BAB I
PENDAHULUAN
Wajah
Indonesia masa depan dapat tergambar dari potret para generasi muda masa kini.
Mental, karakter, eksistensi, kemampuan, dan peran pemuda sangat menentukan
arah masa depan bangsa. Eksistensi Indonesia di masa lalu sangatlah ditentukan
oleh kepiawaian dan kekuatan para pemuda dalam menopang beban bangsa ini.
Sungguh sebuah posisi strategis bagi para pemuda dalam arus sejarah bangsa.
Oleh karena itu masa depan bangsa Indonesia adalah karakteristik pemuda yang
ada saat ini. Merekalah nahkoda yang aka membawa perahu besar yaitu Negara
Indonesia untuk mengarungi lautan, membawa perahu tersebut selamat dalam
pelayaran atau mungkin sebaliknya, membuat perahu itu tenggelam karena menabrak
“karang” globalisasi.
Ditengah-
tengah modernisasi banyak kaum Generasi Muda yang semakin tidak memiliki
karakter, hal ini disebabkan karena semakin minimnya sekolah-sekolah yang
meberikan pendidikan moralitas maupun karakter kepada anak didik sehingga
lahirlah para Generasi Muda tanpa karakter. Melihat hal yang demikian maka saat
ini setiap sekolah memilikimisi menghasilkan anak bangsa yang berkarakter.
Tolok ukur keberhasilan suatu negara atau bangsa adalah keberhasilan generasi
muda dimasa yang akan datang, karena mempertahankan keberhasilan biasanya lebih
sulit dari pada merebut keberhasilan itu sendiri.
Generasi
muda merupakan penerus tongkat estafet kepemimpinan, perjuangan untuk tetap
berdiri kokoh, seiring dengan tugas tersebut, kompetisi diberbagai bidang juga
semakin tinggi yang disebabkan oleh derasnya arus perputaran modal jasa
keseluruh pelosok dunia yang mempengaruhi integritas nasional, kesemuanya hanya
mungkin dijalani dengan kualitas kompetensi yang berdaya saing tinggi.
Globalisasi merupakan konsep yang banyak digunakan untuk merespon kondisi dunia
yang tanpa batas atau sekat. Salah satu realitas yang harus selalu dikritisi
untuk menyikapi globalisasi adalah bahwa globalisasi dengan modernisasi ternyata
telah menggerus bahkan telah mematikan nilai-nilai kearifan lokal suatu daerah.
Dalam rangka membangun pendidikan karakter bangsa melalui budaya kerarifan
lokal perlu dilakukan pengkajian, dan pengembangan karakter dengan fokus
menanamkan pada pilar nilai-nilai luhur universal.
Sejak
tahun 1990-an, terminologi pendidikan karakter mulai ramai di bicarakan. Thomas
Lickona dianggap sebagai pengusungnya melalui karyanya yang sangat memukau “The
Return of Character Education”. Beliau menyatakan bahwa pendidikan karakter
adalah sebuah keharusan. Pendidikan karakter adalah sebuah upaya untuk
membimbing perilaku manusia menuju standar-standar baku. Fokus pendidikan
karakter adalah pada tujuan-tujuan etika, tetapi prakteknya meliputi penguatan
kecakapan-kecakapan yang penting yang mencakup perkembangan sosial siswa.
Pada
hakikatnya, pembangunan dan pembaharuan memerlukan penerapan ilmu dan teknologi
semakin tinggi, sehingga diperlukan tenaga-tenaga terampil, berkualitas tinggi, dan memiliki karakter
yang baik, di samping kesiapan mental spiritual dan kondisi fisik yang telah
mapan.
Dengan
demikian maka sangat jelas, bahwa generasi muda harus sungguh-sungguh
mempersiapkan diri. Sekolah-sekolah, akademi, dan Perguruan tinggi sebagai
lembaga pendidikan formal, di samping pendidikan informal tempat menempa diri
bagi generasi muda. Dengan begitu, generasi muda diharapkan dalam turut aktif
mengisi kemerdekaan dan sebagai pelaku pembangunan bangsa, dapat tampil dengan
kesiapan yang mantap. Dapat bertindak dan berpikir rasional, demokratis dan
pragmatis. Selalu bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, cinta bangsa, cinta
tanaha air serta cinta kesatuan dan persatuan dalam kebersamaan menyongsong
hari esok yang lebih cerah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pendidikan Karakter Bagi Generasi Muda
Sebenarnya
pendidikan karakter ini sudah ada sejak lama bangsa Indonesia ini berdiri, para
pendiri negara Indonesia ini menuangkannya ke dalam Pembukaan UUD 1954 alenia
ke 2 dengan pernyataan yang tegas, ”mengantarkan rakyat Indonesia ke depan
pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat,
adil dan makmur. Para pendiri negara menyadari bahwa hanya dengan menjadi
bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmurlah bangsa Indonesia
menjadi bermartabat dan dihormati bangsa-bangsa lain. Sejak awal Indonesia
merdeka , pendidikan karakter itu sendiri telah digagas para pemikir pendiri
bangsa Indonesia, terutama oleh persiden pertama kita Ir. Soekarno, melalui
gagasannya tentang pembentukan karakter bangsa (Nation and Character
Building ), tentang Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, serta
relevansi, tantangan dan perkembangan bagi pendidikan karakter di Indonesia. (Afandi, 2011, hal. 2)
Pendidikan
adalah usaha yang sadar dan sistematis dipakai dalam hal mengembangkan potensi
peserta didik. Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian
seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues)
yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir,
bersikap, dan bertindak atau dapat juga dikatakan karakter adalah sifat pribadi
yang relatif stabil pada diri individu yang menjadi landasan bagi penampilan
perilaku dalam standar nilai dan norma yang tinggi. (Prayitno, 2010, hal. 38)
Pendidikan karakter adalah suatu sistem
penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen
pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan
nilai-nilai tersebut. Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai: the deliberate
use of all dimensions of school life
to foster optimal
character development. (Budiwibowo,
2013, hal. 4).
