek
modernisasi.
2. Nama : O. Hasibuan
Umur : 68 Tahun
Peran : Tokoh Adat
Upacara pernikahan yang
terjadi saat ini di daerah ini masih lumayan bagus, karena banyak para
pelaksana yang masih menerapkan unsur budaya yang sebenarnya walaupun tempatnya
kini bukan di rumah lagi melainkan di wisma. Untuk biaya dan waktu pelaksanaan yang
saat ini saya amati masih lumayan juga karena mereka masih memakai runtut
pelaksanaan seperti yang ada dikampung. Dan untuk perlengkapan pernikahan saat
ini yang terjadi adalah kebanyakan sistim sewa oleh pelaksana kepada pemilik
wisma atau jasa salon.
3. Nama : M. Sinambela
Umur : 50 Tahun
Peran : Tokoh Adat
Upacara pernikahan yang
saat ini terjadi kebanyakan masih bagus karena masih ada saja pihak yang ingin
menikah masih mau meluangkan waktu untuk meminta saran dan masukan untuk
prosesi pernikahan Batak Toba yang sebenarnya kepada kami para Tokoh adat di
daerah indrakasih ini. Dan untuk proses yang memakan waktu yang banyak menurut
saya ini tidaklah apa-apa karena prosesi seperti ini hanya terjadi sekali
seumur hidup.
4. Nama : Lamhot
Umur : 50 Tahun
Peran : Warga
Untuk adat pernikahan
yang saat ini berlangsung menurut saya ini sudah sangat bagik saya katakan
demikian karena boleh dilihat dari penataan ruangan dan singkatnya susunan
acara, sehingga setelah selesai mengikuti acara pernikahan ini saya masih ada
sedikit waktu untuk melaksanakan aktivitas saya. Untuk proses yang memakan
waktu lama seperti yang biasa dilakukan dikampung hal itu tidak boleh kita komentari
karena itu sudah mendarah daging bagi mereka karena kalau tidak lama maka
dikatakan kurang menarik.
5. Nama : Istri Lamhot
Umur : 49 Tahun
Peran : Warga
Upacara pernikahan yang terjadi lebih mengarah kepada sistem
sosial atau kekerabatan karena pada prosesi pernikahan adat inilah tampak
setiap keluarga besar yang melaksanakan pernikahan dan untuk proses pernikahan
biasanya diawali dari tunangan(martumpol),
marhata sinamot, dan pamasu-masuon.
Dan untuk biaya yang habis dalam prosesi ini biasanya sangatlah banyak karena
untuk setiap proses sudah memakan biaya juga, namun setiap biaya biasanya
ditanggung oleh pihak laki-laki atau lebih tepatnya mempelai laki-laki.
6. Nama : Roni
Umur : 24 Tahun
Peran : Pemuda
Untuk upacara
perkawinan Adat Batak Toba masih kurang saya pahami karena sangatlah jarang
saya mengikuti prosesi pernikahan. Namun, menurut pengamatan saya pernikahan
suku Batak Toba di daerah Medan ini lebih banyak dilangsungkan di gedung-gedung
mewah, seperti di hotel dan wisma dan menurut saya hal ini lebih mengarah
kepada westernisasi yang saat ini sangatlah mewabah pada setiap kaum muda yang
akan melangsungkan pernikahan.
7. Nama : Juniana
Umur : 23 Tahun
Peran : Pemudi
Upacara pernikahan
Batak Toba didaerah ini lebih mengarah kepada budaya orang luar dan orang jawa
sebab hampir semua di buat semi plasmanan dan tata ruangnya lebih menonjolkan
kemewahan di banding makna yang terselubung di balik acara. Dan saat ini proses
pernikahan yang terjadi sudah lebih diatur seefisiensi mungkin dan untuk
prosesi yang ada dibuat dengan memakan waktu yang panjang maka bagi saya lebih
baik dibuat dengan waktu yang lebih efisien agar tidak ada pemborosan waktu
untuk hal-hal yang tiada guna.