Durkheim
juga mengemukakan bahwa tiap-tiap guru harus mampu mengembangkan cita-cita
moral yang ada di balik sistem aturan yang telah dikembangkan dan memberi
peluang kepada generasi mendatang untuk memnuhi tuntutan-tuntutan validitas
yang baru, dalam artian mempunyai otonomi yang lebih individual sifatnya.
Idealis semacam ini harus direkonstruksikan oleh generasi baru dengan
memperluas masingmasing konsep moral sampai didapat generalisasinya. (Haricahyono, 1995, hal. 203)
Pendidikan
Moral adalah satu kegiatan membantu anak untuk menuju ke arah yang sesuai
dengan kesiapan mereka, dan tidak sekedar memaksakan pola-pola eksternal
terhadapnya. Perana guru adalah memperkenalkan anak dengan masalah-masalah
konflik moral yang realistik.
Konsepsi
moralitas terdiri atas kepatuhan pada hukum moral, konformitas aturan sosial,
otonomi rasional dalam hubungan antar pribadi dan otonomi eksistensial dalam
pilihan seseorang.
Pendidikan
moral atau nilai dapat disampaikan dengan metode langsung atau tak langsung.
Metode langsung mulai dengan penentuan perilaku yang dinilai baik, sebagai
upaya indoktrinasi berbagai ajaran. Caranya dengan memusatkan perhatian secara
langsung pada ajaran tersebut, lewat mendiskusikan, menilustrasikan,
menghafalkan, dan mengucapkannya.metode tak langsung tidak dimulai dengan
menentukan perilaku yang baik dapat dipraktikkan. Keseluruhan pengalaman di
sekolah dimanfaatkan untuk mengembangkan perilaku baik.
Indoktrinasi
menghasilkan dua kemungkinan. Pertama,
nilai-nilai yang diindoktrinasikan diserap, bahkan dihafal diluar kepala,
tetapi tidak terinternalisasi apalagi teramalkan. Kedua, nilai-nilai tersebut
diterapkan dalam kehidupan, tetapi berkat pengawasan pihak penguasa, bahkan
bukan atas kesadaran diri. Supaya pendidikan moral/nilai tidak bersifat
indoktrinatif, subjek didik perlu didorong untuk dapat menemukan alasan-alasan
yang mendasari keputusan moral. Tujuannya untuk mengembangkan kemampuan
mengontrol tindakan.
Masalah
yang dihadapi oleh lembaga pendidikan adalah banyaknya norma yang muncul dalam
masyarakat sehingga sangat sulit untuk menentukan norma apa yang akan diacu.
Pendidikan moral/nilai hendaknya difokuskan pada kaitan antara pemikiran moral
dan tindakan bermoral. Namun, perlu diingat bahwa tindakan moral selaras dengan
pemikiran moral hanya mungkin lewat pencerdasan emosional dan spiritual serta
pembiasaan. Pendidikan moral hendaknya menumbuhkan kemandirian. (Zuchdi, 2008,
hal. 3-5)
Pendidikan karakter bertujuan
menciptakan seseorang/mahasiswa agar memiliki kerendahan hati, memiliki keberanian
(courage) dalam arti mereka benar-benar punya keberanian menegakkan sesuatu
yang dianggap benar dan bertanggung jawab, serta tidak memiliki keraguan.
Bukankah kegagalan yang kita dengar selama ini tentang sikap dan perilaku para
koruptor telah melukai suatu martabat dan kepribadian seseorang, disamping itu
pendidikan karakter ini bisa memiliki integritas (kejujuran/ketulusan/keutuhan),
memberikan pelayanan bersifat tulus tanpa pamrih dan tidak korup, memiliki rasa
haru atau belas kasihan (compassion), memiliki rasa perikemanusian,
mudah berempati dengan yang dialami oleh orang lain seperti susah, sedih, tidak
gampang membuat orang lain tersinggung, marah tetapi memiliki semangat kerja
yang tinggi dalam upaya meningkatkan kekuatan yang ada dalam diri setiap
mahasiswa/seseorang.