8. Nama : Tingkos
Umur : 30 Tahun
Peran : Pelaku
Dalam prosesi perikahan ini yang saya persiapkan yang
paling utama adalah mental saya untuk menjalani setiap acara dan keluarga dari pihak
istri saya karena nantinya akan ada banyak hadirin yang datang, namun dibalik
semuanya itu yang saya persiapkan adalah pakaian saya satu stel yakni jas dan
celana serta dasi dang kemeja yang bagus agar tampak lebih menawan di hadapan
tamu undangan, lalu yang dipersiapkan adalah menu untuk pernikahan dan lokasi
atau tempat pemberkatan dan tempat prosesi adat Batak Toba (budaya). Memang
untuk hal ini saya banyak mengeluarkan biaya namun, itu bukanlah masalah karena
hal ini adalah kewajiban saya. Untuk tamu undangan yang diundang tidaklah
banyak hanya kekuarga yang terdekat dari pihak pria dan wanita, teman terdekat,
keluarga jauh, tetangga di kampung dan di perauntauan, serta teman di tempat
kerja. Untuk prosesi pernikahan yakni: Mangarasika, Marhori-hori dinding/
marhusip, Marhata Sinamot, Pudun Sauta, Martumpol, Martonggo Raja atau Maria
Raja, Manjalo Pasu-pasu Parbagason, Pesta unjuk, Mangihut ampang, Ditaruhon
jual, Daulat ni si Panganon, Paulak Unea, Manjahea dan yang terakhir Maningkir
Tangga. Inilah yang saya ketahui dengan menanya orang tua dan tokoh-tokoh adat
di daerah ini.
9. Nama :
Istri Tingkos
Umur : 29 Tahun
Peran : Pelaku
Untuk pernikahan yang
mengatur semuanya adalah pihak laki-laki dan biasanya saya hanya kabanyakan
mempersiapkan mental untuk beadaptasi dengan lingkungan baru dari pihak suami
saya.
a. Sistem
Kekeluargaan
Hubungan kekerabatan suku Batak dapat
diambil dari tiga sudut yaitu, dongan tubu, hula-hula, dan boru.
Setiap suku Batak yang mempunyai marga yang sama disebut sebagai dongantubu,
dan setiap orang yang mempunyai marga yang sama dengan pihak ibu atau isteri
disebut hula-hula, sedangkan orang yang mengambil isterinya satu marga
dengan kita disebut boru. Hubungan kekerabatan ini berlaku dalam
pelaksanaan adat-istiadat juga dalam kehidupan sehari-hari.
Seperti
yang sudah di jelaskan di atas, yang masuk dalam dalihan na tolu adalah orang
yang sudah melakukan upacara perkawinan. Demikian juga dalam upacara-upacara
adat Batak, yang boleh turut berbicara dalam urusan keluarga hanya yang sudah
berkeluarga (Bruner, 1985: 165). Oleh karena itu perkawinan merupakan hal yang
sangat perlu dalam suku Batak agar boleh masuk ke dalam dalihan na tolu.
Sesuai dengan perkembangan Kota Medan, orang Batak semakin hari semakin
bertambah di daerah ini, baik karena faktor kelahiran secara alamiah,
penempatan kerja, ataupun karena faktor urbanisasi. Karena jumlahnya semakin
banyak, pada tahun 70-an orang Batak berkumpul untuk membangun satu gereja.
Gereja merupakan identitas bagi orang Batak, selain untuk tempat beribadah
gereja juga berfungsi sebagai wadah untuk bersosialisasi budaya (Siahaan dalam
Siburian, 2012 : 243). Organisasi gereja yang dibentuk bernama HKBP (Huria
Kristen Batak Protestan) yang berkantor pusat di Tarutung Sumatera Utara.
Sistem
kekerabatan suku Batak dengan memperhitungkan keturunan secara patrilineal.