Beberapa ciri orang yang memiliki
karakter menurut Kirschenbaum (1995) antara lain:
·
hormat, tanggung jawab, peduli,
disiplin, loyal, berani, dan toleran. Seseorang yang berkarakter mulia memiliki
pengetahuan tentang potensi dirinya, yang ditandai dengan nilai-nilai seperti
percaya diri,
·
rasional, logis, kritis, analitis,
kreatif dan inovatif, mandiri, hidup sehat, bertanggung jawab, sabar, berhati-hati,
rela berkorban, pemberani, dapat dipercaya, jujur, menepati janji, adil, rendah
hati, ramah, cinta keindahan (estetis), sportif, dan tabah. Individu juga
memiliki kesadaran untuk berbuat yang terbaik atau unggul, dan bertindak sesuai
potensi dan kesadarannya. Individu yang berkarakter baik atau unggul adalah
seseorang yang berusaha melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan YME, dirinya,
sesama, lingkungan, bangsa dan negara serta dunia internasional pada umumnya
dengan mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya dan disertai dengan
kesadaran, emosi dan motivasinya (perasaannya).
David Elkind dan Sweet (2004) menyatakan
bahwa pendidikan karakter merupakan upaya-upaya untuk membantu peserta didik
memahami, peduli, dan berperilaku sesuai nilai-nilai etika yang berlaku. Lebih
lanjut dijelaskan bahwa pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang
dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu
membentuk watak peserta didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku
guru, cara guru berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi,
dan berbagai hal terkait lainnya.
Menurut Ramli (2001), pendidikan
karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan
akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang
baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Adapun kriterianya adalah
nilai-nilai sosial tertentu yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan
bangsanya.
Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan
karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pedidikan nilai, yakni
pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia
sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda.
Dengan demikian, sangat wajar apabila
dikatakan bahwa persoalan karakter merupakan hal yang amat sulit bila
haltersebut tidak dipahami dalam kehidupan kita dimanapun kita berada.
Kenyataan tentang sulitnyapersoalan sikap dan tingkah laku inilah yang kemudian
menempatkan pentingnya pendidikan karakter. (Tanis, 2013, hal. 4)
B. Implementasi Pendidikan Karakter Bagi Generasi Muda
Nilai-nilai karakter-cerdas diperlukan
dalam wilayah pribadi sampai wilayah kehidupan berbangsa. Melihat terjadinya
dekadensi moral pada generasi muda saat ini adalah merupakan cerminan moral
dari para generasi tuanya atau teladannya, tentu di samping dari efek
globalisasi yang tidak bisa dipungkiri. Sebab berdasar teori sosiologi, setiap
generasi muda akan meniru (bercermin) dari apa yang dilakukan oleh generasi
tuanya. Manakala moral generasi tuanya rusak, maka rusak pula moral generasi
mudanya seperti yang terjadi sekarang ini. Maka dari itu sebelum menyalahkan
para generasi muda, menurut hemat penulis lebih bijak bila para generasi tua
pun mau instropeksi diri.
Di dalam era globalisasi salah satu
masalah yang menonjol ialah kedudukan Negara-bangsa (nation-state).
Huntington 5 sudah mengkhawatirkan terjadinya erosi dari peranan nation-state
di dalam era globalisasi. Menurut Huntington bangsa dan Negara berbeda secara
mendasar. Bangsa merupakan suatu masyarakat etnis dan budaya. Inilah yang merupakan sumber
jati diri dari bangsa itu. Negara merupakan suatu lembaga politik. Dan inilah
yang merupakan sumber kekuasaan. Di dalam era globalisasi, sumber kekuasaan tentunya
bukan lagi mutlak dari Negara.
Oleh sebab peranan Negara semakain
berkurang maka suatu Negara akan mengalami kesulitan di dalam legitimasinya.
Bangsa di dalam era globalisasi relative akan lebih mempan dari
tabrakan. Bukankah suatu masyarakat etnis dengan budayanya merupakan suatu
benteng yang kuat karena merupakan sumber dari jati diri kelompok masyarakat.
Di dalam era globalisasi yang akan survive di dalam terapan gelombang
perubahan ialah kelompok yang mempunyai jati diri. Tidak mengherankan apabila
Huntington dalam The Clash of Civilizations and the Remaking of World
Order memprediksikan hapusnya Negara-negara dan lahirnya kelompok-kelompok
budaya yang besar. (Huda, 2012,
hal. 3)
Muatan nilai-nilai karakter yang
terdapat dalam pembelajaran pada saat melakukan kegiatan pembelajaran meliputi;
nilai Disiplin (discipline), Rasa hormat dan perhatian (respect),
Tekun (diligence), Tanggung jawab (responsibility), Dapat
dipercaya (trustworthiness), Berani (courage), Ketulusan
(honesty), Inegritas (integrity), Peduli (caring), Jujur (fairness),
Kewarganegaraan (citizenship), Ketelitian (carefulness). (Zulnuraini, 2012, hal. 1)
Mahasiswa pada saat ini merupakan
harapan bagi masyarakat karena dapat melakukan perubahan di masyarakat (Agent
of change). Sebagai salah satu potensi, mahasiswa juga bagian dari kaum
muda dalam tatanan masyarakat yang mau tidak mau pasti terlibat langsung dalam
tiap fenomena sosial, harus mampu mengimplementasikan kemampuan keilmuannya
dalam akselerasi perubahan dunia ke arah berkeadaban. karena mahasiswa adalah
figur yang penting dalam melakukan pembangunan bangsa kearah yang lebih maju serta
menjadi alat perubahan dan kontrol terhadap suatu kebijakan yang terjadi dalam
pemerintahan. Mahasiswa sebagai peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha
mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada
jalur, jenjang, dan satuan pendidikan tertentu. Oleh karena mahasiswa merupakan
subyek didik di pendidikan tinggi, maka dalam rangka mencapai tujuan pendidikan
nasional tersebut diperlukan pembimbingan kemahasiswaan yaitu pembimbingan
seluruh kegiatan mahasiswa sebagai peserta didik selama dalam proses
pendidikan.
Mahasiswa merupakan aset bangsa, sebagai
intelektual muda calon pemimpin masa depan. Berdasarkan cita-cita dan semangat Sumpah
Pemuda 1928 yang mengutip arah kebijakan GBHN 1999, yaitu
mengembangkan iklim yang kondusif bagi generasi muda dalam mengaktualisasikan
segenap potensi, bakat dan karakter dengan memberikan kesempataan dan kebebasan
mengorganisasikan dirinya secara bebas dan merdeka, bertakwa, beraklak mulia,
patriotis, demokratis, mandiri, dan tanggap terhadap aspirasi rakyat.Pemerintah
pun mengakui bahwa mahasiswa yang ada di Indonesia ini merupakan calon pemimpin
bangsa dimasa depan dan dapat dijadikan partner untuk bersama-sama membantu
pemerintah membangun negara.
Karena pemerintah merasa para mahasiswa
tersebut adalah sosok yang cakap dengan pendidikan tinggi serta pola pikir yang
memadai, sehingga dapat diajak turut serta dalam usaha-usaha memajukan
kehidupan masyarakat menjadi lebih baik dariyang ada pada saat ini. Tentunya
disesuaikan dengan bidang ilmu yang mahasiswa dapat di masa perkuliahan. Mahasiswa
yang dianggap sebagi calon pemimpin masa depan bangsa, dengan mengikuti
organisasi-organisasi yang ada dalam lingkungan Fakultas maupun Universitas.
Dari mengikuti kegiatan organisasi maka akan diperoleh banyak pengalaman.
Pengalaman-pengalaman itulah kemudian yang akan membentuk karakter mahasiswa
lebih terarah.
Sesuai dengan surat keputusan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 091/0/2004 pasal 8 ayat 1, yang berbunyi : Pendidikan
Karakter Terhadap Pembentukan Perilaku Mahasiswa untuk melaksanakan pendidikan
karakter, peningkatan kepemimpinan, penalaran, minat bakat dan kesejahteraan
mahasiswa dibentuklah organisasi kemahasiswaan. Pada kenyataanya tidak semua
mahasiswa berkeinginan dan mempunyai semangat untuk terlibat secara langsung
dalam berbagai kegiatan dalam lembaga kemahasiswaan khususnya Himpunan
Mahasiswa Jurusan Sosiologi (HMJ). Ada Mahasiswa yang bersifat apatis terhadap
pergerakan-pergerakan yang dilakukan baik itu berupa diskusi, dialog, seminar
dan berbagai kegiatan yang secara langsung maupun tidak akan membetuk karakter
mahasiswa itu sendiri. (Manalu1,
2014, hal. 2-3)
Karakter dibentuk melalui pengembangan
unsur-unsur harkat dan martabat manusia (HMM) yang secara keseluruhan
bersesuaian dengan nilai-nilai luhur pancasila. Lebih rinci harkat dan martabat
manusia meliputi tiga komponen yakni:
·
Hakikat Manusia, meliputi lima unsur,
yaitu bahwa manusia diciptakan sebagai makhluk yang beriman dan bertaqwa,
paling sempurna, paling tinggi derajatnya, khalifah di muka bumi, dan
penyandang Ham (hak asasi manusia). Pembentukan karakter sepenuhnya mengacu
kepada kelima unsur hakikat manusia.
·
Imensi Kemanusiaan, meliputi lima
dimensi, yaitu dimensi kefitraan (dengan kata kunci kebenaran dan keluhuran),
dimensi keindividualan (dengan kata kunci potensi dan perbedaan), dimensi
kesosialan (dengan kata kunci perbedaan), dimensi kesusilaan (dengan kata kunci
nilai dan norma), dan dimensi keragaman (dengan kata kunci iman dan taqwa).
Penampilan kelima unsur dimensi kemanusiaan dalam kehidupan sehari-hari akan
mencerminkan karakter individu yang bersangkutan.
·
Pancadaya Kemanusiaan, meliputi lima
potensi dasra, yaitu daya taqwa, daya cipta, daya rasa, daya karsa dan daya
karya melalui pengembangan seluruh unsur pancadaya inilah pribadi berkarakter
dibangun.