Kelompok kekerabatan dihitung berdasarkan atas dasar, satu ayah, satu kakek
atau satu nenek moyang. Setiap suku Batak Toba dapat menjelaskan silsilah
dirinya sendiri mulai dari nenek moyangnya sampai kepada keturunannya. Untuk
mengetahui silsilah ini dapat dilihat dari masing-masing tarombo yang
ditulis setiap marga. Tarombo merupakan silsilah orang Batak Toba mulai
dari nenek moyangnya, dirinya sendiri, dan juga keturunannya. Yang masuk dalam tarombo
ini adalah kaum laki-laki yang sudah berkeluarga.
Suku
Batak mempercayai satu nenek moyang, yaitu Si Raja Batak. Dari cerita suci (tarombo)
yang masih dipercaya sampai saat ini menyebutkan bahwa seluruh suku Batak
merupakan turunan Si Raja Batak dan bermukim pertama kali di kaki gunung Pusuk
Buhit yaitu Sianjur Mula-mula (Sinaga, 1997: 40). Karena perkembangan
keturunannya semakin banyak, dan sumber makanan semakin berkurang sehingga
keturunan Si Raja Batak berpencar ke daerah Humbang, Simalungun, Karo,
Mandailing, dan Pakpak. Akibat perpindahan ini sehingga menyebabkan suku Batak
mempunyai sub-suku-suku.
Praktik
upacara perkawinan Batak Toba di Kota Medan sangat bervariasi baik dari segi
tempat upacara, jumlah orang yang diundang dan tahapan pelaksanaan. Terjadinya
variasi ini diakibatkan tidak ada tempat khusus untuk melangsungkan upacara
perkawinan seperti di Kota Jakarta dan Kota kota besar lainnya sehinga mereka
menggunakan berbagai macam tempat.
b. Tempat
Pelaksanaan
Suku Batak Toba
umumnya memeluk agama Kristen, sehingga upacara perkawinan dilaksanakan sesuai
dengan ajaran agama Kristen. Menurut agama Kristen, perkawinan itu sakral
dikarenakan suami hanya boleh memiliki satu isteri, sebaliknya isteri hanya
boleh memiliki satu suami. Selain itu, suami tidak boleh menceraikan isterinya
dan juga sebaliknya, isteri tidak boleh menceraikan suami dengan alasan apapun
kecuali karena kematian. Dengan demikian hanya kematian yang boleh menceraikan
suami isteri dalam keluarga Kristen.
Upacara
perkawinan Kristen yang sangat sakral memerlukan tempat yang sakral juga (bukan
sembarangan) tempat yang dianggap sakral adalah di dalam gereja. Gereja
merupakan tempat yang sakral bagi orang Kristen sehingga upacara perkawinan
secara keagamaan dilaksanakan umumnya di dalam gedung gereja. Upacara
perkawinan secara agama yang dilakukan dalam gereja tidak memerlukan biaya yang
tinggi (biasanya hanya berbentuk ucapan syukur) karena gedung gereja bukan
tempat komersil, dan setiap jemaat yang memerlukan fasilitas di gereja tidak
pernah disewakan seperti gedung-gedung umum lainnya.
Fenomena
konsumerisme di atas sesuai dengan pendapat Baudrillard, menyatakan bahwa
mekanisme sistem konsumsi pada dasarnya berangkat dari sistem nilai tanda dan
nilai simbol, dan bukan karena kebutuhan atau hasrat mendapatkan kenikmatan.
Pada masyarakat konsumen, konsumsi sebagai pemaknaan tidak lagi diatur oleh
faktor kebutuhan semata namun lebih dari fungsi itu adalah seperangkat hasrat
untuk mendapatkan kehormatan, prestise, status dan identitas melalui mekanisme
penandaan.
Kebiasaan
bagi komunitas Batak Toba, seusai upacara perkawinan secara agama kemudian
dilanjutkan dengan upacara perkawinan secara adat. Pada masyarakat sederhana
atau mereka yang tinggal di daerah asal Tapanuli, pelaksanaan upacara
perkawinan dilangsungkan di halaman rumah. Komunitas Batak Toba yang tinggal di
Kota Medan untuk melangsungkan upacara perkawinan bukan lagi di halaman rumah
tetapi di gedung pertemuan atau hotel berbintang.