Zaman pasca revolusi menumbuhkan
beberapa sifat kelemahan dalam mentalitas para generasi muda di Indonesia yang
akan menjauhkan diri dari jiwa pembangunan, kehidupan tanpa pedoman dan tanpa
orientasi yang tegas itu adalah: sifat mentalitas meremehkan mutu, mentalitas
suka menerabas, sifat tidak percaya pada diri sendiri, sifat tidak berdisiplin
murni, dan sifat mentalitas yang suka mengabaikan tanggung jawab yang kokoh. (Haricahyono,
1995, hal. 5-6)
Berkembangnya perilaku baru yang sebelum
era global tidak banyak muncul, kini cenderung meluas, yakni:
1.
meningkatnya kekerasan di kalangan
masyarakat;
2.
penggunaan bahasa dan kata-kata yang
memburuk, cenderung tidak menggunakan kata baku;
3.
pengaruh peer-group (geng) yang
kuat dalam tindak kekerasan;
4.
meningkatnya perilaku merusak diri,
seperti penggunaan narkoba, alkohol;
5.
semakin kaburnya pedoman moral baik dan
buruk;
6.
menurunnya etos kerja;
7.
semakin rendahnya rasa hormat kepada
orangtua dan guru;
8.
rendahnya rasa tanggung jawab individu
dan warga negara;
9.
membudayanya ketidakjujuran; dan
10.
adanya rasa saling curiga dan kebencian
di antara sesama.
Disisi lain adanya masyarakat kita yang
sangat sibuk mencari kehidupan duniawi, mengejar harta dan tahta, hingga tega
menyerahkan pendidikan dan pengasuhan balita kepada pembantu yang notabene
kurang memiliki cukup kemampuan sebagai pendidik. Ketika masa remaja tidak terperhatikan, bahkan pembinaan remaja di
luar sekolah maupun di rumah diserahkan kepada masyarakat, yang ternyata
kondisinya tidak kondusif bagi pengembangan karakter. Bahkan sampai masa
dewasa, integrasi masyarakat tidak menentu, saling tidak mempercayai (trust),
kehidupan semu, tidak tulus, Asal Bapak Senang, budaya munafik. Jadi ada
sesuatu yang hilang (nothing to loose) yaitu karakter dan kearifan
lokal.
Akibat dari perkembangan teknologi
komunikasi juga muncul kelompok masyarakat yang merasa mandiri, kemudian muncul
egoisme, asal saya selamat, yang lain
masa bodoh. Bila kita sampai pada pemikiran seperti itu akan sampai pada satu
bahaya besar, karena akan terjadi disintegrasi yang tidak tampak. Disintegrasi
seperti itu baru akan terlihat bila kita telah mengalami suatu musibah besar
seperti perpecahan politik atau serangan dari luar. Jika ini terjadi, negara
hanyalah tinggal sebagai kerangka tetapi isinya keropos. (Noor, 2006, hal. 251)
Perlu diketahui bahwa berbagai
permasalahan generasi muda yang muncul pada saat ini antara lain:
1.
dirasa menurunnya jiwa idealisme, patriotisme
dan nasionalisme di kalangan masyarakat termasuk generasi muda.
2.
Kekurang pastian yang dialami oleh
generasi muda terhadap masa depannya.
3.
Belum seimbang antara jumlah generasi
muda denga fasilitas pendidikan yang tersedia, baik yang formal maupun non-formal.
Pada masa sekarang ini, mayoritas
penduduk dunia terdiri dari generasi muda. Di lima benua dalam lingkup Planet
Bumi hanya sebagian kecil saja wilayah muka bumi yang berpenduduk usia lanjut,
yaitu di daerah eropa, khususnya di Eropa Barat. Generasi muda zaman ini
menempati posisi yang strategis dan khas, karena merekalah yang paling terkena
oleh perkembangan zaman, dan pastilah mereka akan terlibat dalam arus zaman
tersebut.
Suatu studi PBB menyatakan, kini
terdapat suatu perasaan yang semakin tumbuh mengenai kesatuan di antara
generasi muda, suatu perasaan solidaritas dunia dan suatu persaan tanggung
jawab bersama untuk mencapai perdamaian. Generasi muda dunia, kini tengah
mencari suatu identitas yang bersifat universal. Mereka merupakan suatu bentuk
penduduk baru, yang sekaligus lebih gigih dan lebih mampu untuk menyesuaikan
diri dibandingkan dengan orang tua mereka. Mereka pun siap untuk menerima
perubahan dan terbuka terhadap ide baru. Generasi muda dunia segera menguasai
masalah-masalah dunia.
Suatu masalah sentral dalam hubungan
kebudayaan dan pembangunan masa mendatang, adalah sangat dibutuhkan suatu niat
baik dari generasi tua untuk memberi kesempatan kepada genrasi muda untuk
memainkan peranan dalam pembentukan dan pengisian dunia baru. Dengan demikian
generasi tua harus mendorong generasi muda untuk lebih banyak membangun
jaringan-jaringan komunikasi secara rasional, regional maupun internasional.
Generasi tua janganlah menyimpan saran
saja, ide atau pemecahan masalah yang ditimba dari pengetahuan serta pengalaman
yang mendalam, yang berkaitan dengan karya-karya besar mereka pada zamannya.
Generasi tua memiliki kewajiban untuk memberikan motivasi serta mendoorng
generasi muda untuk tampilmberpartisipasi aktif, ikut memikul tanggung jawab
dalam pembangunan.