Objek
pendukung yang sangat banyak tersedia di Kota Medan, mengakibatkan komunitas
Batak Toba mempunyai banyak pilihan sesuai dengan selera masing-masing. Pilihan
yang banyak sebagai tempat untuk melangsungkan upacara perkawinan bukan
membantu masyarakat melainkan menciptakan hasrat yang tak pernah terpuaskan.
Hasrat yang tak pernah terpuaskan berimplikasi kepada budaya konsumerisme yang
dipraktikkan dalam upacara perkawinan.
c. Susunan Acara
Pernikahan
Susunan
acara pernikahan yang wajib dijalani oleh setiap suku Batak Toba yang akan
menikah yakni:
1.
Mangarisika. Adalah kunjungan utusan
pria yang tidak resmi ke tempat wanita dalam rangka penjajakan. Dalam
pernikahan adat Batak, terdapat beberapa prosesi besar yaitu : peminangan maka
pihak orang tua pria memberikan tanda mau (tanda holong dan pihak wanita
memberi tanda mata). Jenis barang-barang pemberian untuk pernikahan adat batak
dapat berupa kain, cincin emas, dan lain-lain.
2.
Marhori-hori Dinding/marhusip. Pembicaraan
antara kedua belah pihak yang melamar dan yang dilamar, terbatas dalam hubungan
kerabat terdekat dan belum diketahui oleh umum.
3.
Marhata Sinamot. Pihak kerabat
mempelai pria (dalam jumlah yang terbatas) datang kepada kerabat mempelai
wanita untuk melakukan marhata sinamot, membicarakan masalah uang jujur
(tuhor).
4.
Pudun Sauta. Pihak kerabat pria tanpa
hula-hula mengantarkan wadah sumpit berisi nasi dan lauk pauknya (ternak yang
sudah disembelih) yang diterima oleh pihak parboru dan setelah makan bersama
dilanjutkan dengan pembagian Jambar Juhut (daging) kepada anggota kerabat, yang
terdiri dari:
a)
Kerabat marga ibu (hula-hula)
b)
Kerabat marga ayah (dongan tubu)
c)
Anggota marga menantu (boru)
d)
Pengetuai (orang-orang tua)/pariban
e) Diakhir kegiatan Pudun Saut maka pihak keluarga
wanita dan pria bersepakat menentukan waktu Martumpol dan Pamasu-masuon.
5.
Martumpol (baca : martuppol). Penanda-tanganan
persetujuan pernikahan adat oleh orang tua kedua belah pihak atas rencana
perkawinan anak-anak mereka dihadapan pejabat gereja. Tata cara Partumpolon
dilaksanakan oleh pejabat gereja sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Tindak
lanjut Partumpolon adalah pejabat gereja mewartakan rencana pernikahan dari
kedua mempelai melalui warta jemaat, yang di HKBP disebut dengan Tingting (baca
: tikting). Tingting ini harus dilakukan duakali hari minggu berturut-turut.
Apabila setelah dua kali tingting tidak ada gugatan dari pihak lain baru dapat
dilanjutkan dengan pemberkatan nikah (pamasu-masuon). Seluruh pasangan dalam
penelitian ini menggunakan adat ini, karena adat istiadat ini sudah merupakan
rangkaian adat dalam pernikahan adat Batak.
6.
Martonggo Raja atau Maria Raja. Adalah
suatu kegiatan pra pernikahan adat yang bersifat seremonial yang mutlak
diselenggarakan oleh penyelenggara pernikahan adat yang bertujuan untuk :
a) Mempersiapkan kepentingan pernikahan adat yang
bersifat teknis dan non teknis.
b) Pemberitahuan pada masyarakat bahwa pada waktu
yang telah ditentukan ada pernikahan adat pernikahan dan berkenaan dengan itu
agar pihak lain tidak mengadakan pernikahan adat dalam waktu yang bersamaan.
c) Memohon izin pada masyarakat sekitar terutama
dongan sahuta atau penggunaan fasilitas umum pada pesta yang telah
direncanakan.