Dalam
pendidikan, membangun karakter bangsa mencakup upaya untuk mencapai suatu
proses internalisasi pengetahuan yang kemudian dapat berlanjut sampai dengan
terjadinya suatu perubahan. Disini diperlukan adanya perubahan dari segenap komponen
bangsa ini untuk sanggup melakukan pergantian atau perubahan setelah menjalani
setiap proses pembelajaran.
Dalam
dunia pendidikan, keberhasilan pendidikan bukan diukur dari tercapainya target
akademis siswa, tetapi lebih kepada proses pembelajaran sehingga dapat
memberikan perubahan sikap dan perilaku kepada siswa. Masih banyak guru-guru
yang menyatakan bahwa keberhasilan pendidikan hanya diukur dari tercapainya
target akademis siswa, karena sebagian mereka mengajar dengan orientasi bahwa
siswa harus mendapatkan nilai yang bagus sehingga dapat dianggap siswa atau
guru itu telah berhasil melaksanakan pendidikan.
Jika
tidak ada pembelajaran dalam pendidikan, maka hasilnya akan seperti sebelumnya,
dalam arti kata tidak ada perubahan. Kita menginginkan adanya proses
pembelajaran yang dapat memberikan perubahan atau dampak positif pada perilaku
dan sikap pelajar kita sehingga mereka tidak hanya menguasai ilmu pengetahuan
secara akademik tetapi mereka dapat membentuk karakter yang kuat bagi dirinya.
Dalam
menghadapi arus globalisasi yang semakin pesat, karakter bangsa yang kuat
sangat diperlukan, maka dituntut peran penting dari generasi muda, khususnya
perannya sebagai character enabler, character builders dan character
engineer. Tiga peran itu adalah :
Ø Sebagai
Pembangun kembali karakter bangsa (Character builder).
Di tengah-tengah derasnya arus
globalisasi, peran ini tentunya sangat berat, namun esensinya adalah adanya
kemauan keras dan komitmen dari generasi muda untuk menjunjung nilai-nilai
moral untuk menginternalisasikannya pada aktifitas sehari-hari.
Ø Sebagai
Pemberdaya karakter (Character enabler)
Peran ini juga tidak kalah beratnya,
selain kemauan kuat dan kesadaran kolektif dengan kohesivitas tinggi, masih
dibutuhkan adanya kekuatan untuk terlibat dalam masyarakat maupun di tempat
asing.
Ø Sebagai
perekayasa karakter (Character engineer)
Peran ini menuntut generasi muda untuk terus
melakukan pembelajaran, adanya modifikasi dan rekayasa yang tepat disesuaikan
dengan perkembangan jaman. Peran generasi muda dalam hal ini sangat diharapkan
oleh bangsa, karena ditangan merekalah proses pembelajaran adaptif dapat
berlangsung dalam kondisi yang paling produktif.
Menghadapi
globalisasi, karakter generasi muda harus lebih meningkatkan pembangunan budi
pekerti dan sikap menghormati dan harus mengaplikasikannya dalam kehidupan
sehari-hari. Menteri Pendidikan Nasional, Mohammad Nuh menegaskan, bahwa
“tidak ada yang menolak tentang pentingnya karakter, tetapi yang lebih penting
adalah bagaimana menyusun dan menyistemasikan, sehingga anak-anak dapat lebih
berkarakter dan lebih berbudaya”.
Meskipun
begitu generasi muda nantinya masih memerlukan dukungan dari pemerintah maupun
komponen bangsa lainnya, namun esensi utamanya tetap pada peran generasi muda.
Hal tersebut selain karena generasi muda masih berada dalam puncak
produktifitasnya, juga karena generasi muda adalah komponen bangsa yang paling
strategis posisinya dalam memainkan proses transformasi karakter dan tata nilai
di tengah-tengah derasnya liberalisasi informasi era globalisasi.
Seharusnya sudah menjadi perhatian kita
bersama mengenai pentingnya memupuk sikap humanisme serta memperbaiki karakter
bangsa indonesia yang telah pudar ini. Oleh
sebab itu, kita masih mempunyai kesempatan serta masadepan dengan mendidik
generasi masa depan dengan nilai-nilai humanisme yang luhur serta mempunyai
karakter yang bersih dan mulia.
Pendidikan karakter merupakan aspek
dominan dalam wilayah ini. Karakter bangsa terbangun atau tidak sangat
tergantung kepada bangsa itu sendiri. Bila bangsa tersebut memberikan perhatian
yang cukup untuk membangun karakter maka akan terciptalah bangsa yang
berkarakter.
Bila negara kita dapat memberikan pembangunan
karakter kepada para warga negara sejak dini, maka akan tercipta pula generasi
yang berkarakter dan berwawasan kebangsaan yang luas melalui penghayatan dan
pengamalan Pancasila. Demikian pula sebaliknya. Kita paham, bahwa Tuhan tidak
merubah keadaan suatu kaum bila mereka tidak berusaha melakukan perubahan itu (innalloha
laa yughoyyiru maa biqoumin hattaa yughoyyiruu maa bi anfusihim).
Lima pilar karakter luhur bangsa
Indonesia mencakup:
v Transendensi:
Menyadari bahwa manusia merupakan ciptaan Tuhan yang maha Esa. Dari kesadaran
ini akan memunculkan sikap penghambaan sematamata pada Tuhan yang Esa.
Kesadaran ini juga berarti memahami keberadaan diri dan alam sekitar sehingga
mampu menjaga dan memakmurkannya. Ketuhanan yang maha Esa;
v Humanisasi:
Setiap manusia pada hakikatnya setara di mata Tuhan kecuali ilmu dan ketakwaan
yang membedakannya. Manusia diciptakan sebagai subjek yang memiliki potensi. Kemanusiaan
yang adil dan beradap;
v Kebinekaan:
Kesadaran akan adanya sekian banyak perbedaan di dunia. Akan tetapi, mampu
mengambil kesamaan untuk menumbuhkan kekuatan, Persatuan Indonesia;
v Liberasi:
Pembebasan atas penindasan sesama manusia. Karenanya, tidak dibenarkan adanya
penjajahan manusia oleh manusia. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan;
v Keadilan:
Keadilan merupakan kunci kesejahteraan. Adil tidak berarti sama, tetapi
proporsional. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Hal
itu diharapkan mampu memberikan kontribusi optimal dalam mewujudkan masyarakat
yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, berjiwa
persatuan Indonesia, berjiwa kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/perwakilan, berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia
Diperlukan
upaya serius untuk menjadikan nilai-nilai luhur yang telah dikenal, kembali
menjadi budaya dan karakter bangsa. Salah satu upaya ke arah itu adalah
memperbaiki sistem pendidikan nasional dengan menitikberatkan pada pendidikan
karakter.
Dalam
Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa (Pemerintah Republik Indonesia,
2010), disebutkan bahwa bentuk kegiatan pada program pendidikan karakter bangsa
konteks mikro, dapat dibagi menjadi empat, yakni: kegiatan belajar-mengajar;
kegiatan kehidupan keseharian di satuan pendidikan; kegiatan ekstra-kurikuler;
kegiatan keseharian di rumah dan masyarakat. Mengingat mahasiswa sebagai
kelompok idealis dengan segala kelebihan dan potensinya, pemberian pendidikan
karakter bangsa kepada mereka memerlukan strategi khusus.
Tulisan
berikut mengangkat praktik baik (best practices) implementasi pendidikan
karakter bangsa pada mahasiswa di perguruan tinggi yang diambil dari berbagai
sumber. Pembahasan meliputi pengertian karakter, karakter bangsa, pendidikan
karakter bangsa, dan implementasi pendidikan karakter bangsa pada kegiatan
kemahasiswaan.
Selanjutnya dalam rangka Membangun Pendidikan Karakter Bangsa Melalui Budaya Lokal
perlu dilakukan pengkajian, dan pengembangan karakter dengan fokus
menanamkan 9 pilar nilai-nilai luhur universal: (1) cinta Tuhan dan alam
semesta beserta isinya; (2) tanggung jawab, kedisiplinan, dan kemandirian;
(3) kejujuran; (4) hormat dan santun: (5) kasih sayang, kepedulian, dan kerjasama;
(6) percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah; (7) keadilan
dan kepemimpinan; (8) baik dan rendah hati; dan (9) toleransi, cinta damai
dan persatuan. Pilar akhlak (moral) yang dimiliki (mengejewantah)
dalam diri seseorang sehingga ia menjadi orang yang berkarakter baik (good
character) adalah: jujur, sabar, rendah hati, tanggung jawab, dan rasa
hormat.
Karakter tersebut tercermin dalam
kesatuan organisasi/sikap yang harmonis dan dinamis. Tanpa nilai-nilai
moral dasar ini (basic moral values) yang senantiasa mengejewantah
dalam diri pribadi kapan dan dimana saja, orang dapat dipertanyakan kadar
keimanan dan ketaqwaan.
Ciri orang yang kuat
imannya, adalah: (1) secara tulus dia patuh pada Tuhan-nya; (2) dia tertib
dan disiplin melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Tuhan, secara mahdhoh/ritual;
(3) memahami dan menghargai ajaran agama lain, sehingga tercipta kehidupan
yang toleran; dan (4) memperbanyak kerjasama dalam bidang kehidupan sosial
budaya. Tatanan sosial dan tradisi lokal yang berakar kuat akan memberikan
sentuhan halus yang mengingatkan manusia agar tidak terbawa arus perubahan yang demikian
dahsyat.
Nilai budaya yang berkembang dalam suatu
masyarakat, akan selalu berakar dari kearifan tradisional yang muncul dan berkembang
sejalan dengan perkembangan masyarakat itu sendiri, kemajemukan
masyarakat Indonesia dengan ciri keragaman budayanya tidak bisa secara
otomatis terintegrasi menjadi kebudayaan Nasional, yang sama mantapnya
dengan setiap sistem adat yang ada, karena kebudayaan Nasional tersebut
baru pada taraf pembentukan.
Selain melalui mata kuliah pengembangan kepribadian,
semua dosen pada semua mata kuliah hendaknya menjadi figur yang mempraktekkan
pembentukan karakter ini dalam semua aktivitas di kelas maupun di luar kelas.
Jika hal ini bisa dilakukan maka semua lingkungan di kampus, baik di kelas,
luar kelas maupun kantor administratif akan mencerminkan lingkungan yang
mendukung pembentukan karakter.