7.
Manjalo Pasu-pasu Parbagason
(Pemberkatan Pernikahan). Pengesahan pernikahan adat kedua
mempelai menurut tatacara gereja (pemberkatan pernikahan oleh pejabat gereja).
Setelah pemberkatan pernikahan selesai maka kedua mempelai sudah sah sebagai
suami-istri menurut gereja. Setelah selesai seluruh acara pamasu-masuon, kedua
belah pihak yang turut serta dalam acara pamasu-masuon maupun yang tidak pergi
menuju tempat kediaman orang tua/kerabat orang tua wanita untuk mengadakan
pesta unjuk. Pesta unjuk oleh kerabat pria disebut Pesta Mangalap parumaen
(baca : parmaen).
8. Pesta Unjuk. Suatu
acara perayaan yang bersifat sukacita atas pernikahan adat putra dan putri.
Ciri pesta sukacita ialah berbagi jambar : Jambar yang dibagi-bagikan untuk
kerabat parboru adalah jambar juhut (daging) dan jambar uang (tuhor ni boru) dibagi
menurut peraturan. Jambar yang dibagi-bagikan bagi kerabat paranak adalah
dengke (baca: dekke) dan ulos yang dibagi menurut peraturan. Pesta Unjuk ini
diakhiri dengan membawa pulang pengantin ke rumah paranak.
9. Mangihut di ampang (dialap jual). Yaitu
mempelai wanita dibawa ke tempat mempelai pria yang dielu-elukan kerabat pria
dengan mengiringi jual berisi makanan bertutup ulos yang disediakan oleh pihak
kerabat pria.
10. Ditaruhon
Jual. Jika pesta untuk pernikahan itu dilakukan di rumah
mempelai pria, maka mempelai wanita dibolehkan pulang ke tempat orang tuanya
untuk kemudian diantar lagi oleh para namborunya ke tempat namborunya. Dalam
hal ini paranak wajib memberikan upa manaru (upah mengantar), sedang dalam
dialap jual upa manaru tidak dikenal.
11.
Paranak makan bersama di tempat kediaman
si Pria (Daulat ni si Panganon). Setibanya pengantin wanita beserta
rombongan di rumah pengantin pria, maka diadakanlah acara makan bersama dengan
seluruh undangan yang masih berkenan ikut ke rumah pengantin pria. Makanan yang
dimakan adalah makanan yang dibawa oleh pihak parboru.
12.
Paulak Unea. Setelah satu, tiga, lima
atau tujuh hari si wanita tinggal bersama dengan suaminya, maka paranak,
minimum pengantin pria bersama istrinya pergi ke rumah mertuanya untuk menyatakan
terima kasih atas berjalannya acara pernikahan dengan baik, terutama keadaan
baik pengantin wanita pada masa gadisnya (acara ini lebih bersifat aspek hukum
berkaitan dengan kesucian si wanita sampai ia masuk di dalam pernikahan).
Setelah selesai acara paulak une, paranak kembali ke kampung
halamannya/rumahnya dan selanjutnya memulai hidup baru. Seluruh pasangan dalam
penelitian ini tidak lagi menjalankan adat istiadat ini. Hal ini dikarenakan
mereka menggangap prosesi ini tidak lagi menjadi hal yang penting dalam
prosesi.
13.
Manjahea. Setelah beberapa lama
pengantin pria dan wanita menjalani hidup berumah tangga (kalau pria tersebut
bukan anak bungsu), maka ia akan dipajae, yaitu dipisah rumah (tempat tinggal)
dan mata pencarian. Seluruh pasangan dalam penelitian ini tidak lagi
menjalankan adat istiadat ini. Hal ini dikarenakan mereka menggangap prosesi
ini tidak lagi menjadi hal yang penting dalam prosesi. Karena rata-rata jika
sudah menikah mereka memang hidup terpisah dari orangtua masing-masing.
14.
Maningkir Tangga (baca : manikkir
tangga). Beberapa lama setelah pengantin pria dan wanita
berumah tangga terutama setelah berdiri sendiri (rumah dan mata pencariannya
telah dipisah dari orang tua si laki-laki) maka datanglah berkunjung parboru
kepada paranak dengan maksud maningkir tangga (yang dimaksud dengan tangga
disini adalah rumah tangga pengantin baru). Dalam kunjungan ini parboru juga
membawa makanan (nasi dan lauk pauk, dengke sitio tio dan dengke
simundur-mundur). Dengan selesainya kunjungan maningkir tangga ini maka
selesailah rangkaian pernikahan adat na gok. Seluruh pasangan dalam penelitian
ini tidak lagi menjalankan adat istiadat ini. Hal ini dikarenakan mereka
menggangap prosesi ini tidak lagi menjadi hal yang penting dalam prosesi.
Padahal dalam prosesi pernikahan adat Batak seharusnya prosesi ini menjadi
prosesi adat yang terakhir.
Konsumerisme
merupakan perilaku etnik Batak Toba dalam upacara perkawinan yang mengkonsumsi
secara berlebihan atau tidak sepantasnya dari sudut kuantitas dan kualitas,
baik berbentuk materi ataupun non materi. Konsumerisme dalam bentuk materi
terjadi dalam hal: (1). Jumlah mahar atau sinamot yang tinggi; (2).
Tempat pelaksanaan pesta perkawinan di gedung yang mewah; (3). Mengundang
banyak orang; (4). Menggunakan perlengkapan mewah.
Selain konsumerisme
dalam bentuk materi, pelaksanaan upacara Batak Toba di Kota Denpasar juga
terjadi konsumerisme non materi. Hal ini dapat diamati dari: (1). Pola pikir
yang ingin cepat; (2). Tindakan yang ingin cepat; (3). Pekerjaan yang diukur
berdasarkan untung rugi; (4). Meniru perilaku orang lain di luar budayanya
tanpa mengerti makna dari perilaku tersebut: (5). Menggunakan tahapan-tahapan
yang panjang.
Gaya
hidup konsumerisme merupakan gaya hidup yang didorong oleh logika hasrat dan
keinginan ketimbang logika kebutuhan. Budaya konsumerisme sangat berhubungan
dengan lingkungan urban, karena di perkotaan ruang untuk konsumsi itu sangat
mendukung. Di dalam gaya hidup konsumerisme, objek-objek dikonsumsi sebagai
medium untuk menyatakan identitas diri, status, simbol sebagai logika tanda
(Piliang, 2011: 238). Dalam upacara perkawinan Batak Toba objek dan tanda
banyak dikonsumsi demi menunjukkan identitasnya.Konsumerisme dapat terjadi dari
segi kuantitas (jumlah yang dikonsumsi melebihi kebutuhan) dan juga kualitas
(kualitas tertentu).Teori konsumerisme digunakan untuk menganalisis bentuk
konsumerisme dalam upacara perkawinan Batak Toba yang terjadi di Kota Medan.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari
setiap proses penelitian dan penyusunan laporan penelitian kami ini maka kami
mengambil kesimpulan atas topik yang sedang kami bahas yakni:
1. Dalihan Na Tolu
tidak bisa dipisahkan dari kehidupan sosial masyarakat Batak Toba. Dalihan Na Tolu sebagai warisan
kebudayaan dari generasi terdahulu pencipta kebudayaan telah menjelma sebagai
nilai budaya bagi generasi Batak Toba yang ada pada generasi sekarang ini.