BAB III
PENUTUP
Untuk
mewujudkan pendidikan karakter bagi generasi muda pada jaman sekarang ini,
secara umum dapat dilakukan melalui pendidikan formal, non formal, dan informal
yang saling melengkapi dan diatur dalam peraturan perundang-undangan. Sesuai
Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa, pendidikan karakter dimaknai
sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana serta proses
pemberdayaan potensi dan pembudayaan peserta didik guna membangun karakter
pribadi dan/atau kelompok yang unik-baik sebagai warga negara.
Beberapa kondisi diluar kurikulum yang perlu
diperhatikan perguruan tinggi karena hal-hal tersebut mendukung suksesnya implementasi
pendidikan karakter adalah :
ü Budaya
kampus dan praktik-praktik interpersonal yang menjamin bahwa mahasiswa
diperlakukan dengan perhatian dan hormat,
ü Dosen,
staf menjadi model karakter yang baik bagi mahasiswa, menghidupkan nilai-nilai
dalam interaksi keseharian dengan mahasiswa,
ü Memberikan
kesempatan pada mahasiswa memiliki otonomi dan pengaruh dalam pengelolaan
perguruan tinggi seperti memberikan wadah untuk menampung aspirasi mahasiswa,
ü Memberikan
kesempatan mahasiswa untuk reflesi, berdebat maupun berkolaborasi mencari
pemecahan masalah isu-isu moral,
ü Sharing
visi dan sense of collectivity and responsibility,
ü Social
skill training artinya kampus menyelenggarakan pelatihan bagi mahasiswa yang
tujuannya agar mahasiswa dapat melakuan penyesuaian jangka panjang dengan
memperkuat ketrampilan pemecahan masalah interpersonal,
ü Memberi
kesempatan lebih pada mahasiswa untuk berpartisipasi dalam dalam kegiatan
pelayanan masyarakat oleh kampus yang bisa menaikkan perilaku moral
Dalam
membangun karakter bangsa diperlukan upaya serius membangun karakter individu.
Secara psikologis karakter individu dimaknai sebagai hasil keterpaduan olah
hati, olah pikir, olah raga, olah rasa dan karsa. Olah hati berkenaan dengan
perasaan sikap dan keyakinan/keimanan. Olah pikir berkenaan dengan proses
nalar, guna mencari dan menggunakan pengetahuan secara kritis, kreatif, dan
inovatif. Olah raga berkenaan dengan proses persepsi, kesiapan, peniruan,
manipulasi, dan penciptaan aktivitas baru disertai sportivitas. Olah rasa dan
karsa berkenaan dengan kemauan dan kreativitas yang tecermin dalam kepedulian,
pencitraan, dan penciptaan kebaruan.
Perlu
diingatkan kembali bahwa transformasi nilai karakter yang baik yang terjadi
pada karakter individu, yang pada gilirannya akan menunjang karakter bangsa
yang diidamkan, tidak cukup dilakukan hanya dengan membaca, mempelajari,
mendiskusikan, ataupun berfilsafat tentang nilai-nilai karakter tersebut.
Yang
jauh lebih penting adalah mengimplementasikan dalam bentuk praktik nyata pada
kehidupan sehari-hari. Hendaknya kita selalu menjadi teladan bagi orang lain,
dengan melakukan apapun yang menjadi tugas dan kewajiban kita dengan baik.
Hanya dengan cara demikian, kita akan dapat mencapai kesempurnaan akhir yang
merupakan ciri manusia sejati.
DAFTAR PUSTAKA
Referensi Buku
Aris, D. (2013). Generasi Muda Bicara Pancasila. Yogyakarta: Ombak.
Haricahyono, C. (1995). Dimensi-Dimensi Pendidikan Moral. Semarang:
IKIP Semarang Press.
Noor, A. (2006). Ilmu Sosial Dasar. Bandung: Pustaka Setia.
Prayitno.
(2010). Pendidikan Karakter dalam Pembangunan Bangsa. Medan:
Pascasarjana UNIMED.
Zuchdi, D. (2008). Humanisasi Pendidikan. Yogyakarta: Sinar Grafika
Offset.
Referensi Jurnal
Afandi, R. (2011). INTEGRASI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM
PEMBELAJARAN IPS. PEDAGOGIA Vol. 1, No. 1 , 2.
Budiwibowo, S. (2013). MEMBANGUN PENDIDIKAN KARAKTER GENERASI MUDA. Jurnal
Pendidikan , 4.
Huda, S. (2012). Pendidikan Karakter Bangsa dalam. Media Akademika,
Vol. 27, No. 3 , 3.
Manalu1, J. M. (2014). PEDIDIKAN KARAKTER TERHADAP PEMBETUKAN. ejournal
Psikologi, Volume 2, Nomor 4 , 2-3.
Tanis, H. (2013). PENTINGNYA PENDIDIKAN CHARACTER BUILDING. JURNAL
HUMANIORA Vol.4 No.2 , 1216.
Zulnuraini. (2012). Pendidikan Karakter: Konsep, Implementasi Dan
Pengembangannya di Sekolah. Jurnal DIKDAS, No.1, Vol.1 , 1.
Makalahnya lengkap sekali. Sangat bermanfaat
BalasHapus