Setiap tindak tanduk masyarakat Batak Toba telah diatur secara mendasar dalam
falsafah Dalihan Na Tolu yang mengatakan somba marhula-hula, manat mardongan tubu, elek marboru. Hal ini
merupakan uhum (hukum) dasar dalam kehidupan sosial masyarakat Batak Toba. Dalihan Na Tolu tidak hanya dipandang
sebagai satu struktur yang menjelaskan posisi dan tanggung jawab seseorang dalam
acara adat namun menjadi landasan bagi masyarakat, bagaimana berfikir,
bertingkahlaku dan berbicara dengan manusia sekitarnya sehingga dapat tercipta
kehidupan yang harmonis bagi seluruh lapisan masyarakat.
2. Adapun
susunan acara yang akan dilalui dan dijalani oleh setiap anggota suku Batak
Toba ketika menikah adalah: Mangarasika, Marhori-hori dinding/ marhusip,
Marhata Sinamot, Pudun Sauta, Martumpol, Martonggo Raja atau Maria Raja,
Manjalo Pasu-pasu Parbagason, Pesta unjuk, Mangihut ampang, Ditaruhon jual,
Daulat ni si Panganon, Paulak Unea, Manjahea dan yang terakhir Maningkir
Tangga.
B. Saran
Saran kelompok kami melalui penelitian ini adalah:
1.
perlu dijaga dan disosialisasikan istilah-istilah dalam acara adat Batak Toba
kepada generasi muda. Hal ini untuk menghindari adanya salah pengertian dalam
masyarakat untuk masa yang akan datang. Terkadang dalam satu kasus ada beberapa
istilah adat Batak Toba yang ditumpang tindih sehingga memungkinkan terjadinya
salah pengertian. Tokoh-tokoh adat yang diakui oleh para warga setempat
haruslah mampu mengatur setiap prosesi pernikahan yang dilaksanakan oleh para
kaum muda atau generasi muda saat ini agar kiranya tetap sejalan dan tidak
menhilangkan makna dari setiap prosesi yang mereka jalankan, dan agar diberikan
pemahaman penuh agar jangan sampai pengaruh modernisasi yang mendominasi setiap
acara pernikahan namun nilai budayanya harus tetap ada karena kalau tidak kita
yang melestarikan budaya kita maka budaya kita akan memudar dan hilang.
2.
Pemahaman terhadap Dalihan Na Tolu harus
tetap dipertahankan dengan cara selalu disosialisasikan kepada generasi muda.
Paham akan nilai-nilai yang terkandung dalam Dalihan Na Tolu akan menuntun masyarakat Batak Toba untuk hidup
sesuai dengn aturan dan terciptanya interaksi sosial yang harmonis. Generasi
akan paham bagaimana seharusnya ia akan bersikap kepada hula-hulanya, dongan
tubunya, dan kepada ito (borunya) dalam kehidupan sekarang hingga kehidupannya
di masa mendatang. Dengan memahami nilai yang terkandung dalam Dalihan Na Tolu, kelak seseorang akan
mengetahui peran dan tanggung jawabnya dalam adat maupun dalam interaksi sosial
lain masyarakat sehingga dapat dipertahankan generasi yang maradat (memahami sopan santun).
DAFTAR PUSTAKA
Referensi Buku:
Barker, C. (2004). Cultural
Studie Teori dan praktik. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Bungin, B. (2001). Metode
Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Koentjaraningrat. (1993:85). Kebudayaan, metode dan Peran Budaya.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Lilieni, A. (2007). Dasar-dasar
Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nainggolan, T. (2012). Batak Toba Sejarah dan Transformasi
Religi. Medan: Bina Media Perintis.
Piliang, Y. (2011). Tamasya
melalui Batas-batas Budaya. Bandung: Matahari.
Rahardjo, S. (1986). Ilmu Hukum.
Semarang: Alumni Bandung.
Satyananda, I. M. (2013). Kearifan
Lokal. Bandung: Ombak.
Simajuntak, B. A. (2011). Pemikiran tentang Batak.
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Soekanto, S. (1981). Hukum Adat
Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Subekti. (1987). Hukum
Perjanjian. Jakarta: PT Intermasa.
Referensi Jurnal:
Elqorni, A. (2008). Budaya Sumatera
Suku Batak. Dalam Jurnal Antropologi.
Hendra. (2013). Studi atas Posisi
Totua Ngata sebagai Lembaga Adat. Dalam Jurnal Antropologi Indonesia
Vol. 34 No. 1 , 5-6.
Isnaini, E. (2012). Kedudukan Anak
Karena Kawin Hamil Menurut Hukum Perdata. Dalam jurnal Independent Volume 2 , 11.
Manik, H. S. (2012). Makna dan
Fungsi Tradisi Sinamot dalam Adat Perkawinan. Dalam Jurnal Bio kultur
vol. I No.1 , 19.
Mulyana, D. (1996). Komunikasi
Budaya. Jurnal Sisiologi , 35.
Pakpahan, F. B. (2013). Fungsi
Komunikasi Antar Budaya Dalam Prosesi Pernikahan Adat Batak. Dalam eJournal Ilmu Komunikasi , 7-8.
Pardosi, J. (2008). Makna Simbolik
Umpasa, Sinamot, Dan Ulos Pada Adat.
Dalam Jurnal Ilmiah Bahasa Dan Sastra Volume IV No. 2 , 3.
Purba, M. (2005). From Conflict to
Reconciliation: The Case of the Gondang Sabangunan in the Order of Disciplin of
the Toba Batak Protestant Church.” dalam
Journal of South East Asian Studies. Journal of Musicological
Research Vol. 36. Number 2 .
Purba, M. (2002). Gondang
Sabangunan Ensamble Music of the Batak Toba People: Musical Instrumens,
Structure, and Terminology. Dalam Journal
of Musicological Research. Vol. 21 Numbers 1-2 , 13.
Rahayu, K. (2012). Arti Penting
Folklor dan Traditional Knowledge Bagi Indonesia Sebagai “The Country of
Origin.”. Dalam Jurnal Universitas Pancasakti Tegal. Vol. 5. Nomor 8
.
RAMSIS. (2015). Perubahan Proses
Perkawinan Masyarakat. Dalam eJournal Sosiatri - Sosiologi Volume 3,
Nomor 2 , 3.
Simangunsong, E. (2013:34). Perubahan
dan Kesinambungan Tradisi Gondang dan Tortor dalam Pesta Adat Perkawinan pada Masyarakat
Batak Toba di Medan. Dalam Jurnal
Musikologi. Vol. 21. Nomor 2 .
Simanungkalit, D. A. (2011). Deskripsi
Kebudayaan Batak Toba Sebagai Latar Belakang Budaya Para Anggota Marsada Band. Dalam Jurnal Musikologi. Vol. 21. No. 2
.
Soemali. (2011). Perkawinan Adat
Sumbawa Dan Permasalahan Hak. Dalam Jurnal Fakultas Hukum Volume Xx, No.
20 , 3.
Udjiwati, L. (2010). Judicial
Review Abaut Procedures Of Religion. Dalam
Jurnal Media Soerjo Vol. 6 No. 1 , 4-5.
Yusrina. (2003). Dalihan Na Tolu Di
Rantau: Kajian Perubahan Dan Rekonstruksi Nilai- Nilai Dalihan Na Tolu Pada
Generasi Muda Ikatan Batak Muslim (Ikabamus) Lampung. Dalam Jurnal
Sociologie, Vol. 1, No. 4 , 290-298.
HIS Graha Elnusa Hubungi : 0822 – 9914 – 4728 (Rizky)
BalasHapusMenikah adalah tujuan dan impian Semua orang, Melalui HIS Graha Elnusa Wedding Package , anda bisa mendapatkan paket lengkap mulai dari fasilitas gedung full ac, full carpet, dan lampu chandeliar yg cantik, catering dengan vendor yang berpengalaman, dekorasi, rias busana, musik entertainment, dan photoghraphy serta videography. Kenyaman dan kemewahan yang anda dapat adalah tujuan utama kami.